Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN PART 7a


Aku segera mencari arah tulisan yang menunjukkan Musholla. Dan melakukan sholat jamak dan koshor. Selesai sholat, setidaknya hati tentram. Aku mengagumi mushola dan rumah makan ini begitu besar sekali. Tiba-tiba seseorang lelaki setengah baya menghampiriku, dan mengucap salam kepadaku, dan ku jawab salamnya.

“Mas Ian kan?” tanyanya kepadaku, aku jelas kaget karena tak pernah merasa kenal dengan orang ini. Apa ini penggemarku lagi? Betapa susahnya kalau jadi orang terkenal macam artis. Kemana-mana tentu tak bebas. Aku mengiyakan.

“Ah sudah saya kira…” wajah lelaki itu sumringah, kemudian menyalamiku.

“Bapak siapa?” tanyaku masih tak mengenali.

“Aku pak Dadang, yang sering ketempat kyai, mungkin mas Ian tak mengenaliku, tamunya kyai kan banyak.” kata pak Dadang memperkenalkan diri. Lalu pak Dadang memanggil pelayan dan membisikinya. Dan pelayan itu segera cepat berlalu, sebelumnya membungkuk, rupanya pak Dadang dikenal dan dihormati.

“Mari kerumah mas.” kata pak Dadang yang membuatku heran.

“Tapi saya ikut bus malem pak, apa rumah bapak ini dekat sini?” tanyaku, takut ditinggal bus.

“Itu rumah bapak di belakang, kelihatan dari sini, mas Ian singgah aja di sini, barang tiga empat hari, lagian kyai juga tiga hari lagi mau ke sini, jadi nanti ke Bantennya bisa bareng.”

“O, kyai mau ke sini?” pak Dadang manggut.

“Ya kalau begitu saya ngambil tas saya yang masih di bus, sekalian bilang kalau saya tak ikut melanjutkan perjalanan.”

“Ya sebaiknya begitu.” maka aku pun menuju bus yang diparkir mengambil tas dan bicara pada supir kalau turun di sini saja.

Aku segera menemui pak Dadang yang masih berdiri di depan Mushola. Dan dia mengajakku kerumahnya, rumah besar mewah yang didomisili marmer dan kayu jati dipadukan sedemikian artistik.

“Mas Ian tidur di kamar ini aja.” suara pak Dadang mengagetkanku. Karena aku sibuk menikmati arsitektur rumah yang dibuat demikian sederhana namun elegan, dengan lemari bifet tinggi menyentuh plafon. Dan lantai dari marmer yang mengkilap.

Aku segera masuk kamar didahului pak Dadang. Setelah menyuruhku mandi dulu, pak Dadang pun pergi. Aku segera mencopot baju untuk mandi, kamar ini luas, kurang lebih empat meter persegi, dua ranjang besar dalam kamar, dengan selimut yang tebal, salah satu dinding kamar tertutup lemari bifet yang besar, ada tivi dua puluh sembilan inc. Juga Dvd player Aiwa, AC yang selalu menyala. Sehingga udara terasa dingin, aku segera memasuki kamar mandi yang ada dalam kamar, bak mandi untuk berendam telah penuh, dan di sampingnya terdapat minuman segar entah apa namanya, aku terlalu ndeso untuk menjelaskan semuanya. Tubuhku pun ku rendam air yang terasa hangat. Dan mencicipi minuman, kujilat-jilat dulu, takutnya memabukkan.

Setelah mandi dan tubuh terasa segar, aku segera ganti pakaian, pintu kamar diketuk, lengkap memakai pakaian ku buka pintu, seorang pemuda berpakaian seragam biru muda dengan krah baju warna kuning.

“Ini mas silahkan makan, sudah disiapkan..” katanya sambil membungkuk, aku hanya manggut dan keluar kamar, wah di depan kamarku di depan tivi di atas tikar yang terbentang, beraneka masakan telah terjajar rapi.

“Silahkan mas dinikmati, saya tinggal dulu…” katanya sambil segera berlalu.

