Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN PART 7c


“Bener nih kang sampean mau ngasih saya keris?” tanyanya setelah duduk di sampingku. Dan Lutfi juga Zamrosi ikut nimbrung ngobrol.

“Ia mas Gimo, mas Ian ini, mendapatkan keris tadi siang,” sela Zamrosi.

“Dapat dari mana to mas?” Lutfi yang belum tau bertanya.

“Dapat dari internit..” kata Zamrosi, mendahuluiku menjawab.

“Kamu ini mbok ya diam dulu to Zam, biar mas Iyan cerita,” kata Lutfi.

“Iya Zamrosi benar, aku mendapatkannya di ternit,”

“Wah bagaimana itu bisa tau kang? Ah pasti sampean ini orang sakti.” kata Gimo sumringah.


“Ya kebetulan saja…”

“Ah tak mungkin kebetulan, wong tadi pagi tiba-tiba aja pengen naik ke ternit, kan aneh?” kata Zamrosi nyerocos.

“Gimana to gak sakti mas Gimo? Mas Ian ini kan kesini untuk memagar rumah ini, diminta bos yang punya rumah ini,” kata Lutfi, menjelaskan.

“Wah semuda ini, masih bocah..!,” kata Gimo.

“Tapi nyatanya begitu…”

“Sudah-sudah, nih mas Gimo keris dan batu akiknya, silahkan diterima…” kataku sembari mengeluarkan kedua benda, dan menyerahkan pada Gimo, dia menerima dengan gemetar.

“Wah kecil amat kerisnya?” kata Lutfi, yang memang baru melihat keris ini.

“Wah ini keris dan batu tak bisa dipisahkan kang, dan keris ini ampuh sekali.” kata gimo setelah mengamat-amati sebentar.

Saat kami tengah asyiknya ngobrol, tiba-tiba “Duaar!!, bruakkk..!!” suara ledakan tabrakan motor dengan motor, kulihat sekilas, sebuah motor Gl pro, menyalip ke kanan mendahului kendaraan lain, tak taunya ada mobil angkot di depan, maka motor itu membanting ke kiri, untuk menghindari mobil angkot, dan ternyata di samping angkot ada motor lain yang juga mau mendahului angkot, maka tak terelakkan lagi kecelakaan pun terjadi, kedua pengendara sampai terpental dan terbanting di aspal. Pengendara Gl pro langsung tewas di tempat. Keadaan menjadi ribut sekali, jalanan macet total, karena kecelakaan tepat di tengah jalan, tubuh pengendara Gl pro tergeletak, dan darah meleleh kemana-mana, mungkin kepalanya pecah.

Orang-orang membludak, karena memang masih berlangsung kegiatan Agustusan, makan gratis.

Ku lihat Gimo tangkas juga, dia segera menggotong pengendara Gl pro, di masukkan ke pikup dan disuruh membawa ke rumah sakit, sementara pengendara Karisma musuh Gl pro tak apa-apa, walau luka lecet-lecet, tapi kedua motor hancur sana-sini pecahan onderdil, dan kaca lampu berserakan di sana sini.

Ah ini benar-benar tak beres, tak bisa dibiarkan, aku segera masuk, mengambil air wudhu, kemudian duduk dalam kamar, menyatukan rasa dan cipta, membaca semua wirid dalam hitungan tiga-tiga, kemudian membaca doa hijab yang diajarkan kyai kepadaku. Mengalir kekuatan dari pusarku, kemudian tersalur ke tanganku. Kubayangkan aku mengitari jalan depan rumah lalu menangkap semua lelembut, jin, siluman, mengikatnya jadi satu kemudian kubuang ke belakang rumah dalam keadaan terikat.

Aku bernapas lega, dan mengusap keringat yang keluar mbrendol-mbrendol sebesar jagung dari pori-pori tanganku, keringat bahkan menetes-netes dari ujung hidungku, juga mengalir dari pori-pori kepalaku, mengalir ke leherku, dan punggungku sampai lengket, basah oleh keringat.

Aku segera beranjak keluar, tak lupa mengambil keempat batu yang tadi siang kuisi, dan di luar keadaan sudah sepi, Lutfi dan Zamrosi masih duduk, ngobrol ditemani beberapa tetangga toko sekitar, aku memanggil mereka berdua, lalu kuajak menanam dua batu di pojok belakang rumah, dan dua batu di pojok depan rumah.

