KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART22a

TERUNGKAP


Ada yang menjawab pertanyaan itu. Bukan saya yang menjawabnya. Lidah saya benar-benar tidak bisa bergerak. Saat itu tubuh saya sangat kaku. Seluruh urat syaraf saya ikut menegang. Saya hanya mengandalkan panca indera saya, terutama indera pendengaran. Suara itu, begitu dekat dengan belakang leher saya.

Suara itu, dia tertawa dengan suara yang berat. Suara itu mengganggu ketenangan jiwa saya. Seakan ada energi lain yang ikut terpancar dari suara itu.

“Siapa kamu?? Jawab saya!” Pak Eri kembali berteriak.
“Zikh…zikh..ikh bin zikh…” suara itu menjawab. (Saya masih ingat perkataannya dengan sangat jelas)
“Berbicaralah dengan bahasa kami. Kami tidak akan menyakitimu.”

Suara itu hilang. Tapi cengkraman tangan Pak Indra dari belakang semakin kuat dan menyakitkan. Saya ingin berontak. Saya mulai menggerak-gerakkan kaki saya. Tapi Pak Eri menahannya. Saya tidak sanggup.

Saya kembali mendengar suara. Kali ini, suara itu berupa hembusan nafas yang terengah-engah. Kami semua terdiam mendengar suara itu, sampai nafasnya terdengar lebih tenang dan Pak Eri kembali bertanya.

“Jawablah pertanyaan saya. Dengan bahasa kami.” Pak Eri kembali bertanya.
“Zikh..zikh..ikh bin zikh..” suara itu kembali menjawab dengan bahasa yang sama.

Kali itu, suaranya lebih tinggi dan lebih nyaring. Suaranya suara perempuan, saya yakin sekali. 

“Sekali lagi saya perintahkan, berbicalah dengan bahasa kami!” Pak Eri berteriak.
“Saya… saya… adalah… dia.” Dia menjawab.

Mendengarnya, rasanya tidak ada darah yang mengalir di dalam tubuh saya. Suara itu, terasa tidak asing. Suara itu, begitu mengerikan. Saat itu pula saya melihat wajah Pak Eri dan ekspresi wajahnya begitu tegang. Dia melihat ke arah Pak Indra di belakang saya.

“Apa maksud kamu dengan dia? Dia siapa?”

Salah satu tangan Pak Eri melepas genggaman di bahu saya dan menyentuh kepala saya. Sepertinya dia sedang menunjuk ke arah kepala saya.

“Dia? Anak ini? Kenapa kamu mengaku bahwa kamu adalah dia?”

Tidak ada jawaban dari jin itu. Saya bahkan berharap ritual itu dihentikan karena saya tidak sanggup. Saya tidak ingin tahu. Saya menyerah. Tapi Pak Eri tetap melanjutkannya sambil mengisyaratkan saya untuk tenang.

“Berjanjilah.. jangan kalian mencoba menyakiti saya.. Kalian tidak akan bisa..” Jin itu kembali menjawab. Tapi kali itu, suaranya adalah suara saya! Saya yakin sekali bahwa itu persis sama dengan suara saya sendiri.

“Kami tidak akan menyakitimu.. Kami hanya ingin kamu menjawab pertanyaan saya. Siapa kamu dan dari mana asalmu.” Pak Eri bertanya dengan tenang.

“Balqa..balqa..” Suara itu menjawab lagi.
“Apa maksud kamu dengan ucapan itu?”
“Balqa.. Yordania..”
“Jadi kamu tadi berbahasa yordania?”
“Yiddi..”
“Jadi apa maksud kamu? Kamu jangan mempermainkan saya!”

Saat itu pula tiba-tiba Pak Eri tersedak hebat, persis seperti kejadian tersedak sebelumnya yang pernah terjadi pada orang-orang di sekitar saya. Saat Pak Eri sedang berjuang untuk bernafas, jin itu kembali bersuara.

“Jangan kau bersikap kasar. Karena saya bisa lebih kasar dari anda.”

Saat itu saya ingin sekali berteriak, karena Pak Eri terlihat melemah, dan saya tidak tahu dengan Pak Indra di belakang saya. Saya merasa sendiri.

