KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART19b


Hari itu juga, saya pergi ke rumah Pak Indra, sebelum saya masuk kuliah. Saya harus lebih banyak bertanya dengannya. Saya bahkan tidak mengabarinya terlebih dahulu. Saya langsung saja datang ke rumahnya.

Setibanya disana, dia sedang duduk di teras rumahnya, sambil sibuk membaca buku. Saya menghampirinya. Belum sempat saya mengucapkan sapa dan salam, beliau langsung menghela nafas.

“Hhh, duduklah.” Katanya. Dia seakan tidak siap untuk berjumpa dengan saya.
“Maaf, pak, pagi-pagi begini.”
“Iya, iya, duduklah. Sebentar saya ambilkan minum. Vodka atau anggur?”
“Ha?” Saya terpelongo.
“Ha ha ha maaf saya bercanda. Sudah jangan tegang begitu, santai saja dulu.”

Hmm sempat-sempatnya beliau bercanda. Tapi tidak apa-apa, dengan begitu, rasa bersalah saya seakan terobati. Berarti dia tidak merasa kesal karena kehadiran saya.

Beberapa menit kemudian dia kembali sambil menyuguhkan saya secangkir teh yang warnanya pekat sekali sampai saya merasa enggan meminumnya, tapi tidak mungkin saya tidak meminumnya.

“Wah makasih pak. Maaf nih sampai jadi repot.”
“Tidak apa-apa. Tadi saya lihat kok kamu tegang sekali.”
“Iya pak. Ya bapak tahu lah kenapa.”
“Iya, saya tahu kok. Kali ini seperti apa?”
“Saya, ingin tahu lebih banyak pak.”
“Mengenai?”
“Mengenai jin saka yang pernah kita bahas.”
“Hmm, saya sudah bilang kan, saya tidak kenal betul keluarga kamu seperti apa.”
“Bukan, pak, bukan mengenai keluarga saya kok. Cukup mengenai jin itu saja.”
“Jadi kamu benar-benar ingin tahu tentang mereka?”
“Iya, pak. Saya merasa dipermainkan oleh mereka.”
“Dipermainkan bagaimana lagi?”
“Saya kembali mimpi yang sama, tapi..”
“Tapi?”
“Sudahlah pak nanti saya jelaskan. Saya rasa lebih baik mendengar dari bapak dulu. Boleh kan?”
“Baiklah.”

Pagi itu suasananya sangat serius. Terlalu serius dan terlalu misterius untuk dibicarakan di pagi hari yang cerah dan damai. Jika saat itu adegan pembicaraan kami direkam dalam kamera, mungkin hasilnya menjadi monokrom.

