KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART21b



Saya memang menyadari keanehan-keanehan itu, tapi selama itu pula saya menepisnya. Sesuai dengan apa yang telah terjadi selama ini, saya tidak ingin terlalu fokus untuk mencari-cari tahu apa yang terjadi, agar saya tidak terjebak lebih dalam. Dan sudah selama itu pula saya tidak lagi berkomunikasi dengan Pak Indra.

Saya ingat sekali, saat itu hari Kamis, siang, saat matahari sedang menyinari dengan teriknya di parkiran kampus. Saya pergi ke kampus hanya untuk mengumpulkan tugas. Tugas itu tidak dikumpul langsung ke dosen, melainkan ke asistennya. Siang itu saya terlambat mengumpulkan tugas karena jalanan yang macet.

Saya berlari menuju ruangan dosen, berharap tugas saya masih diterima, meskipun saya belum melewati batas waktu mengumpulkan tugas. Setibanya di ruangan, ibu asisten itu sedang duduk.

“Mau ngapain kamu?”
“Mau ngumpul tugas, bu.”
“Tidak bisa. Sudah terlambat. Kamu paling terakhir.”
“Loh ini kan masih belum jam 1 bu. Kan paling lama jam 1.”
“Yang menentukan kan saya. Ya kalau saya bilang tidak ya tidak.”
“Jadi saya harus gimana? Saya kan tahu nya jam 1 paling lama.”
“Sudah, mata kuliah ini kamu ulang saja tahun depan.”
“Bu, tapi saya sudah menyelesaikan tugas ini dan saya tidak terlambat!”

Dia hanya diam. Sedangkan saya saat itu merasa berang. Amarah saya memuncak dan membludak. Saya tidak peduli. Saya melemparkan berkas tugas saya keatas tumpukan tugas-tugas lain dengan keras.

“Apa-apaan kamu ini?” Ibu itu kesal.

Saya hanya diam, sambil menatap matanya tajam. Begitu tajam, penuh dendam dan amarah yang membara-bara. Ibu itu, awalnya dia juga terlihat menentang saya.

Tiba-tiba dia tersedak hebat. Dia terlihat kehabisan nafas. Wajahnya memucat. Dia terbatuk-batuk bahkan hampir muntah. Dia nyaris tersungkur. Peristiwa itu, persis seperti yang saya alami saat sakit dulu.

Melihatnya dalam keadaan begitu, saya justru berteriak.

“Jadi ini kau mau terima tugas aku apa enggak??”

Ucapan saya. Ucapan itu, begitu kasar. Percayalah, saya bahkan tidak sadar saya telah mengucapkan itu. Saya mengucapkannya spontan.

Ibu itu, masih dalam keadaan terbatuk-batuk, mengisyaratkan saya dengan bahasa tubuhnya untuk meninggalkan tugas saya diatas meja itu dan menyuruh saya untuk pergi dari ruangan itu.

Saya keluar dari ruangan itu dan membanting pintu. Saya tersenyum lebar. Ya Tuhan, apa yang telah saya lakukan. Detik itu juga saya tersadar. Saya begitu kejam. Tapi, saya tidak melakukan apa-apa. Dia tersedak dengan sendirinya. Tapi, saya merasa bahwa itu perbuatan saya dan saya senang melihatnya menderita.

Peristiwa itu, mirip sekali dengan yang pernah terjadi dulu di masa saya SMP.

Saya terus kepikiran hingga saya tidak sadar saya sudah kembali berada di parkiran. Saya masuk ke mobil, membuka kaca jendela dan membakar rokok, menghadap ke pintu masuk gedung, dibawah teduhnya pohon dan angin yang berhembus lembut.

Sudah beberapa menit saya duduk di mobil dalam pikiran kosong dan akhirnya memutuskan untuk mengendarai mobil dan pergi.

Sudah beberapa meter mobil itu bergerak dan hampir di depan pintu masuk kampus. Saat itu pula ibu asisten itu keluar dari pintu itu dan berjalan menyeberang melewati mobil saya. Dengan spontan, saya menancap gas dan hampir menabrak ibu itu. Dia bahkan berteriak. Saya tersenyum lebar melihatnya panik sambil mengelus dadanya. Dia melihat saya dari luar, menembus kaca mobil yang nyaris transparan.

Saya akhirnya tetap melanjutkan perjalanan, mencari kedai kopi terdekat untuk duduk sendiri bersantai menikmati internet gratis sambil mengerjakan tugas dan memikirkan apa yang perlu dipikirkan. 

Untunglah di sekitaran kampus ada begitu banyak pilihan kafe. Saya memilih kafe yang terlihat paling tenang dan sepi.

Saya duduk di sudut kafe, memesan secangkir kopi susu dan roti bakar. Saat itu kepala saya terasa berat. Saya sudah berlaku kejam terhadap ibu asisten itu. Saya tidak seharusnya melakukan itu. Saya tidak berniat melakukannya. Ada tenaga lain dalam tubuh saya yang melakukan semua itu. Saya yakin. Selama ini saya memang sering marah sendiri, tapi itu semua cukup saya pendam. Saya tidak sampai melakukan tindakan sejahat dan sekasar itu. Ini sudah semakin parah.

Saya menunduk sambil menekan-nekan kepala saya. Tiba-tiba si pelayan hadir mengantarkan minuman.