Malam itu aku tak tidur terlalu malam, mengingat wiridku telah selesai. Esok paginya, setelah subuh aku mengajak kedua temanku itu jalan-jalan, sekalian mencari sarapan bubur kacang hijau, di tengah perjalanan kami bertemu Gimo, sedang menggenjot sepedanya,

“Mau kemana kang Gimo?” sapaku. Dia langsung berhenti.

“Ee…kang Ian, kebetulan sekali kang, aku mau ke tempat kang Ian, mau mengembalikan keris dan akik pemberian kang Ian semalem.” katanya, sembari menuntun sepedanya di sampingku.

“Lho emangnya kenapa? Bukankah kang Gimo ini pengoleksi benda antik…?” tanyaku heran.

“Wah cilaka kang..” katanya masgul.

“Cilaka bagaimana to?” tanyaku.

“Kang Gimo mbok sampean ceritakan yang jelas.” Zamrosi menyela.

Pemuda kekar yang penuh tato di tubuhnya itu menarik napas dalam lalu mulai bercerita.

Semalam setelah terjadi kecelakaan Gimo mencariku, dan menanyakan kepada kedua temanku tentang keberadaanku, tapi oleh kedua temanku aku dilihat dalam keadaan wirid, jadi Gimo pun pamit pulang, dia mengendarai sepeda pancalnya pulang, karena memang rumahnya di daerah Pekalongan utara.

Saat sedang bersepeda itu dia melewati gerombolan pemuda yang nongkrong di gang sambil ketawa-ketawa, aneh Gimo marah dan menghampiri pemuda yang ada enam orang itu.

“Hei, mengetawakanku!” bentaknya.

“Tidak kang, kami ketawa sendiri.” jawab seorang pemuda yang duduk paling pinggir, menatap heran pada Gimo.

Gimo maju memegang kerah baju pemuda itu, melihat gelagat yang kurang baik, kelima teman pemuda yang dipegang kerah bajunya oleh Gimo segera menyerang dengan bogem mentah bertubi-tubi. Yang kesemuanya dapat ditangkis dan dielakkan oleh Gimo, kini Gimo yang mengamuk, keenam pemuda itu dihajar semua sampai nyungsep, tak ada yang bangun lagi, padahal biasanya untuk mengalahkan satu dua orang Gimo takkan bisa mengalahkan dengan semudah itu. Tapi ini ada enam orang, dengan mudahnya dapat ia robohkan tak sampai sepuluh menit.

Dia juga heran kekuatannya juga dia rasakan berlipat-lipat. Pasti ini karena keris dan batu akik yang dibawanya. Gimo pun melanjutkan perjalanan pulang, meninggalkan keenam pemuda yang terkapar.

Lalu dia sampai di rumah, menggedor-gedor pintu, Gimo cuma hidup di rumah bertiga, ibunya, adiknya lelaki yang bernama Munsorif dan dia sendiri.

Gimo masih menggedor pintu, tapi pintu tak kunjung dibukakan, darahnya mulai naik ke ubun-ubun, maka dia menggedor sampai keras.

“Ia sebentar…!” terdengar suara ibunya. Dia makin tak sabar.

Setelah pintu dibuka, ia membentak ibunya.

“Buka pintu lama banget, apa perlu pintu ini aku jebol?”

“Wah jangan begitu to, ibu kan harus jalan dulu…” kata ibunya lembut.

“Buka kan gak perlu ibu, Munsorif mana? Pasti sudah ngorok!!” kata Gimo membentak.

"Dia lagi sholat ngger…, jadi ibu yang harus buka.”

“Ah sholat aja diurusi, hidup tak berbakti, masak ibu disuruh membuka pintu!!”

“Sudahlah ngger, ibu senang kok membukakan pintu untukmu, ndak usah marah-marah, tapi kamu harus sabar, ibu ini sudah tua, jadi jalannya pelan.”

“Ada apa to kang? Mbok ya sudah, jangan marah-marah, tak enak didengar tetangga,” suara seorang pemuda yang tak lain adalah Munsorif, pemuda ini sungguh jauh sekali dengan Gimo yang srampangan ugal-ugalan, pemuda ini lembut, wajahnya bersih, dan bercahaya karena air wudhu, maklum Munshorif orangnya selalu daimul wudhu, yaitu melanggengkan wudhu, jadi kalau batal wudhunya dia wudhu lagi, sehingga wajahnya mengeluarkan pancaran cahaya alami, penuh kelembutan, ditambah baju koko yang dipakainya, berwarna putih kebiruan, dan peci putih yang bertengger di kepalanya, melihat adiknya keluar, Gimo makin meluap marahnya,

“baik sok alim, mau menceramaiku…!?” katanya dengan mata berapi-api.

