KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART19a

HUJAN DERAS



Saya berlari menuju mobil tanpa menghiraukan sekeliling. Tapi, ada yang menghentikan langkah saya. Saya kaget.

“Hei kamu! Kenapa kamu lari-lari begitu? Kayak dikejar anjing saja.” Dosen saya memanggil.
“Untunglah.. Saya kira siapa tadi.” Saya mengucapkannya spontan.
“Kamu kira saya siapa? Sini sini saya ada perlu.”

Ibu dosen itu, memang sering berlama-lama di ruangan di bangunan kampus. Beliau juga memang salah satu dosen paling ditakuti dan disegani di kampus. Biasanya saya selalu menghindar darinya karena dia sering meminta bantuan ini dan itu. Tapi kali ini, saya justru bersyukur bertemu dengannya karena itu berarti saya tidak sendiri.

“Tolong ambilkan berkas saya di mobil ya.” Beliau berkata sembari memutar-mutar kunci mobilnya dan menyerahkannya ke saya.
“Tapi, ini hujan deras bu.”
“Ya saya tidak mau tahu ya, masa anak teknik takut kena hujan.”
“Iya, maksud saya, gimana kalau berkas ibu justru basah.”
“Aduh udah nggak usah banyak alasan. Ambil sana cepat saya butuh segera. Oh iya, badan kamu kan tegap ya jadi sekalian lah nanti angkatkan galon a*ua di ruangan saya dispenser.”

Saya tidak bisa menolak perintahnya. Tapi ya sudahlah, yang penting ada suara manusia yang saya dengar kala itu, bukan suara-suara aneh, apalagi kemunculan makhluk halus. Ya, mungkin bukan makhluk halus, tapi makhluk lain, makhluk nyata yang selama ini juga saya takuti.

Saya tergesa-gesa berlari ke parkiran dosen, menebus hujan, demi si ibu dosen tersayang. Saya berusaha semampu mungkin untuk mengambilnya dan mengantarnya secepat mungkin karena hujan sedang turun dengan derasnya.

Saya berlari menaiki tangga dan tiba di ruangannya. Pintu ruangannya terbuka lebar. Saya langsung masuk. Ibu dosen itu sedang menatap jendela.

“Loh?? Kamu kok udah disini?” Ibu itu bertanya sambil heran.
“Iya, bu, tapi saya disuruh ambilin berkas ibu.”
“Bukan, bukan. Saya baru saja mau marah.”
“Maaf, marah kenapa bu?”
“Aduh. Saya juga bingung. Tadi itu, saya lihat kamu lagi jalan sama anak kecil di bawah sana. Saya lihat dari jendela. Saya kesal tadi. Saya suruh ambil berkas kok kamu malah entah kemana.”
“Ha?” Saya terpelongo.
“Sudah-sudah. Lupakan saja, mungkin saya salah lihat.”
“Emm, baiklah bu, ini kunci dan berkasnya.”
“Iya, taruh saja disitu, jangan lupa dispenser saya.”
“Iya, bu.”

Saat saya sedang mengisi ulang dispenser air minumnya, saya terus memperhatikan wajahnya. Ia telrihat bingung. Wajahnya terlihat pucat. Sepertinya saat itu saya juga pucat. Saya juga melihat sosok saya sendiri sebelumnya, sedang berjalan dengan anak kecil itu. Masa iya dia juga melihat hal yang sama?

Hari sudah hampir gelap. Ada beberapa anak kampus yang kembali untuk mengerjakan tugas di ruangan studio.

“Sore, bang.”
“Sore. Banyak tugas nih?”
“Iya, bang. Ini rencana mau nginep di kampus, besok udah deadline. Abang ngapain masi di kampus?”
“Iya, ini mau pulang.”
“Oh, kirain mau nginep juga. Lagian arah keluar kampus banjir bang, tadi mau ngeprint tapi nggak jadi.”
“Oh ya? Gawat.”

Mengesalkan. Saya sudah tidak ingin berlama-lama di kampus itu. Tapi, kebetulan sekali saat itu saya mengendarai mobil sedan dan saya yakin mobil saya tidak bisa menembus banjir karena sudah pernah kejadian, mobil itu nyaris mogok saat saya melewati banjir yang sebenarnya tidak terlalu parah.

Akhirnya saya hanya duduk di teras kampus sambil merokok. Berharap hujan akan berhenti karena saya ingin sekali pulang. 

Satu demi satu batang rokok saya habiskan. Berharap ada teman satu angkatan saya yang muncul untuk diajak bercerita.