Saya melawan rasa “tertindih” di tubuh saya dan saya mengucapkan sesuatu.

“Maafkan kami.. kami.. tidak mau mengganggu ketenanganmu.” Saya berhasil melawan lidah saya yang kaku dan berbicara.

Pak Eri sudah tersadar dari keadaan tersedak. Dia mengisyaratkan sesuatu seakan marah kepada saya. Sepertinya tidak seharusnya saya berbicara seperti itu. Berbicara dengan nada memelas dan memohon maaf. Pak Eri terlihat berusaha mengucapkan sesuatu tapi dia justru kembali tersedak. Saat itu saya tersadar bahwa mungkin Pak Eri tidak bisa mengucapkan apa-apa.

“Biarkan anak ini yang berbicara..” Jin itu kembali berbicara.

Saya tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali Pak Eri ingin berbicara, dia pasti kembali tersedak dan dia terlihat menderita. Saat itu pula saya merasa harus mengambil alih karena saya harus menghentikan penderitaannya.

“Kenapa.. kenapa harus saya yang berbicara.” Saya bertanya
“Saya tidak akan berbicara pada budak.”

Dia menjawab dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya. Seakan memang dia hanya akan menjawab pertanyaan saya saja.

“Kenapa.. kenapa kamu mau menjawab pertanyaan saya?”
“Karena kamu adalah tuanku.”
“Saya.. tidak mengerti..” Saya berbicara dengan terbata-bata. Rasanya ingin menangis.

Saat itu Pak Eri tidak berani mengucapkan sepatah katapun. Dia hanya duduk terdiam sambil memperhatikan saya, dengan wajah penuh keringat dan mata yang memerah.

“Saya mohon. Jawab pertanyaan saya. Apa maksudmu mengatakan itu.” Saya kembali bertanya.

Saya tidak lagi merasakan cengkraman tangan Pak Indra. Saya tidak berani menoleh ke belakang.

“Ya. Bukankah sudah berkali-kali saya ucapkan bahwa saya akan datang kepada kamu.”

Suara itu, tidak terdengar dari telinga saya. Suara itu terdengar dari dalam hati saya. Saya seakan mendengar suaranya. Dia menjawabnya melalui media lain yang tidak bisa saya mengerti.

“Lalu kenapa kamu harus datang kepada saya?”

Saat itu Pak Eri terlihat bingung, dan saat itu pula saya semakin tersadar bahwa hanya saya yang bisa mendengar suaranya. Pak Eri kemudian mengisyaratkan saya untuk bertanya dari mana asalnya. Untunglah saya mengerti isyaratnya.

“Dari mana asal kamu? Kenapa kamu bisa ada disini?” 

Tidak ada jawaban sama sekali. Suasana ruangan semakin hening. Bahkan terasa seperti hampa udara. Kami menunggu berapa detik di dalam keheningan, sampai akhirnya, saya lah yang tersedak. Saya tersedak sangat parah. Saya kehabisan nafas. Saat itu pula Pak Eri dengan cepat menyiramkan wajah saya dengan air, dan berusaha membantu saya. Tapi, saya tidak sanggup.

Saat tersadar dari keadaan tersedak, saya masih berada di ruangan yang sama dalam keadaan tergolek lemah. Badan saya terasa sangat lelah. Saya melihat Pak Eri yang sedang membaca sesuatu di atas sofa. Dia tidak melihat saya. Saya tidak melihat Pak Indra. Saya tidak tahu dia dimana. Saya melihat keluar jendela dan langit sudah terang benderang.

