KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART21c


Selama perjalanan pulang, rasa marah saya semakin menjadi-jadi. Saya merasa gila. Saya teriak-teriak di dalam mobil dan memarahi semua pengendara yang ada di depan saya. Saya bahkan hampir menabrak anak-anak yang sedang menyeberang jalan.

Setelah melewati perjalanan yang melelahkan, saya tiba di rumah dan tidak memasukkan mobil ke garasi. Mobil itu dibiarkan terparkir di luar. Setibanya di rumah, ibu sudah menyiapkan makan malam. Saat menyantap makan malam, ibu sempat bertanya kok saya terlihat sangat lelah. Tapi saya hanya menjawab kalau saya terlalu banyak begadang. Malam itu sebenarnya saya ingin tidur, tapi saya lupa mengerjakan tugas, yang seharusnya dikerjakan di kafe tadi. Apa boleh buat, saya harus begadang.

Di malam yang sunyi, saya harus berjuang mengerjakan tugas dan berjuang melawan sesuatu lain yang ada di dalam batin saya.

Saya terpaksa mengerjakan tugas di kamar kosong itu, karena meja gambar saya yang terbuat dari kaca transparan memang diletakkan di kamar itu. Saya perlu meja itu untuk menciplak gambar, dengan bantuan lampu dari bawah meja yang menembus kaca transparan. Malam itu saya menyalakan semua lampu di rumah dan menghidupkan musik melalui speaker laptop di kamar itu agar suasana lebih hidup dan memecahkan kesunyian.

Tanpa terasa, saya terus mengerjakan tugas dan jam sudah menunjukkan hampir jam 3 dini hari. Tangan saya terasa pegal dan kerongkongan terasa haus. Saya beranjak dari ruangan itu dengan tetap menyalakan musik, pergi ke lantai bawah untuk mengambil minum.

Sambil membawa teko dan gelas kosong, saya kembali bergegas ke lantai atas karena perasaan saya tidak enak. Dengan bodohnya, saya malah mematikan lampu-lampu lantai bawah sembari saya berjalan, karena sudah menjadi kebiasaan, jika kami hendak tidur, lampu di lantai bawah harus dimatikan. Saat itu saya masih bisa mendengar musik yang masih hidup dari kamar itu. Saat saya menginjakkan kaki ke anak tangga pertama, musik itu mati. Padahal lagu itu belum selesai. 

Saya menghentikan langkah. Saya merinding sekujur tubuh. Saat itu pula saya mendengar suara langkah kaki dari lantai atas. Suaranya mendekat. Seperti ada yang berjalan menuju tangga. Namun tiba-tiba, seperti sebelumnya, saya merasa marah. Dalam seketika saya langsung berani dan melangkahkan kaki menaiki tangga dengan perasaan marah. Saya menghentakkan kaki. Begitu saya hampir mendekati anak tangga paling atas, suara langkah kaki itu kembali terdengar dibarengi dengan adanya angin lembut yang melewati saya. Rasanya seperti ada sesuatu yang berlari melewati saya dan menuruni tangga. Saya menoleh ke belakang, ke tangga bagian bawah.

Astaga. Ada yang sedang berdiri di bawah sana, diantara kegelapan lantai bawah. Anak kecil itu lagi. Dia sedang menatap saya. Saya bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia menangis. Saya kembali teringat. Dia. Dialah yang pernah menemani saya dan kini dia sudah dipaksa untuk tidak lagi ada di samping saya. Mungkin itu yang membuatnya menangis. Tapi, saat itu dia tidak menatap wajah saya. Dia menatap ke belakang saya, seolah ada makhluk lain yang ada di belakang saya. Rasanya saya ingin mati saja. Bahkan saya hampir ikut menangis melihatnya.

Dalam hitungan satu kedipan mata, anak kecil itu menghilang bagaikan asap.

Dengan kondisi batin yang ketakutan dan badan yang letih, saya kembali ke kamar kosong itu untuk melanjutkan tugas. Tapi, apa daya, suasana sudah tidak lagi mendukung. Terlebih lagi, saat itu saya kembali menemukan rambut putih panjang diatas kertas gambar saya. Akhirnya saya justru mengambil perangkat tablet dan melihat-lihat aplikasi apa yang menyenangkan untuk dimainkan. Mata saya tertuju pada aplikasi “Talking Tom”. Aplikasi yang menawarkan hiburan melalui kucing virtual bernama Tom yang bisa diajak bermain. Di aplikasi itu, kita bisa berbicara dengannya dan dia akan mengulangi perkataan kita dengan nada yang lebih tinggi, dan hasilnya akan membuat kita tertawa. Di dalam tampilan aplikasi itu, jika kita sedang berbicara, kucing itu akan meletakkan tangan di belakang kupingnya seakan sedang mendengar kita. 