Pak Indra menjelaskan beberapa hal yang ia ketahui tentang jin saka. Beliau menjelaskan pada saya bahwa jin saka itu hanya dugaannya. Dia menduga bahwa ada keterlibatan jin saka dalam masalah saya selama ini. Dia tidak menuduh saya ataupun keluarga saya telah melakukan kesepakatan dengan jin. Beliau menjelaskan, bahwa jin saka adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Jin turunan, praktik kerjasama dengan jin, bukan hanya dilakukan oleh kebudayaan di Indonesia, tapi juga di belahan bumi lain. Karena, berdasarkan sejarah agama-agama abrahamic pun; zaman Solomon, atau nabi Sulaiman, merupakan zaman dimana jin terlibat dengan urusan-urusan manusia dan tentu saja itu sudah lama sekali. Bahkan sampai sekarang peninggalan-peninggalan Solomon masih menjadi misteri. Beliau mengatakan, bisa saja, jin yang hadir di mimpi saya, jin yang mungkin telah mengganggu kehidupan kami, memang bukan ‘jin saka’ yang sering disebut-sebut oleh orang-orang domestik. Tapi, kesamaannya adalah, jin itu masih bersifat turunan, karena telah terjadi sesuatu di masa lampau. Beliau mengatakan, mungkin saja memang benar ada leluhur terdahulu sekali, entah dari pihak siapa dan sedang berada dimana, pernah melakukan kerjasama dengan jin. Atau, mungkin jin itu dikirimkan oleh orang lain alias santet. Tapi, yang jelas, jin seperti itu tidak akan datang dengan sendirinya jika tidak diundang atau minimal ada maksud tertentu. Jika seseorang pernah melakukan kesepakatan dengan jin demi kepentingan tertentu, maka jin itu akan benar-benar setia kepada tuannya. Tapi, umur manusia tidak sepanjang jin. Saat tuannya telah pergi meninggalkan dunia ini, jin itu mungkin saja tidak mati. Jika, tuannya sudah ‘membuang’ jin peliharaannya itu sebelum dia meninggal, maka mungkin dia akan menghadapi beberapa kesulitan akibat tipu muslihat jin itu, tapi keturunannya tidak akan bisa diganggu lagi. Sebaliknya, jika tuannya meninggal tanpa ‘membuang’ jin itu terlebih dahulu, maka jin itu, selama dia masih hidup, akan ikut kepada keturunan tuannya. Kita tidak tahu siapa dari keturunannya yang akan dia ‘ganggu’. Kita tidak tahu apakah dia akan mengganggu semua keturunannya. Kita tidak tahu apakah mereka akan memilih-milih keturunannya yang akan dia ikuti. Semuanya tergantung bagaimana dulu perjanjian itu terbentuk. Bisa saja dulu ada persyaratan yang harus dilakukan si Tuannya untuk tetap menjaga kesepakatan dengan jin. Tapi, bisa saja keturunannya tidak tahu syarat-syarat itu sehingga jin itu bisa saja tidak suka dan marah. Maka dari itu, beliau kembali menasehati saya, bahwa manusia tidak perlu melampaui apa-apa yang sudah diperintahkan Tuhan. Manusia tidak seharusnya meminta pertolongan dengan jin. Karena, jin yang mau melakukan itu pastilah jin jahat. Mereka punya begitu banyak tipu muslihat untuk akhirnya menjerumuskan manusia ke jalan yang sesat. Kita bisa saja tidak menginginkan kehadirannya, dia bisa saja memang memilih kita, karena alasan tertentu. Tapi, kita bukan tidak bisa menolaknya. Kita bisa menolaknya jika kita menguatkan diri dan memohon perlindungan kepada Tuhan.

“Jadi, apa saya perlu melakukan ritual pengusiran dari dalam diri saya?” saya bertanya.
“Sudah. Saya sudah melakukannya dulu. Kamu lupa?”
“Oh iya.”
“Apakah setelah itu kamu masih merasa ditemani oleh makhluk lain?”
“Saya rasa tidak, di awal saja. Belakangan saya masih merasa kehadirannya meskipun saya tidak berkomunikasi dalam bentuk apapun. Tapi, apakah yang selama ini menemani saya itu adalah jin saka?”
“Saya yakin bukan.”
“Kenapa bapak bisa yakin?”
“Entahlah. Tapi saya yakin dia bukanlah jin saka. Dia adalah jin lain.”
“Jin dari sumur itu?”
“Mungkin. Tunggu. Lalu apa cerita kamu? Saya sudah selesai menjelaskan.”
“Saya, kembali berjumpa dengan jin itu di dalam mimpi. Tapi, kali ini dia benar-benar mengatakan bahwa waktunya sudah dekat dan dia mendorong saya sampai jatuh.”
“Ya Tuhan. Mohonlah perlindungan kepadaNya.”
“Iya, pak. Saya tahu.”
“Saya takut mimpi itu pertanda buruk. Apa mungkin dia akan memasuki kamu?”
“Ya, saya juga berpikir demikian. Tapi kenapa. Kenapa harus saya?”
“Bersabarlah. Saya akan mencoba mencari tahu lagi. Sekarang ini, kamu lebih baik banyak lah berdoa. Jin itu benar-benar sedang mempermainkan kamu. Jangan sampai kamu terperdaya oleh tipu muslihatnya.”
“Baik, pak, terima kasih banyak. Saya merasa sangat lebih baik sekarang. Saya harus ke kampus pak, ada kelas. Nanti saya telpon bapak lagi boleh ya pak.”
“Boleh. Kalau kamu mau kesini juga boleh kok.”