Aku yang ditinggal tingak-tinguk, melihat makanan sebanyak ini, bingung mau pilih yang mana.

Nasi di bakul, sebelahnya ada sotong goreng tepung, pepes ikan laut, pepes jamur, sambel tomat, lodeh ikan pari, soto sapi, ayam goreng kering, sotong masak hitam, pecel lele, burung dara goreng renyah, hati sapi goreng kering. Ah masih banyak lagi, aku tak tau namanya, ada juga jengkol goreng, lalapan petai, terong ungu dan segala macam daun yang aku tak tau namanya. Aku pun mulai makan, ku cicipi satu-satu, toel sana sini, sampai piringku penuh, ketika aku lagi makan, pak Dadang muncul,

“Mas Iyan, dikenyangkan lo makannya, jangan sungkan-sungkan, anggap rumah sendiri saja…” cuma berkata itu dia pun berlalu.

Seumur-umur baru kali ini aku makan sampai seramai ini, dengan berbagai macam masakan dan aneka warna lauk, pertama aku begitu bersemangat, karena kecendrungan nafsu, semua pengen aku embat, tapi setelah kupikir-pikir, ah rasanya tetap itu-itu saja, kenikmatan semu, sebatas tenggorokan, renyah, gurih, asin, pahit, manis, kecut, kenyal, alot, pedas… ah membosankan, ku ambil teh poci dan menuang ke cangkir kecil, menyruputnya pelan-pelan. Kuambil hati sapi goreng dan melangkah keluar, ku ambil rokok Djisamsoe filter, dan kunyalakan, aku duduk di undakan emperan depan rumah pak Dadang, malam makin larut, tapi mobil yang mengunjungi rumah makan ini makin rame saja. Khususnya bus malem dari Jakarta ke arah daerah, juga dari daerah ke arah Jakarta. Juga tak sedikit mobil-mobil pribadi.

Akhirnya ku tau rumah makan ini adalah miliknya pak Dadang, nama Nikki adalah nama pendiri pertama rumah makan di daerah Subang, sekarang setelah H. Nikki meninggal, maka rumah makan diteruskan oleh anak dan saudara-saudaranya termasuk pak Dadang. Itu penjelasan dari pelayan yang melayaniku.

Setelah rokok habis dua batang, aku pun kembali ke kamar dan berangkat tidur. Menunggu kyai selama tiga hari di rumah pak Dadang, membosankan juga, ketika kyai datang tiga hari kemudian, aku teramat bahagia, aku segera mencium tangannya, takzimku sebagai murid, seperti biasa, kyai tidur di pangkuanku, dan minta kupijit kepalanya, oh rasa cinta karena Alloh sungguh nikmatnya. Aku sangat tahu kyai sangat mencintaiku sebagaimana aku mencintainya karena Alloh. Bila kyai tiduran di pangkuanku maka sudah pasti, ia akan menanyakan tentang keadaan keluargaku, dan memperingatkan akan ada orang yang iri dengan keluargaku, akan terjadi begini begitu, dan tak lupa kyai menurunkan ilmu kepadaku.

Aku kadang terharu akan cinta kyai kepadaku yang teramat besar, sampai kyai hafal betul orang yang ada di ruang lingkup kehidupanku, walau aku tak pernah menyebutkan nama-namanya, tapi kyai hapal satu-satu. Sebegitu sayangnya kyai padaku, di manapun aku bekerja, kyai pasti menjengukku, bahkan kadang menungguiku berhari-hari, karena tak ingin aku didholimi oleh orang yang memakai jasaku. Pernah kyai mengatakan padaku, jika ada orang yang memusuhimu, maka akulah yang akan menjadi tameng hidupmu, maka jangan takut berdiri di atas kebenaran.

“Mas Ian…!” kata kyai yang tiduran di pangkuanku, sementara beberapa tamu lelaki perempuan, mengitari kami, ada sekitar sembilan orang.

“Iya kyai…”

“Nanti mas Iyan kembali ke pondok dulu ya..! Sekalian mampir ke rumah Macan…” kata kyai sambil memegang tanganku mengarahkan supaya memijit arah di atas kedua mata.