Saya terus melakukannya sambil tertawa-tawa hingga saya kehabisan bahan. Saat saya sedang berpikir akan mengatakan apa, di dalam layar tablet itu, di dalam aplikasi itu, kucing itu mengangkat tangannya, seakan dia sedang mendengarkan saya berbicara. Saya bingung. Padahal saya sedang diam dan suasana ruangan sangatlah sunyi. Saya terus menunggu kucing itu dalam posisi mendengarkan, hingga akhirnya.. kucing itu mengeluarkan suara. Dia mengulang suara yang dia dengar. Suara itu, suara rintihan tangis yang terisak-isak.

Saya sontak melempar perangkat tablet itu ke atas meja. Seluruh urat syaraf saya menegang hebat. Saya memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu dan pergi ke kamar tidur.

Saya tidak bisa tidur. Padahal badan saya sudah lelah sekali. Saya butuh istirahat. Saya berusaha keras untuk tidur. Saya bahkan bolak-balik mengganti-ganti posisi tidur dan mengguling-gulingkan badan, sampai akhirnya saya hampir terlelap. Saat saya nyaris tertidur, saya mendengar ada yang memanggil nama saya dari luar kamar. Ternyata itu suara abang saya. Dia memanggil saya. Saya sempat merasa tenang dan kembali memejamkan mata. Tapi mata saya kembali terbelalak. Abang saya, dia tidak bersama kami. Dia sedang berada di ibukota. Tapi, saya ingat dengan pasti, itu suara dia. Perasaan saya semakin tidak tenang. Saya terus mengguling-gulingkan badan diatas kasur, namun usaha saya tetap gagal. Saya bahkan tidak berani memejamkan mata.

Akhirnya saya terus terjaga sampai matahari hampir terbit. Saya benar-benar tidak tidur. Saya harus kembali melanjutkan tugas. Saya bangkit dari tempat tidur, pergi keluar kamar, mengambil semua kertas-kertas di kamar kosong dalam rasa takut yang luar biasa dan berlari menuju lantai bawah. 

Saya duduk di meja makan sambil melanjutkan tugas. Tiba-tiba saya mendengar suara “kriett kriett” dari kamar kosong di lantai bawah. Saya langsung mengecek kamar itu, karena ibu saya cukup sering ketiduran di kamar itu. Saya membuka pintu kamar itu, dan melihat ibu saya sedang terlelap di dalam selimut, dalam posisi membelakangi saya. Saya kembali menutup pintu dengan perlahan untuk tidak membangunkannya.

Saya kembali melanjutkan tugas di meja makan ditemani suara berbincang-bincang dari siaran berita di televisi. Baru beberapa menit saya duduk di meja itu, pintu kamar ibu saya di lantai atas terbuka. Saya tersentak. Beberapa detik kemudian, ibu saya, dia muncul dari tangga dan berjalan ke bawah.

“Mama? Mama kok disitu? Mama tidur dimana?” Saya kaget.
“Tidur di kamar mama lah..” beliau menjawab dengan suara serak, khas orang yang baru bangun tidur.

Saya, terdiam, seribu, bahasa. Rasanya kepala saya ingin pecah. Baru saja saya melihatnya di kamar bawah, meskipun saya tidak melihatnya dengan jelas karena ditutupi selimut. Jika dia tidur di kamarnya, jadi siapa yang saya lihat di kamar bawah?

Ibu saya bertanya ada apa. Tapi saya tidak menjawab apa-apa. Dia melihat saya dengan tatapan aneh selama beberapa detik, hingga akhirnya dia berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan.

Sejujurnya, saat itu, saya kembali merasa takut. Saya baru saja mengalami gangguan yang beruntun. Pikiran saya masih kacau. Saya bingung, yang mana yang benar. Apa jangan-jangan ibu saya yang saat itu sedang membuat teh adalah ‘jelmaan’ dan yang tidur tadi adalah yang asli, atau justru sebaliknya.

Butuh waktu beberapa saat untuk saya memberanikan diri, kembali mengecek kamar tidur di lantai bawah. Saya beranjak dari meja makan menuju kamar itu. Saya membuka pintu. Ya Tuhan. Tidak ada siapa-siapa yang sedang tidur di kamar itu, bahkan selimut terlipat dengan rapi. Memang tidak ada manusia yang sedang tidur diatas kasur, tapi, gambar itu, gambar yang disimpan ibu saya, sedang berdiri, bersandar di bantal diatas kasur itu. Percaya tidak percaya, tapi itulah yang terjadi. Saya melihat gambar itu, melihat mata dari sosok yang ada di gambar itu. Rasanya tidak nyaman, mata itu seperti kembali menatap saya.