“Pak Eri..”
“Ya Ampun nak, kamu tidak apa-apa?” Beliau langsung menghampiri saya.
“Iya. Pak. Apa yang terjadi tadi?”
“Kamu tersedak dan pingsan. Saya takut sekali kamu kenapa-kenapa. Tapi untunglah saat pingsan itu ada nafas dan denyut nadi kamu. Tapi saya tidak bisa membangunkan kamu nak.”
“Bagaimana dengan Pak Indra?”
“Dia sudah saya pindahkan ke ruangan sebelah. Dia juga kehabisan tenaga. Mungkin dia tidur.”
“Ya Tuhan..”
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Iya, baik kok pak. Tadi saya bermimpi..”
“Mimpi apa?”
“Saya bermimpi sangat aneh. Tapi terasa sangat nyata, pak. Ada dia di dalam mimpi saya.”
“Baiklah, sebelum kamu ceritakan, sebaiknya kamu catat saja mimpi ini agar kamu selalu ingat. Kita perlu menelaah apa yang ada di mimpi kamu. Ini bukan kebetulan.”


Ya, saya bermimpi sesuatu setelah saya tersedak dan pingsan. Saya bermimpi kembali berjumpa dengan jin itu. Dia tidak menampakkan bentuk wajahnya. Tapi, kali itu saya tahu bahwa dia perempuan. Mimpi itu, mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yang terasa begitu nyata.

Di dalam mimpi itu, saya sedang berjalan di dalam ruangan kosong dan gelap. Ada dia. Jin itu, sedang berdiri di hadapan saya dan menyodorkan tangannya (selanjutnya jin itu akan saya sebutkan sebagai jin saka). Dia seakan mengisyaratkan saya untuk mengikutinya. Dia pun berjalan menjauh. Saya mengikutinya. Saya terus menyusuri ruangan gelap itu, seakan saya sudah pernah berada di ruangan itu sebelumnya. Dan saya sadari, alur perjalanan saya, berjalan lurus dan belok, merupakan jalur saya berjalan di dalam rumah saya sendiri. Dari mulai luar pagar hingga tiba di depan pintu masuk, meskipun saya tidak bisa melihat isi ruangan itu, hanya kegelapan.

Saya berhenti di tengah-tengah perjalanan itu. Ada sosok yang lebih gelap dari kegelapan ruangan itu sedang meringkuk di atas permukaan. Saya mendatanginya dan dia lari. Saya mengejarnya. Saya melihatnya sedang berlari, tapi semakin tinggi. Seakan dia berlari menaiki tangga. Saya mengikuti langkahnya, dan benar, saya menaiki tangga. Saya bahkan memegang pegangan tangga. Saya meraba pegangan tangga itu, dan benar, saya tahu, itu adalah tangga di rumah saya. Saya mendengar suara gaduh dari bawah tangga itu. Saya menoleh ke bawah, membelalakkan mata di dalam kegelapan. Saya dapat melihat sebuah lubang. Ada beberapa sosok yang memanjat lubang itu. Kemudian, jin saka itu, jin yang membawa saya ke dalam mimpi itu, seakan berbicara pada makhluk-makhluk di lubang itu. Mereka lari dan menimbulkan suara gaduh. Saat itu pula saya melihat ada anak kecil. Anak laki-laki sedang berjalan mendekati ruangan itu. Saya memperhatikannya, dan dia... dia, adalah saya sendiri. Saya yang masih kecil, sedang berdiri di ruangan itu dan melirik-lirik ke arah tangga. Saya seakan teringat. Hal itu, hal yang saya lakukan dulu saat pertama kali “diganggu” di rumah itu. Saat kami baru pindah dulu.

Saya kembali melihat jin itu sedang menunggu saya diatas tangga. Saat itu pula saya melihat ada banyak sekali sosok-sosok makhluk halus di ruangan itu, di bawah tangga, kembali keluar dari lubang dan berjalan mengikuti sosok saya yang masih kecil dan kemudian mereka semua hilang dari pandangan saya.

Saya kembali mengikuti jin saka menyusuri tangga itu. Suasana menjadi sedikit lebih terang. Saya terus berjalan, dan kembali berhenti. Saya melihat sosok anak dan seorang wanita dewasa sedang berada di depan pintu. Ada sosok makhluk lain yang sedang berdiri menghalangi pintu itu. Saya memperhatikan mereka, dan mereka adalah saya sendiri dan ibu saya, di usia belasan tahun yang lalu. Di dalam situasi itu, saya melihat sosok ibu saya sedang mengucapkan sesuatu ke arah makhluk yang menghalangi pintu. Di saat itu pula makhluk itu pergi berlari meninggalkan pintu, bahkan saya bisa mendengar suara langkah kakinya. Kejadian itu, lagi dan lagi, merupakan sesuatu yang pernah terjadi kepada saya dan ibu saya dulu sekali. Saya seakan diperlihatkan olehnya. Apa yang terjadi dulu, dari sudut pandangnya.