Macan adalah panggilan santri, yang seangkatanku, asalnya orang rusak, suka mabuk, teler, main perempuan, berantem, jadi raja gank, tapi kemudian ditobatkan, dan menjadi murid kyai, yang ditugaskan untuk menyadarkan para pemabuk dan preman. Pengikutnya dari para orang-orang yang rusak di daerahnya sudah banyak, walau dalam keadaan tersembunyi.

“Ada apa kyai, kok saya harus ke tempat Macan?”

“Nanti ajak dia nglakoni nggila, tapi dia tak akan mau, orang udah rusak seperti itu kok masih ada di sudut hatinya pengen di-wah orang, ah Macan…Macan….!”

“Kalau kyai sudah tau dia tak mau ngedan, kenapa aku ke rumahnya Macan kyai?…”

“Sudah nanti pokoknya kesana aja..! Masih punya uang gak?” tanya kyai, memang begitulah kyai, di mana-mana rasanya tak ada seorang kyai yang berdialog dengan murid santrinya sedetail itu, kyai tau uang di sakuku tinggal berapa, tapi dia masih bertanya,

“Masih kok kyai…”

“Ini untuk beli rokok, rokoknya gak punya kan?” kyai mengangsurkan uang dua ratusan ribu, memang rokokku telah habis, aku ingat kalau di pondok, aku sama sekali tak punya uang dan rokok juga tak ada, tembakau dari uthis juga tak ada, maka kyai memanggilku, dan memberi rokok yang anehnya saat itu ku bayangkan, walau kadang aku membayangkan rokok yang aneh-aneh, misalkan roko Cigarilos. Maka kalau kyai memanggilku akan memberi rokok cerutu Cigarilos. Pernah satu kali temanku menemukan bungkus rokok Djisamsoe yang dari plastik pak berwarna hitam, bukan dari kertas, dan kami membicarakan, bagaimana ya rasanya, tiba-tiba kyai memanggilku dan memberi rokok Djisamsoe dari plastik itu.

Aku segera menerima yang diberikan kyai, kenapa tak ditolak? Nah itulah unggah ungguhnya, tata kramanya, diperintah apa saja, atau diberi apa saja harus siap menerima, walau kadang tak masuk akal.

Karena beda dengan kyai biasa, sambil masih tiduran di pangkuanku, kyai pun menanyakan keperluan tamu satu persatu, dan memberikan solusi.

Setelah tamu semua telah pergi, kyai bangun dari pangkuanku.

“Apa yang dipesankan oleh Syaih Abdul qodir Al jilani….?” tanya kyai. Dan walau aku telah menyangka akan ditanya soal itu, aku kaget juga, tapi segera maklum kalau kyai tau.

“Anu kyai saya disuruh menyempurnakan ilmu, dan diminta segera baiat Toriqoh kodiriyah wanaksabandiyah.” jawabku.

“Ya kalau begitu nanti sampai di pondok aku baiat.” kata kyai menepuk pundakku. ”Sekarang segera saja berangkat ke rumah Macan…!”

Aku segera mencium tangan kyai, dan melangkah pergi, karena tamu-tamu yang lain telah datang ke depan kyai.

Kyai adalah pembaiat Toriqoh kodiriyah wa naksabandiyah yang diserahi baiat dari Abah Anom, sesepuh pesantren Suryalaya, juga diserahi baiat dari Abuya dari pesantren Syaih Nawawi Tanahara, Serang. Walau kyai tak mondok di kedua pesantren itu.

Aku segera mengambil tasku yang masih dalam kamar, dan tak lupa pamitan kepada pak Dadang.

Aku pun menyetop bus di depan rumah makan, jam menunjukkan jam sepuluh siang, panas serasa menyengat kepalaku, untung aku memakai tutup kepala kain coklat susu, yang terbuat dari beludru, seperti kain sajadah tebal, jadi kepalaku walaupun panas agak nyaman, rambut kuikat kebelakang dan ku masukkan baju.