“Ya enggak kan, cuma kang Gimo jangan ribut, kan didengar tetangga, malu…” Munsorif suaranya dipelankan.

“Berani kau melarangku… rasakan ini!!” tiba-tiba Gimo menyerang mengayun bogemnya ke wajah adiknya.

Sebuah pukulan menderu ke arah kepala Munsorif, pemuda ini pernah juga hidup di pesantren, dan belajar sedikit ilmu silat, melihat kakaknya menyerang ke arah wajahnya dia melemaskan tubuh ke belakang dan mundur satu langkah, sehingga pukulan Gimo menerpa tempat kosong, dan itu membuat Gimo yang merajai stasiun marah, merasa ditantang dan dilecehkan, maka dia makin membabi buta menyerang adiknya, sementara ibu Duriah, ibunya kedua pemuda itu, menjerit-jerit melihat kedua anaknya berantem,

“Aduh lub… jangan berantem to lub, kalian ini saudara luuub… aduh piyo to iki yo kok kebangeten…” kata perempuan tua itu menangis.

Tapi Gimo memang sudah mata gelap, dia terus memburu Munsorif dengan serangan-serangan mematikan, sementara adiknya itu hanya mengelak dan menangkis serangan.

Satu kali Gimo melakukan tendangan sapuan ke arah perut, dan Munshorif menekuk perutnya ke belakang, sehingga serangan lewat tiga centi dari perutnya, tapi Gimo menyusul dengan pukulan tangan kiri menyamping ke arah wajah Munsorif, pemuda itu mengengoskan kepalanya, sehingga pipinya selamat dari kemplangan. Tapi ternyata itu hanya serangan tipuan, ketika terdengar tangan kanan Gimo menghantam pipi kiri Munsorif, “prok!!” Pemuda itupun terjengkang. Darah keluar dari hidung, telinga dan mulut Munsorif, sebentar dia berkejedan dan diam, ibu Duriah pun menghambur.

“Munsorif…! Nak jangan mati nak… nak Munsorif anakku… hu… huu… Gimo, kenapa kau bunuh adikmu..!? Tak puas-puasnya kau menyusahkan aku…huuk..”

Ibu Duriah yang tak kuat menahan goncangan batinnya itupun pingsan.

Sementara Gimo, tiba-tiba tersadar… ah apa yang kulakukan, suara hatinya…benarkah aku membunuh adikku.. oh..! Dia menghampiri Munsorif, dan meraba urat leher dan denyut nadinya… dan dia lega ternyata adiknya itu cuma pingsan saja.

Lalu Gimo yang merasa telah sadar dari pengaruh gaib keris dan batu akik dalam sakunya segera mengangkat ibunya ke amben. Juga mengangkat tubuh Munsorif ke amben yang lain.
Tetangga Gimo tak ada yang datang, karena sudah jadi adat, Pemuda bengal ini bikin ribut, tetangganya tak berani ikut campur, bisa-bisa malah kena sasaran. Jadi kalau ada ribut-ribut di rumah Gimo, mereka lebih memilih menutup pintu rapat-rapat.

Ah mungkin nanti Gimo kalau mati, berangkat ke kuburan sendiri.

Setelah membaringkan kedua orang itu Gimo keluar rumah, lalu mengayuh sepedanya ke arah pertigaan Ponolawen, jam telah menunjukkan jam setengah dua, biasanya masih ada tukang becak yang narik malam hari, dan prasangkanya tak meleset, ada beberapa tukang becak yang masih berjejer.

Gimo langsung membawa salah seorang tukang becak ke rumahnya, sampai di rumah dia menaikkan adiknya ke atas becak, dan mengantarnya sampai ke rumah sakit. Menyerahkan perawatan kepada dokter jaga, lalu pulang lagi, sampai di rumah, ibu Duriah, ibunya Gimo telah sadar dan sedang menangis sesenggukan, melihat Gimo datang, ibunya langsung menghambur.

“Ayo lub, mayat adikmu kamu buang kemana lub… kok kebangeten kuwe to lub. huhuuu…”

“Sudahlah bu… Munsorif tak mati, sekarang dia di rumah sakit…, kalau ibu mau kesana ayo saya antar…” kata Gimo. “Itu becaknya masih ku suruh nunggu di luar.”