Saya kesulitan untuk menerima apa yang terjadi. Gangguan yang saya alami saat itu benar-benar beruntun. Kepala saya terasa berputar-putar. Saya kembali menutup pintu dalam keadaan menahan teriakan di dalam hati. Di dalam benak saya, saya terpikir sesuatu. Apa mungkin ‘dia’ marah karena saya berencana untuk mengusirnya. Gangguan yang saya alami, tidak pernah sampai beruntun seperti itu. 

Pagi itu sekitar jam 9, saya siap-siap untuk pergi ke kampus karena kelas akan dimulai pada jam 10. Setibanya di kampus, saya menitipkan tugas saya kepada teman dan memintanya untuk menitipkan absen. Saya tidak sanggup untuk berada di ruang kelas, duduk dan mendengarkan celotehan dosen yang membosankan, dalam kondisi mengantuk. Sejak awal saya memang sudah merencanakan untuk menitipkan absen dan tugas kemudian tidur di perpustakaan kampus yang sejuk dan sepi.

Saya masuk ke perpustakaan dan memilih kursi yang tidak terlihat oleh penjaga perpustakaan. Saya menyusun bangku agar saya bisa tiduran diatasnya. Saya tidak sabar lagi untuk tidur, meski tidak sampai satu jam. 

Saya menyusun bangku-bangku itu dengan perlahan agar ibu penjaga perpustakaan tidak mendengarnya. Saya akhirnya merebahkan badan diatas susunan bangku itu. Posisi saya menyamping, menghadap ke kolong meja. Sebelum memejamkan mata, saya mengirimkan pesan ke teman saya, jika mereka sudah selesai kelas nanti, kira-kira satu jam kemudian, tolong hampiri saya di perpustakaan untuk membangunkan saya, karena saya tidak mungkin menyalakan alarm di dalam perpustakaan.

Akhirnya, saya bisa terlelap, meskipun tidur diatas kursi yang keras dan posisi yang kurang nyaman.

Saya terbangun dengan sendirinya. Awalnya saya pikir teman saya yang membangunkan. Masih pada posisi menghadap kolong meja, saya membuka mata. Ya Tuhan, apalagi ini. Dari kolong meja, saya bisa melihat kursi yang ada di depan saya. Tapi, disitu, saya melihat kaki orang lain yang tertutupi kain putih. Saya sontak bangkit dari tidur dan kembali ke posisi duduk.

“Hayo. Kamu kok tidur disini??”

Ternyata, yang saya lihat itu adalah si ibu penjaga perpustakaan yang sengaja duduk di depan saya ditemani laptopnya untuk mengagetkan saya saat terbangun. Dia sengaja melakukannya untuk menangkap basah kelakuan saya.

Saat itu saya kaget, tapi lega juga. Saya kaget karena saya ketahuan tidur di perpustakaan. Saya juga lega karena ternyata yang saya lihat itu bukan makhluk halus. Tapi untunglah dia hanya tertawa melihat tingkah saya. Dia memaklumi saya yang tertidur di perpustakaan. Namun, dia menyarankan saya untuk tidak melakukannya lagi, karena jika dosen yang menemukan saya tidur di perpustakaan, saya dan penjaga perpustakaan pasti akan ditegur habis-habisan.

Akhirnya saya hanya berbincang-bincang dengan ibu penjaga perpustakaan untuk menghilangkan rasa kantuk. Saya juga kembali berpesan kepada teman saya bahwa saya sudah terbangun dan dia tidak perlu membangunkan saya nanti.

Meskipun pembicaraan kami cukup seru, saya tetap kalah oleh rasa kantuk yang luar biasa. Saya menghubungi teman saya yang ngekost tidak jauh dari kampus. Ya, saya minta izin padanya untuk tidur sebentar di kamar kost nya. Untunglah dia mengizinkan.

Saya tertidur dengan lelapnya dan terbangun pada saat matahari sudah terbenam. Saya langsung mengecek telepon genggam dan sudah ada belasan telepon tak terjawab dari Pak Indra. Ya Ampun, saya sampai lupa bahwa saya sudah ada janji dengannya.

Saya langsung kembali meneleponnya. Dia menyarankan saya untuk segera ke rumahnya dan melanjutkan apa yang kami rencanakan.

Langkah saya terasa berat sekali. Ada perasaan menolak yang begitu mendalam dari dalam diri saya. Saat itu pula saya tersadar, bahwa mungkin itu adalah energi dari makhluk lain. Makhluk yang tidak ingin saya bertemu Pak Indra. Tapi, keputusan saya sudah bulat. Saya memaksakan diri saya dan tetap melanjutkan perjalanan.