Setelah memilih bus akupun akhirnya mendapatkan bus yang jurusan terminal Kampung Rambutan.

Jam tiga siang memasuki terminal Kampung Rambutan. Aku segera mencari ojek di belakang terminal dan setelah tawar menawar harga aku pun diantar ke daerah Ciracas, tempat tinggal Macan.

Sebenarnya ada tiga orang murid kyai yang benar-benar seangkatanku yaitu aku sendiri, Macan, dan Haqi.

Haqi sendiri telah menjadi guru toriqoh di Jawa Timur, selain membuka pengisian badan, memagar rumah, mengobati orang sakit, dia juga sering dipanggil untuk mengisi orang-orang Pagarnusa.

Ojek menurunkanku di depan rumahnya Macan, rumah yang sederhana, seorang perempuan cantik istrinya Macan sedang mengasuh anaknya di depan rumah.

Perempuan itu yang memang sangat mengenaliku langsung menyambutku dengan sapaan, karena dulu dia salah satu kekasihku, ah masa lalu. Dia bernama Idaraya.

“Ee Iyan… sendirian?”sapanya.

“Iya nih Da… Macan ada?”

“Ada, tapi masih tidur.., ayo masuk dulu…”

Aku segera masuk dan duduk di sofa. Sementara Ida masuk ke dalam. Aku jadi ingat, saat itu di pesantren, aku dan Macan adalah teman yang teramat akrab, kami ini seperti tumbu dan tutup, kemana ada aku, pasti ada Macan, mandi, masak, dan tidur pun selalu bareng. Kalau soal tidur Macan ini tak bisa pisah dariku, kami selalu tidur satu bantal, bukan apa-apa, Macan sekalipun seorang jagoan tapi dia teramat penakut, takut pada hantu.

Karena dulu para santri belum punya kobong sendiri, jadi masih tidur di tempat pembuangan jin, yang luasnya dua puluh meter persegi, walau tempat itu luas dan bangunan rapi tapi karena sudah diputuskan untuk tempat membuang jin yang ditangkap, jadi angker banget.

Yah ruangan pembuangan jin ini didiami oleh beribu-ribu jin, bahkan mungkin berjuta, aku sudah biasa, bahkan kalau lagi tubuh pegel, tak jarang aku minta dipijiti, karena dihuni oleh banyak sekali jin, maka siang dan malam ruangan luas ini teramat dingin, seperti dalam kulkas saja, kalau siang pun walau di luar terasa panas, tapi udara di dalam teramat dingin, bahkan kalau tidur tak pakai selimut, maka tubuh terasa tak kuat, karena dinginnya.

Malam itu Macan ndesel dengan selimut sarungnya dan masih memakai celana levis, karena memang teramat dinginnya, dia tidur denganku satu bantal, kalau kutinggal dia pasti akan ikut bangun, apalagi kemaren malam ada tamu yang pingsan karena melihat pocong, kuntilanak dan tengkorak, itu semakin membuat Macan jerih sekali.

“Ian… Dah tidur belum…?” suara Macan terdengar dari balik sarungnya, karena wajahnya ditutupi sarung, takut kalau melihat hal-hal yang menyeramkan. Padahal Macan ini orangnya tinggi besar, wajahnya seram, pipi berlubang-lubang bekas jerawat batu, alisnya tebal, hidung mbengol, bibir tebal, mata mencorong merah, dan tubuh dempal berotot, kalau ngomong suaranya berat.

“Ada apa?” tanyaku yang memang belum tidur, aku terbiasa memutar tasbih sambil tiduran, melanjutkan wirid-wiridku.

“Aku ini sebenarnya mau menikah…” memang saat itu Ida belum menjadi istri Macan. Tapi sudah bekas pacarku.

“Kamu, mau nikah? Apa aku tak salah dengar Can…?”

“Bener, aku tak bohong…”

“Wah kamu jelek gitu, kok laku ya…”

“Ini perjodohan orang tua, sama orang tua, jadi aku sendiri belum melihat ceweknya…”

“Wah kalau belum ngelihat ceweknya, jangan mau Can..!”