Gimo pun membawa ibunya naik becak, dan mengantarkan kerumah sakit, menunggui Munsorif.

Gimo lelah dia tiduran di atas bangku panjang di depan kamar tempat merawat adiknya, dia berpikir, satu malam, berapa tangan yang jadi korban tangannya, ah ini pasti karena keris dan batu akik yang semalem di terimanya, ah dia harus mengembalikan kedua benda itu, maka ketika setelah subuh itulah dia bertemu denganku.

Memang aku sendiri merasakan perbawa yang jahad, pada kedua benda ini, ketika memegang keris dan batu akik itu, seakan-akan dada terasa tersumbat, suntuk, sumpeg, dan berbagai perasaan yang seakan ingin marah.

Setelah pulang, aku segera masuk kamar, dan kedua benda itu ku taruh di depanku lalu kututup bantal, aku mulai wirid, membaca fatehah kepada Nabi, dan membaca fatihah kepada ketiga hadam surat ikhlas, membaca wirid tiga kali, menyalami kepada hadam yang mendiami kedua benda tersebut, dan “Demi kekuasaan Alloh yang mutlak, kembalilah kalian ke asal kalian, dengan izin Alloh… Allohu akbar,” lalu ketepuk bantal, dan kubuka, kedua benda itu telah tak ada, dan itulah pengalamanku pertama kali aku mendapatkan wesi aji, dan batu akik, setelah kejadian itu, telah tak terhitung aku didatangi, khadam-khadam, keris, batu akik, dan aneka macam pusaka, minta dirawat, tapi aku tak pernah mau menerima.

Akan aku ceritakan sedikit pengalamanku tentang aku didatangi khadam pusaka.

Waktu itu aku sedang mencari udara segar, dan sedikit hiburan, aku memutuskan pergi ke Nglirip, yaitu tempat wisata air terjun, di daerah Jojogan Singgahan, Tuban. Sampai di Nglirip setelah membeli makanan kecil dan minuman ringan aku naik ke atas bukit kecil, yang ada pemakamannya.

Aku duduk di tepi jurang, sambil makan kacang dan menikmati pemandangan.

Sungguh pemandangan yang elok, jauh di bawah sana persawahan terhampar seperti permadani beludru, rumah-rumah kecil yang cuma terlihat gentengnya saja, betapa kecilnya kita di tangan kekuasaan ALLOH Taala, pohon-pohon seperti gerumbul kecil saja, lalu kalau mata menghadap ke timur, nampak bukit kecil, dengan persawahan tumpanp sari, seperti anak tangga raksasa, suara lenguh sapi yang dibuat membajak oleh petani, seperti suara panggilan lugu alam desa. Jalan tikus para petani yang akan pergi ke sawah, seperti ular kecil yang memanjang,

Tepat di bawah kakiku, sekitar sepuluh meter, nampak jalan raya, mengitari bukit, di bawahnya lagi sungai yang mengalir terus sampai ke kampung-kampung dan sawah-sawah, menjadi tumpuan hidup para petani, satu meter ke bawah ada taman, tempat muda mudi berpacaran, sambil menikmati alam, saling bercengkrama, atau menghayalkan masa depan. Lalu di bawah lagi ada penjual makanan kecil. Dan warung minuman juga jalan kampung menurun, nampak anak kecil dan beberapa perempuan memanggul kayu bakar di punggung, berjalan. Menuruni jalan kampung.

Di belakang warung, sebuah jurang menganga, dan tempat air terjun tercurah, saat begini kemarau baru mulai, air di bawah kulihat berwarna hijau.

Air yang jatuh dan percikannya tertiup angin, menjadi uap tersedot mentari, ketika cahaya mentari menyentuhnya, terciptalah bias pelangi, melengkung. Sungguh lukisan alam yang sempurna.

Keindahan yang tumpang tindih, menjadikan mata orang menatap kagum, dan hati berperan, penilaian mengembalikan pada Sang Khalik bagi yang ada iman di dadanya, dan bagi orang yang kosong iman, menganggap ini kejadian biasa.

Aku memutuskan ziarah sebentar ke syaih Abdul Jabar. Makam orang yang ada di situ, yang menurut orang tuaku masih ada hubungan nasab kepadaku, dan sampai kepada Jaka Tingkir, mas Karebet.

Tapi aku mau berziarah saja, mengingat dia Ulama zaman dahulu, yang memperjuangkan Islam, karena hari telah sore aku memutuskan untuk bermalam di mushola, sebelah pemakaman, di mana banyak juga para musafir yang bermalam.