Tanpa berlama-lama, saya pamit. Saya bahkan tidak menghabiskan teh buatannya. Saya bergegas ke kampus. Di perjalanan, saya menyempatkan diri menelepon ayah saya. Entah kenapa memang, sudah beberapa lama belakangan ini saya terus-terusan ingin terus mendengar suaranya, saya ingin sekali berada di dekatnya. Belakangan juga saya sering menghabiskan waktu nonton TV hingga larut malam bersamanya.

Saat selesai kuliah, sebenarnya saya masih ingin kembali ke rumah Pak Indra untuk melanjutkan pembahasan kami. Tapi ayah saya menelepon bahwa ia ingin mengajak saya dan ibu untuk makan siang bersama. Saya mengajaknya untuk berjumpa langsung di restoran saja. Tapi ayah saya tidak mau. Dia ingin saya pulang dulu dan kami pergi bersama dalam satu mobil. Baiklah, saya menurut saja.

Akhirnya kami pergi satu mobil. Perjalanan kami terasa berbeda. Entah kenapa saya merasa rindu sekali dengan suasana itu. Saat makan siang pun, entah kenapa saya terus-terusan melihat wajah ayah saya. Saya memperhatikan rambutnya, matanya, semuanya. Saat itu kami menggunakan baju yang sama. Ya, kami pernah membeli baju yang sama beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya dia kurang suka dengan baju itu karena menurutnya bahannya kurang nyaman. Tapi, sebelum pergi makan siang, dia justru mengganti bajunya agar sama dengan yang saya pakai.

Begitu pula saat perjalanan pulang, saya duduk di depan, di sebelah ayah saya. Saya terus-terusan melihat dan memperhatikan setiap gerak-geriknya.

Malamnya, saya berniat untuk menghubungi Pak Indra, tapi saya ada tugas yang harus diselesaikan.

Begitu pula keesokan harinya, saya pagi-pagi harus ke kampus, dan pulang siang. Saya berniat untuk datang ke rumah Pak Indra untuk melanjutkan pembahasan itu. Tapi, ada kabar bahwa sahabat saya masuk rumah sakit. Dia akan menjalani operasi besok harinya. Saya pergi menjenguknya bersama teman yang lain. Selama menjenguknya, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembicaraan kami. Suasanaya menyenangkan, kami bercerita-cerita dengan senang. Tapi, ada perasaan lain, yang menginginkan saya untuk segera pulang. Sore itu hujan deras kembali turun. Saya pamit untuk pulang duluan. Teman saya sempat heran, kok tumben-tumbennya saya mau, sore-sore, hujan pula, menembus situasi itu untuk pulang. Tapi, saya memang sangat ingin pulang.

Setibanya di rumah, saya memarkirkan mobil di depan rumah. Saya tidak langsung turun dari mobil. Saya mendengarkan lagu-lagu yang entah kenapa membuat saya merasa sendu. Belakangan itu memang saya sering sekali mendengarkan lagu yang nadanya minor dan sendu. Saya sering sekali merenungi sesuatu yang saya tidak tahu apa, tapi saya merasa ada kesedihan di dalamnya. Sore itu, sambil mendengarkan lagu di mobil, saya memperhatikan rumah saya dari luar. Saya memperhatikan semuanya secara seksama. Ada bisikan dari hati kecil saya.

“Rumah ini. Rumah kami. Begitu banyak kenangan di dalamnya. Kenangan yang indah bersama keluarga. Tapi, apakah ini semua akan bertahan selamanya?”

Aneh. Aneh sekali. Saya merasa aneh telah berpikiran seperti itu.