“Ya kalau melihat ceweknya di foto sih udah Ian, tapi menatap langsung yang belum…”

“Oo gitu, kamu bawa photonya Can? Kalau bawa, coba aku lihat cakep enggak.”

“Kalau ceweknya jelas cantik.”

“Mana fotonya? Coba lihat?!” aku penasaran.

Masih menutup wajah dengan sarung, Macan kedesal-kedesel mengeluarkan dompet membukanya dan mengeluarkan foto, lalu menyerahkan padaku, dari balik sarungnya.

Aku menerima foto itu dan melihat, mengarahkan foto itu ke cahaya lampu listrik yang membias ke arahku.

“Bagaimana Ian, cantik khan?”suara Macan dari bawah sarungnya.

“Entar dulu, aku seperti kenal dengan foto ini……, wah tak salah lagi, ini Idarayya..!” kataku spontan.

“Lho kamu kok kenal Ian?” Macan sudah membuka wajahnya dari tutup sarung.

“Benar khan…?”

“Iya emang bener itu namanya.., tapi kok kamu bisa tau namanya?”

“Dia dulu pacarku Can…”

“Pacarmu Ian, wah celaka aku.”

“Cilaka bagaimana?”

“Udah kamu apakan aja Ian, jangan-jangan udah tak prawan…?”

“Ya tak aku apa-apakan, emangnya ku apakan? Tak prawan gimana? Emangnya aku sebejad itu?!”

“Ya siapa tau…!”

“Wah kamu tega amat Can, berpikiran begitu padaku,”

“Tapi sudah kamu cium?”

“Cuma sedikit…”

“Awas nanti kalau ternyata telah tak perawan, kita tuntaskan dengan golok…”

“Kita lihat aja nanti…”

Begitulah, akhirnya Macan menikah dengan Idaraya, dan sampai sekarang, hubungan dia dan aku melebihi dari seorang saudara sekandung.

Kulihat Macan keluar dari kamar, lalu menghampiriku, di wajahnya masih mengurat cap bantal tidur, lalu dia menyalamiku,

“Dah dari tadi Ian?”

“Baru aja datang… aku dipesan kyai tuk nemuimu…”

“Kamu baru dari Banten?”

“Enggak, aku dari rumah, aku ketemu kyai di Subang,”

“Dipesan apa sama kyai?”

“Disuruh ngajak kamu ngedan…”

“Byuuh, giak sanggup aku ngedan, kalau mau jadi orang gila, kamu aja sendiri, aku.. kekkekekikik, apa kata anakku kalau aku menjadi orang gila, kalau kamu ngajak aku mukulin orang, ayo sekarang juga berangkat, tapi kalau ngajak aku jadi orang gila, aku angkat tangan, aku punya istri, punya anak, la kamu..?”

Aku tak kaget kalau Macan tak mau, karena kyai telah mengatakan sebelumnya.

“Yah kalau kamu tak mau ya udah….” kataku melemah.

“Terus terang Ian, kalau amalan-amalan lain, aku sanggup menjalani, tapi kalau amalan ngedan, byuuh, aku tak sianggup Ian, aku tak sanggup orang mengatakan wah si Macan yang hebat itu sekarang uedan, keberatan ilmu, apa tak malu aku nantinya, lagian menurutku apa gunanya ngedan itu?”

“Ee kamu ini bagaimana sih Can, waliyulloh syaih Abdul qodir aljailani, melakukan, kok kamu menyangsikan gimana kamu?”

“Bukan menyangsikan begitu, aku ini kan bekas orang bujad, tentu tak semengerti kamu.”

“Baiklah, memang kyai sendiri tak pernah menjelaskan akan manfaatnya, tapi setelah aku membaca kitab manakibnya syaih Abdulqodir, aku dapat menarik kesimpulan, bahwa laku ngedan itu dilakukan untuk membersihkan hati.”

“Membersihkan hati yang bagaimana Ian… aku ndak mudeng sama sekali.”