Tapi, akhirnya saya hanya duduk sendiri, sambil mendengarkan lagu-lagu melalui headset. Langit sudah gelap. Hujan memang sudah reda. Tapi, saya tahu, jam-jam sebelum dan setelah maghrib merupakan saat-saat terparah untuk pulang karena jalanan pasti akan sangat macet, apalagi hujan baru saja turun dengan derasnya. Saya tidak ingin mengambil resiko. Beberapa anak kampus juga banyak yang sibuk mondar-mandir karena hendak menunaikan sholat maghrib. Saya merasa lebih tenang dari sebelumnya, karena suasana terasa lebih ramai.

Salah satu junior saya yang tidak saya ingat namanya menegur saya dari kejauhan. Wajar saja dia menegur. Dia menegur saya bukan karena dia ingin, tapi karena itu merupakan budaya di kampus, dimana junior harus selalu menyapa seniornya. Awalnya, junior saya itu menegur saya sembari mengangkat tangannya, ke arah saya. Tapi kemudian, dia juga menyapa dan mengangkatkan tangannya ke arah lain. Arah di sebelah saya. Dia seakan menyapa seseorang lain di sebelah saya. Di kursi kosong di sebelah saya.

Saya terdiam dan terpaku. Apalagi yang terjadi. Kenapa bisa dia melakukan itu. Apa dia melihat ada orang lain yang duduk di sebelah saya?

Saya menoleh ke kursi kayu yang kosong di sebelah saya. Tentu saja tidak ada siapa-siapa. Saat saya sedang memperhatikan kursi itu, kursi itu, tiba-tiba saja kursi itu bergoyang sedikit dan mengeluarkan bunyi decitan, gesekan diantara susunan kayu-kayu yang sudah rapuh.

Spontan saja saya langsung lari. Saya lari terbirit-birit menuju mobil. Saya tidak peduli lagi. Jika memang jalanan banjir dan macet, saya rasa itu lebih baik daripada saya harus duduk sendiri disitu.

Hari itu merupakan hari yang sangat aneh sekaligus mencekam. Saya harus melihat sosok anak kecil berjalan dengan sosok saya yang lain. Saya harus bertemu dengan ibu dosen yang menakutkan, meskipun ia bukan berasal dari golongan jin. Saya sampai lupa bahwa paginya saya mendapat ‘pesan’ aneh di lengan saya. Suatu goresan dengan bahasa asing, yang saya tidak tahu artinya, saya tidak tahu maksud dan tujuannya, saya tidak tahu apa visi dan misinya.

Saya tiba di rumah setelah menempuh perjalanan yang begitu menantang. Saya menyapa dan menyalam ibu dan ayah yang sedang nonton TV bersama. Entah kenapa saat itu saya merasa ingin sekali memeluk ayah saya. Saya melebarkan tangan dan saya memeluknya, dan dia membalas pelukan saya. Entah kenapa, aneh. Selama ini saya tidak pernah melakukan itu, kecuali dengan ibu saya.

Saya masuk ke kamar dan merebahkan badan. Saya merasa gila. Ingin sekali rasanya berteriak. Saya ingin marah pada diri saya sendiri. Saya pergi ke kamar mandi. Saya melihat cermin. Saya melihat pantulan wajah saya sendiri. Hmm, tampan sekali. Maaf bercanda----- Saya memasang wajah marah pada pantulan saya sendiri. Saya memukul-mukul cermin itu dengan penuh emosi. Setelah melakukan itu, saya terduduk di lantai kamar mandi sambil menundukkan kepala. Saya bahkan sempat berpikir apakah saya sudah gila. Tapi, saat itu hati kecil saya berbicara. 

“Jangan. Jangan lemah. Mereka sedang mempermainkan kamu. Inilah yang mereka inginkan.”

Bisikan hati kecil saya itu benar-benar menguatkan saya. Mungkin itu adalah petunjuk dari Tuhan.

Sudah beberapa minggu setelah hari yang aneh itu. Selama itu pula saya tidak menyibukkan diri untuk mencari-cari tahu dan menepis semua gangguan yang ada dalam batin saya. Sampai, akhirnya saya kembali bermimpi bertemu dengan sosok itu lagi. Kali ini, sosoknya semakin jelas. Ia terasa semakin dekat. Seperti biasa, dia tetap mengatakan perkataan yang sama. Dia menyuruh saya untuk percaya dengannya. Dia mengatakan dia akan melindungi saya. Dia sudah tidak tahan lagi dan waktunya sudah dekat. Di penghujung mimpi itu, dia memegang dada, kemudian mendorong saya hingga terjatuh dan dia tertawa dengan suara yang mengganggu gendang telinga.