Saya berjalan mundur dan memperhatikan sosok saya yang masih kecil berjalan menuju lantai bawah. Saya dapat melihat bahwa banyak sekali makhluk-makhluk halus yang tidak bisa saya gambarkan bentuknya, sedang mengikuti saya. Salah satunya adalah sosok anak kecil itu. Jin dengan sosok anak kecil yang pernah menemani saya. Dia ada di dalam mimpi itu.

Selama di dalam mimpi itu, saya ingat betul, saya sama sekali tidak bersentuhan dengan jin saka itu. Di dalam mimpi itu, dia seolah tidak mengganggu saya dan saya tidak terganggu olehnya.

Masih di dalam mimpi itu, setelah terus berjalan mundur, saya ternyata sudah memasuki ruangan lain. Saya tidak ingat ruangan itu seperti apa. Tapi yang jelas, ada sosok ayah saya di dalam sana. Sosok ayah saya tidak melihat saya sama sekali. Dia sedang berdiri, tapi, ada dia. Jin saka itu juga ikut berdiri di sebelah ayah saya. Jin saka itu tersenyum melihat saya. Saat itu pula ayah saya berjalan pergi dan jin itu ikut dengannya. Dan saya terbangun dari mimpi.

Saya mencatat keseluruhan mimpi itu diatas kertas yang diberikan oleh Pak Eri. Saya menulis dengan tulisan yang kacau karena saya terburu-buru, agar saya tidak kehilangan ingatan dari mimpi itu. Pak Eri mengambil kertas catatan itu dan menyuruh saya untuk menceritakan mimpi saya, tanpa catatan itu. Dia hanya ingin memastikan kecocokan antara lisan dan tulisan saya mengenai ingatan saya dalam mimpi itu. Tapi ternyata, apa yang saya ucapkan, sama persis dengan apa yang saya tulis.

Setelah saya menceritakan semuanya, Pak Eri menyuguhkan saya secangkir teh yang sudah mulai dingin dan sepotong roti isi coklat yang sudah hampir kering.

“Sepertinya dia baru saja menyampaikan sesuatu melalui mimpi kamu tadi.” 
“Iya, pak. Tapi kenapa harus dari mimpi saya?”
“Kamu harus tahu, alam mimpi, merupakan alam yang ghaib, dan berada di dimensi lain. Jin bisa dengan mudah memasuki dimensi itu. Mimpi merupakan media termudah bagi jin untuk menampakkan wujudnya dan mengganggu manusia. Karena, tidak mudah bagi jin untuk mengganggu atau berkomunikasi dengan manusia di dunia kita.”
“Iya pak, saya tahu kok.”
“Nah, dari kejadian ini, paling tidak, kita jadi tahu, bahwa dia tidak suka diajak berkomunikasi secara langsung seperti tadi yang kita lakukan. Tapi, melalui mimpi.”
“Apakah itu selalu mimpi saya?”
“Saya tidak tahu, tapi yang pasti, saat ini dia bisa saja melihat kita, dan jika dia tidak suka dengan kita, maka mungkin dia akan menyampaikanya melalui mimpi kita.”
“Lalu.. maaf nih pak. Tapi, seperti tujuan awal kita melakukan semua ini, itu agar dia bisa pergi dari kehidupan saya.. Bagaimana dengan itu pak?”

Pak Eri belum sempat menjawab pertanyaan saya, tapi tiba-tiba Pak Indra muncul dan dialah yang langsung menjawab pertanyaan saya. Wajahnya begitu pucat. Dia tampak sangat lelah sekali.