“Dalam hati manusia, cenderung mempunyai sifat sombong, iri, dengki, membanggakan diri, dianggap unggul, pengen dianggap gagah, dimulyakan manusia lain, dianggap kaya, dianggap berilmu dan dianggap-dianggap yang lain, ah apa untungnya dianggap tak ada kan? Juga dalam hati manusia itu selalu ada perasaan mencela orang lain, perlawanan dari sifat ingin dianggap, hati manusia juga tak ingin dicela, dan sifat-sifat itu semua mengotori hati, sehingga hati tertutup oleh cahaya ilmu Alloh Taala, maka jika manusia sadar, harus berusaha menghilangkan segala macam penutup hati itu, nah jalan yang mencakup pembersihan menyeluruh, adalah dengan cara menjadi gila..”

“Jelaskanlah lebih detail lagi Ian, biar aku ngerti…” inilah yang ku suka dari Macan, biarpun dia tak mengerti ilmu agama, tapi dia selalu bersemangat kalau diajak ngomong masalah ilmu.

“Yah dalam diri orang gila apa sih yang perlu disombongkan, dibanggakan, diiri didengki, dipuja, tak ada orang yang melihat orang gila, lalu bilang orang gila itu hebat, kebanyakan orang pasti dicemooh, nah saat dihina itulah, kita menempatkan hati, menguatkannya, membuat hilang perasaan pengen dianggap Wah dan hebat, yang tiada guna sama sekali, dipuja sampai ujung tenggorokan saja, kamu lihat para pemimpin negara kita, di depan dihormati, tapi di belakang dihujad, apa enaknya hidup palsu seperti itu. Apalagi tidak dimulyakan tapi pengen dianggap mulya, bukankah itu palsu di atas palsu. Maka dalam nggila itu, kalau kita sudah mampu menghilangkan dari hati segala macam sifat, yang menurut manusia itu muliya, tapi teramat tercela itu, langkah selanjutnya, belajar memasrahkan diri pada takdir Alloh, atas tubuh kita, memasrahkan sepasrah pasrahnya.

“Kita berusaha sepasrah mungkin, pasrah atas rizqi, pasrah atas nasib, menerima apapun dari Alloh tiada menolak, kalau sudah dalam tanggungan Alloh hati akan senang, tak ada beban, tak ada susah, tak ada kekawatiran, sekalipun saat itu nyawa dicabut, karena semua adalah kehendakNya, kalau sudah begitu pikiran akan tenang, dan hati lapang, karena ilmu Alloh yang masuk ke dalam hati, tak ada penghalang lagi… ketentraman dan kedamaian haqiqi. Sesungguhnya para wali ALLAH itu tiada rasa takut, dan tiada susah.”

Kataku mengakhiri pembicaraan sambil menyruput kopi dan menyalakan rokok dji samsoe filter.

“Walaupun begitu aku belum berani menjalankan Ian, kelihatannya berat sekali.” kata Macan sambil ikut menyalakan rokok djisamsoe kretek.

Aku hanya menginap semalam di rumah Macan, malam itu aku dan dia duduk di samping rumah di bawah pohon nangka. Di mana ada meja memanjang dan dua kursi kayu panjang, suasana sangat sepi. Kami nikmati secangkir kopi dan ketela goreng.

Macan mengeluarkan hpnya,

“Ian pernah gak kamu memotret hantu?” tanya Macan.

“Motret hantu Can, emang bisa…?”tanyaku balik heran.

“Aku kemaren motret diri sendiri Ian, tapi ada bayangan orang tua di belakangku, coba lihat ini..?” Macan mengangsurkan hpnya ke depanku setelah membuka galerinya.

Kulihat wajah Macan, dan memang ada bayangan orang tua, seperti asap tapi jelas.

“Wah kok bisa begitu ya?” kataku, ”Berarti bener bisa dipotret hantu itu.”

“Coba Ian kamu yang ilmunya lebih tinggi, kamu tarik hantu yang ada di sekitar sini, biar aku potret…” idenya.

“Apa bisa…?” tanyaku ragu.

“Ya namanya juga nyoba, ya belum tau…” katanya sambil tertawa.