“Silahkan mas, ini kopi susunya.”
“Oh.. iya mas, makasih.”
“Mas, maaf. Mas sehat kan? Mau saya ambilkan obat? Kebetulan saya selalu bawa.”
“Ha? Oh sehat kok. Memangnya kenapa?”
“Iya daritadi saya lihat kok kayaknya mas kurang sehat.. Itu lingkar matanya hitam bener.”
“Oh ya?”
“Iya, mas, atau cuci muka saja dulu biar barang-barangnya saya jagain dulu.”

Saya bergegas ke toilet di kafe itu. Begitu membuka pintu, ada cermin yang langsung menghadap saya. 

Saya membasuh wajah saya dengan air dan melihat wajah saya di cermin, meskipun sebenarnya saya tidak ingin melihat ke cermin. Astaga, benar kata pelayan itu. Wajah saya terlihat begitu lesu dan lelah. Lingkar mata saya begitu hitam. Saya terlihat lebih tua disitu. 

Saya terus menatap wajah saya di cermin itu. Lama sekali. Saya menatap mata saya sendiri. Setelah beberapa menit, saya terkaget. Persis seperti yang pernah terjadi di rumah nenek saya dulu, saya takut melihat wajah saya sendiri di cermin. Sorot mata saya, begitu mengerikan. Saya tidak mengenal wajah saya sendiri. Saya seakan sedang bertatapan dengan orang lain. Orang yang begitu bengis dan siap menerkam. Tapi, saya tetap melawan rasa takut itu dan terus menatap cermin itu, sampai ada yang menggedor pintu toilet.

Pelayan kafe itu menggedor pintu dan menanyakan apakah saya baik-baik saja.

Saya kembali ke meja dan menyeruput kopi susu yang mulai dingin. Roti bakar sudah tersaji diatas meja tapi saya merasa tidak lagi selera untuk mencicipinya. Pelayan itu kembali dan menanyakan apakah saya perlu obat. Tapi, saya memang tidak sedang sakit, mungkin secara fisik. Tapi, mental saya, rasanya sangat terguncang.

Saya berpikir keras. Saya menduga-duga. Apa mungkin jin itu telah memasuki saya. Perubahan dalam diri yang saya alami, apakah itu karena dia. Saya sudah mencoba keras meneguhkan iman dan keyakinan agar dia tidak bisa memasuki celah dalam batin saya.

Ya, seperti biasa. Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya menelepon Pak Indra dan mengajaknya untuk bertemu di kafe itu. Setelah sekian lama, akhirnya saya menghubunginya lagi.

Setelah meneleponnya berkali-kali, beliau akhirnya menjawab telepon saya. Saya harus berbasa-basi dulu. Saya menanyakan kabarnya dan dia senang sekali akhirnya saya menghubunginya lagi. Dia mengaku bahwa dia terus memikirkan keadaan saya. Tapi, beliau enggan untuk menghubungi saya duluan karena takut saya akan kembali terngiang mengenai masa-masa sulit dulu. Dia berprasangka bahwa saya dalam keadaan baik-baik, tanpa “gangguan” yang menyulitkan. Padahal, gangguan yang saya alami sudah memasuki bagian internal dalam kehidupan saya, yang baru saja saya sadari saat itu.

Saya tidak menceritakan apa yang terjadi melalui telepon, dan dia setuju untuk berjumpa di kafe itu.

Saya menunggu cukup lama di kafe itu, bahkan saya sudah memesan kopi susu untuk kedua kalinya, hingga akhirnya beliau muncul. Beliau langsung duduk menghampiri saya dan memesan segelas air putih hangat.

Tanpa berlama-lama, saya langsung menceritakan mengenai apa yang terjadi. Dia terlihat kecewa, setelah mendengar cerita saya. Saat itu, dia yakin. Jin itu memang tidak pergi. Dia ada, di sekitar saya. 

“Kita harus kembali bertindak, jika memang begini keadaannya. Kamu harus yakinkan dalam diri kamu bahwa kamu tidak butuh dia dan dia harus pergi selamanya.” Beliau berkata.

Setelah beliau mengucapkan kalimat itu, ada rasa marah yang begitu membludak. Badan saya terasa panas. Secara spontan, saya menyiram wajahnya dengan air putih yang ada di depannya. Ya ampun. Apa yang telah saya lakukan.

Saat itu juga dia langsung menatap saya dengan tajam. Dia sedang menerawang saya, saya tahu itu. Dia tidak marah dengan kejadian itu, dan untunglah tidak ada yang melihat peristiwa itu.

“Maaf, pak. Maaf sekali, saya.. saya tidak bermaksud.. saya… tidak tahu.”
“Iya. Tenanglah. Saya tahu kamu tidak akan mungkin melakukan itu.”
“Pak.. saya tidak bisa begini.”
“Iya. Saat ini yang kamu lakukan adalah, tenangkan diri, lawan rasa amarah itu. Jangan lemah. Kita akan membuatnya pergi dengan segera.”

Saat itu Pak Indra sudah yakin seratus persen bawa jin turunan itu sudah benar-benar hinggap di tubuh saya. Jujur, setiap kali dia mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan mengusir jin itu, saya merasa marah sekali. Saya tidak suka. Saya ingin sekali menampar wajahnya dan membuatnya kesakitan. Tapi, saat itu saya melawan sekuat tenaga. Saya harus kuat. 

Kami tidak lagi berlama-lama disitu karena langit sudah mulai gelap. Saya juga harus pulang karena ibu saya menunggu di rumah sendirian. Kami membuat janji untuk bertemu besok dan melakukan sesuatu. Sesuatu yang saya harap akan membuatnya pergi dari kehidupan saya.