“Tidak. Kami tidak bisa lagi turut campur lebih dalam.” Pak Indra berkata.
“Loh kenapa begitu pak?” Saya bertanya.
“Nak, kamulah satu-satunya orang yang bisa membuatnya pergi. Kami bisa membantu, tapi hanya sebatas nasihat dan bantuan doa. Kita tidak bisa melakukan ritual seperti tadi lagi. Kita tidak boleh melibatkan orang lain lagi, apalagi jika harus menggunakan…”
“Menggunakan apa pak?”
“Menggunakan orang lain sebagai medium untuk berkomunikasi dengan jin itu.”

Ya ampun. Saya baru tersadar. Pak Indra telah rela dijadikan medium untuk ritual itu. Saya langsung meminta maaf padanya.

“Ya Tuhan, maafkan saya pak. Maaf sebesar-besarnya.”
“Tidak apa-apa. Memang bukan kamu yang menyuruh saya untuk menjadi perantara. Itu keinginan saya. Saya memang ingin sekali membantu kamu. Tapi, setelah kejadian tadi, saya tidak akan sanggup untuk mengulangnya dan saya tidak akan tega untuk mencari orang lain untuk melakukan hal itu lagi.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan pak?”

“Biarlah kita mengetahuinya melalui mimpi.” Pak Eri menjawab.
“Mimpi lagi?”
“Ya. Sepertinya memang dia selalu berkomunikasi melalui mimpi. Toh juga selama ini dia selalu hadir di mimpi kamu kan?”
“Apakah selalu di dalam mimpi saya? Atau orang lain?”
“Kita tidak tahu. Bisa saja dia hadir di mimpi orang lain yang bersinggungan, dengan tujuan tertentu, mungkin dia ingin menyampaikan sesuatu.”
“Lalu apa gunanya saya terus bermimpi jika dia terus-terusan ada?”
“Sudahlah. Untuk sementara waktu ini kita biarkan saja dulu. Kita sambut apa yang ingin dia sampaikan. Setelah itu, mungkin kita bisa tahu harus berbuat apa.”

Saya melihat wajah Pak Eri dan Pak Indra. Ada unsur kergauan dalam ekspresi wajah mereka. Di dalam benak saya, saya merasa bahwa mungkin mereka menyerah. Mungkin mereka benar-benar tidak ingin ikut campur lagi. Tapi, saya tidak bisa memaksakan kehendak. Mungkin benar kata mereka, hanya sayalah yang bisa bertindak. Tapi apa daya, saya memang benar-benar tidak tahu harus berbuat apa jika tidak dibantu oleh mereka.

Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke teras rumah Pak Indra dan duduk menikmati udara pagi yang segar.

Saat langit sudah terang, saya pamit dan saya bergegas pulang sebelum jalanan semakin ramai. 

Sepanjang perjalanan, pikiran saya terasa begitu hampa. Saya merasa lelah jiwa dan raga. Bahkan tanpa saya sadari, saya telah tiba di rumah.

Setibanya di rumah, ibu saya sudah bangun dan sedang menyapu halaman. Dia bertanya apa yang saya kerjakan di rumah teman saya. Ya, saya telah membohonginya. Sebelumnya saya mengaku menginap di rumah teman. Saya akhirnya beralasan bahwa saya harus mengerjakan tugas bersama teman-teman saya.

Melihat wajahnya, saya langsung menghampirinya dan memeluknya. Saya merasa bersalah sekali. Saya tidak melibatkannya dalam masalah ini. Saya ingin menceritakan semua ini, tapi semuanya sudah terlambat. Kini dia tidak lagi kuat seperti dulu. Dia harus berjuang dengan kesendirian karena ditinggal oleh suaminya, ditinggal oleh anaknya yang merantau, dan ditinggal oleh saya yang sibuk dengan keseharian saya. Saya tidak ingin menambah beban pikirannya. Yang harus saya lakukan hanyalah mempertahankan senyum di wajahnya sebisa mungkin. Lagipula, jika saya ceritakan, bisa saja saya malah dianggap gila.

Saat itu pula saya memutuskan untuk tidak menceritakannya pada satu orang pun dari teman saya. Mereka tidak akan percaya, jikapun ada, kemungkinannya kecil. Saya juga tidak ingin teman saya berpura-pura percaya hanya karena kasihan. Saya tidak gila.