Sekitar setengah jam lebih saya lalui untuk sampai ke kediaman Pak Indra. Saya langsung masuk ke dalam rumah. Ada Pak Indra dan Pak Eri di dalam rumah itu.

“Maaf ya Pak saya ketiduran.”
“Oh iya tidak apa-apa. Tapi kamu sebaiknya minta izin dulu ke mama kamu.” Pak Eri menjawab.
“Minta izin apa pak?”
“Ya ini sudah malam. Bisa saja kamu tidak pulang ke rumah malam ini. Kabarin mama kamu sekarang, biar dia tidak khawatir.”
“Oh, iya juga. Baiklah.”

Saya menelepon ibu dan mengatakan padanya bahwa saya akan menginap di rumah teman saya malam itu. Untunglah dia tidak marah.

Saat itu kondisi rumah sangatlah sepi dan senyap. Hanya ada kami bertiga. Ternyata Pak Eri sudah diberi arahan oleh Pak Indra untuk membantu kami.

“Sepi bener, pak. Ibu sama anak-anak pada kemana?” Saya bertanya pada Pak Indra.
“Oh, mereka saya suruh menginap di rumah orang tua saya malam ini.”
“Loh kenapa begitu?”
“Ya, kita tidak tahu apa yang akan terjadi malam ini, di sini. Saya tidak ingin mereka menyaksikannya.”

Mendengar perkataannya, saya merinding. Apa yang akan terjadi? Sampai ada yang harus diungsikan segala.

Pak Indra dan Pak Eri terlihat biasa saja seolah tidak akan melakukan ‘pengusiran’ seperti sebelumnya. Mereka justru mengajak saya berbincang-bincang santai.

Di awal, pembicaraan kami memang santai, tapi lama kelamaan, topik pembicaraan kami semakin mengerucut ke hal-hal mengenai pribadi saya. Mereka menanyakan kisah-kisah masa kecil saya dan semua tentang saya seolah kami baru berkenalan. Saya sempat bingung dan bertanya pada mereka, karena mereka sudah kenal saya. Pak Indra hanya diam, sedangkan Pak Eri, dia hanya menyarankan saya untuk tidak membantah. Jawab saja apa yang mereka tanya secara jujur dan terbuka. Beliau juga menyarankan saya untuk tidak berpindah tempat.

Setelah beberapa menit, Pak Indra pindah ke belakang saya. Posisi saya saat itu berada di tengah-tengah mereka dan mereka berdua menghadap saya. Pak Eri meyakinkan saya untuk tidak menghiraukan Pak Indra, anggap saja dia sedang tidak duduk di belakang saya.

Kami terus berbincang-bincang mengenai pribadi saya, terus-terusan bahkan sampai banyak sekali pertanyaan yang sama. Lama kelamaan, karena pertanyaan itu sama, saya merasa sedikit kesal. Pak Eri seperti menangkap ekspresi saya yang kesal dan ia langsung mengubah topik. Dia justru membahas mengenai sesuatu yang tidak saya sukai. Dia seperti mengolok-olok saya. Dia seakan merendahkan saya. Saya semakin tidak suka. Saat itu pula Pak Eri mengisyaratkan saya untuk tenang dan terus menjawab. Saya melawan rasa marah dalam diri saya dan terus melanjutkan pembicaraan, sedangkan Pak Indra yang berada di belakang saya hanya diam. Mungkin ada maksud tertentu kenapa mereka melakukan semua itu.

Lama kelamaan rasa emosi saya semakin memuncak. Pak Eri terus berbicara dengan sorot mata yang tajam. Saya menundukkan kepala. Saya merasa pusing. Saya ingin pingsan. Saya bahkan mendengar suara Pak Eri dengan samar-samar. Saat itu pula Indra memegang bahu saya diikuti oleh tangan Pak Eri yang memegang kepala saya. Rasanya panas sekali, sedangkan tangan Pak Indra, terasa begitu dingin.

Pak Eri bertanya pada saya.

“Siapa kamu??” Dia berteriak di depan wajah saya.

Anehnya, saya hanya terdiam. Lidah saya begitu kaku. Saya tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Rasanya seperti ketindihan dalam tidur, tapi kali itu saya tidak sedang tidur.

Tangan Pak Indra mencengkram bahu saya dari belakang. Rasanya ngilu sekali.
Pak Eri terus bertanya pertanyaan yang sama berulang kali. Hingga akhirnya, ada jawaban. Ada yang menjawab pertanyaan itu. Bukan saya yang menjawabnya. Lidah saya benar-benar tidak bisa bergerak. Saat itu tubuh saya sangat kaku. Seluruh urat syaraf saya ikut menegang. Saya hanya mengandalkan panca indera saya, terutama indera pendengaran. Suara itu, begitu dekat dengan belakang leher saya.