Saya memasuki rumah. Saya melihat ayah saya sedang nonton TV. Saya langsung meletakkan barang-barang ke kamar studio saya. Ya, kamar kosong itu. Tempat saya meletakkan semua kertas-kertas gambar saya yang sangat besar dan banyak jumlahnya.

Saya berjalan ke arah keluar kamar. Ya Ampun. Ada jin itu. Jin yang ada di dalam mimpi saya, dia sedang mengintip di balik pintu itu. Nyata sekali. Saya bisa melihat wajahnya meskipun tidak jelas. Dia tersenyum licik. Saya melawannya. Saya menatapnya tajam. Saat itu pula dia menghilang begitu saja. Mengerikan.

Saya turun ke lantai bawah. Berniat untuk bergabung dengan ayah saya yang sedang nonton di bawah. Saya duduk bersamanya dan bercanda ria di ruangan itu. Bahagia sekali rasanya, di masa-masa sulit seperti ini saya masih bisa tertawa riang bersama keluarga.

Kami ngobrol panjang hingga hari semakin larut. Saat itu sudah hampir jam 9 malam. Ayah saya beranjak dari ruang keluarga menuju kamarnya untuk istirahat. Saya pun akhirnya menyibukkan diri untuk mengerjakan tugas. Saya bahkan tidak terpikir untuk menghubungi Pak Indra karena saya tidak ingin merusak suasana senang di hati saya saat itu.

Saat waktu sudah menunjukkan jam sebelas lebih, ayah saya turun dari kamar. Tidak seperti biasanya. Dia duduk di ruang TV. Dia bilang dia mau menemani saya mengerjakan tugas, sembari dia menonton TV. Padahal biasanya kalau sudah malam beliau nonton TV di kamarnya. Saya senang sekali.

Kami kembali bercerita panjang lebar. Di saat itu pula saya kembali memperhatikan wajahnya dan setiap gerak-geriknya.

Tanpa terasa, malam itu sudah larut. Beliau memutuskan untuk tidur. Tapi, sebelum tidur, dia berpesan untuk membeli roti dan kopi untuk sarapan besok paginya. Saya mengiyakan. Yang anehnya, saat dia hendak naik untuk tidur, saya menyalam tangannya dengan erat dan saya memeluknya, sembari memijit-mijit pundaknya sebentar. Tidak pernah saya melakukan itu. Apalagi di usia saya saat itu. Saya bukan lagi anak kecil.

Malam itu saya pergi membeli roti dan kopi, sesuai pesan ayah. Setibanya di rumah, saya memasukkan mobil ke garasi, memarkirkan mobil di sebelah mobil ayah saya dengan posisi yang sangat rapat. Entah kenapa, saya sengaja. Saya sengaja, agar besok paginya saat dia hendak pergi keluar rumah, dia akan memanggil saya untuk menggeser mobil saya.

Malam itu saya kesulitan tidur. Ada perasaan gundah yang luar biasa di dalam benak saya.

Keesokan paginya, saya terbangun. Saya terlambat bangun. Sepertinya saya melewatkan waktu sarapan bersama ayah dan ibu. Saya bergegas turun, takut kalau ayah saya kesulitan mengeluarkan mobilnya dari garasi. Saya turun dan melihat ayah saya sudah berada di dalam mobil dan beliau hendak pergi berurusan. Saat itu ia akan menghadiri pertemuan besar di salah satu gedung pertemuan besar di kota kami. Saya menghampirinya yang sedang mengeluarkan mobil. Beliau membuka jendela dan saya menjabat tangannya.

Pagi itu saya dan ibu mengantarnya sampai depan rumah. Dia mengenakan pakaian terbaiknya untuk menghadiri pertemuan itu. Saya dan ibu berdiri di teras rumah sembari memperhatikan dia bergerak melajukan mobil, pergi dari rumah. Saat dia hendak melajukan kendaraan, dia menyempatkan diri untuk melambaikan tangan ke kami. Jarang sekali dia melakukan itu. Jarang sekali kami mengantarnya sampai ke teras dan menunggunya sampai dia benar-benar telah beranjak dari rumah.