Usai sholat magrib dan isyak berjamaah, aku meneruskan membaca dzikir harianku, sampai malam kemudian tidur. Dalam mimpi aku merasa ditemui oleh orang tua berikat kepala putih, dan wajahnya menatap lembut kepadaku.

Kumis dan jenggotnya putih dan tak terlalu banyak, bajunya hitam legam dia berkata.

“Ngger..! Besok tunggulah warisan yang menjadi hakmu, di pertigaan Anjlog..” Cuma itu yang diucapkan lalu dia menghilang.

Aku terbangun, dan kulihat semua orang tertidur di sana-sini, aku pun melanjutkan tidur lagi.

Paginya setelah sholat subuh, aku mandi di sungai, yang airnya teramat dingin, kabut yang turun membuat pendek jarak pandang. Hanya sejauh dua meter.

Embun di rumput pun terlihat amat tebal seperti permadani putih tipis terbentang, setelah mandi, dingin tak begitu terasa lagi menggigit tulang. Karena kabut yang turun teramat tebalnya pohon-pohon besar seperti bayangan raksasa.

Tapi perempuan-perempuan desa kulihat keluar dari kabut, suara mereka bercanda seakan tak ada kesulitan hidup yang dihadapi, BBM yang harganya melambung, bahan-bahan pokok yang ikut melonjak naik, seakan bukan masalah bagi mereka, setiap wajah dihiasi keceriaan, padahal aku yakin para perempuan itu bukanlah orang-orang kaya.

Mereka hanya orang yang teramat sederhana, masak dengan kayu bakar yang diambil di hutan, yang mereka masak adalah padi yang mereka tanam dan mereka panen, lalu dibawa ke penggilingan, lauk mereka juga mereka tanam sendiri, jadi apa yang perlu dikawatirkan lagi, mungkin pergi naik mobil, belum tentu dua atau tiga tahun mereka naik mobil, jadi walau bensin oleh pemerintah dinaikkan seliter satu juta, juga tak mempengaruhi mereka, sebab naik mobil bagi para orang gunung ini adalah siksaan tersendiri, yaitu siksaan mabuk perjalanan. Mereka seperti punya negara sendiri, yang bernama Republik bersahaja. Hidup tak neko-neko, seadanya saja.

Perempuan-perempuan itu menyapaku ketika lewat di depanku.

“Nderek punten gus…!”

“Manggo… ngatos-atos…” jawabku.

Aku melangkah meninggalkan Nglirip, dan segala keindahannya.

Aku penasaran dengan mimpiku semalam, hanya bunga tidurkah. Pertigaan Anjlog sekitar dua kilo, jalan menurun, kalau ditempuh dengan sepeda mungkin tak sampai sepuluh menit tanpa dikayuh, karena jalanan menurun, malah berbahaya kalau tak punya rem.

Aku tempuh jalan itu dengan jalan kaki, disamping hari masih pagi, dan kabut tebal sekali, jalan kaki tentu menyehatkan.

Sampai di pertigaan Anjlog, matahari telah meninggi, dan kabut tinggal tipis, menyisakan butiran air di pucuk daun dan rumput, bercahaya berkilauan seperti manik-manik mutiara.

Beberapa anak sekolah bergerombol menunggu bus, ada yang berseragam biru tua, berarti anak SMP, ada juga remaja berseragam abu-abu, berarti anak SMA, kalau ada SMA di sini ya sekolah Bukit Tinggi, itu adalah nama sekolah lanjutan yang ada di bukit jadi dinamakan Sekolah Bukit Tinggi, aku sebenarnya sekalian mau cari sarapan, tapi setiap warung pinggir jalan yang kutanya, selalu menjawab belum matang, kulihat juga ada gerobak bakso, ah bakso juga tak apa-apa kalau ada lontongnya, jadi kalau kepedesan ngrokok juga lebih enak, kulihat tukang bakso menata mangkok, aku dekati.

“Baksonya sudah ada bang?” tanyaku.

“Bentar lagi gus…., silahkan duduk dulu…!” katanya hormat.

“Lontongnya ada bang…?”

“Oh ada-ada, banyak…”

Aku masuk ke dalam rumah-rumahan bambu, yang dibuat serampangan dan seadanya, hanya untuk melindungi para pemesan bakso agar bisa menikmati bakso pesanannya dengan nyaman. Saos, kecap, sambal, berjejer di depanku.