Saya kemudian masuk kembali ke rumah dan menyantap sarapan yang lezat buatan ibu saya. Saat itu ibu saya memasak soto udang. Saya ingat betul. Setelah makan, saya berbincang-bincang dengan ibu selama hampir satu jam. Pembicaraan kamu tidak akan terhenti jika saya tidak meminta izin untuk mandi dan bersiap-siap untuk masuk kuliah.

Saya berjalan ke kamar saya. Saat saya sedang mengambil handuk, telepon ibu saya berdering. Saya menghentikan langkah saya. Entah kenapa, jantung saya berdegup kencang. Saya menajamkan pendengaran saya, mencoba mendengar pembicaraan ibu saya di telepon. Saya mendengar nada yang aneh, keluar dari mulut ibu saya. Nada yang sendu dan lemah.

“Ya Tuhan. Tolonglah dia, tolonglah dia. Tolong.” Ibu saya masih berbicara di telepon.

Saya langsung berlari ke bawah menghampiri ibu saya.

“Kenapa ma kenapa??”
“Papa, nak. Papa. Papa pingsan di ruang rapat.”
“Ya Tuhan. Ma, sekarang mama siap-siap kita langsung susul papa kesana. Adek nggak usah kuliah”

Saat itu juga saya langsung mengganti baju secara asal. Saya tidak peduli lagi. Kami langsung bergegas untuk menyusul ayah saya.

Selama perjalanan ibu saya terlihat sangat khawatir. Dia menangis. Tapi saya tidak. Saya terus menggenggam tangan ibu. Kami berdoa.

Saya bahkan sampai menabrak beberapa kendaraan selama perjalanan karena sangat tergesa-gesa.

Tapi.. belum sempat kami tiba di gedung pertemuan itu. Telepon ibu saya kembali berdering. Saya, rasanya, tidak siap, untuk mendengar apa isi percakapan itu. 

Ibu saya berteriak.

“Papa..! Papa..!” Dia berteriak sambil menangis. Dia melempar telepon genggamnya.
“Kenapa, ma, kenapa??”
“Papa udah nggak ada, dek.. Papa.. Ya Tuhan, Papa..”

Saat itu saya langsung menangis sejadi-jadinya. Saya berteriak sembari memanggil-manggil ayah saya. Rasanya sedih sekali.Saat itu saya kembali menyenggol mobil orang sebelum berhenti di lampu merah. Ibu saya terlihat hampir pingsan. Saya berusaha sekuat tenaga untuk menguatkannya. Saya tidak sanggup. Saya tidak sanggup untuk menghadapinya. Saat itu pula, pemilik mobil yang saya senggol sebelumnya datang memukul-mukul jendela mobil saya sambil marah. Tapi, dia melihat kami sedang menangis sejadi-jadinya di dalam mobil itu. Dia mundur, sepertinya dia tahu sedang terjadi sesuatu. Dia tidak jadi marah dan dia kembali ke mobil.

Saat lampu hijau menyala, saya merasa tidak ingin melakukan apapun. Saya merasa hampa.
Malam itu, malam sebelumnya, saya baru saja menghabiskan waktu bersamanya. Saya berpelukan dengannya. Siapa yang menyangka. Ternyata, masa-masa itu, merupakan masa-masa terakhir saya bisa bersamanya. Saya teringat saat dia melambaikan tangan kepada kami. Dia berpamitan dengan kami. Saya memeluknya, merasakan kehangatan tubuhnya, mendengar suara tertawanya, tertawa akan candanya, ternyata itu adalah kali terakhir.

“Selamat jalan, Pa.” hati kecil saya berbicara.
Ya, selamat jalan, Papa. Terima kasih atas kasih sayang yang kau berikan kepadaku selama hidupku. Terima kasih atas semuanya. Tidak akan ada satu orang pun yang dapat menggantikan posisimu di dalam kehidupanku. Aku tidak akan pernah melihatmu lagi selamanya. Ya, selamanya.