Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN PART 14b


Seminggu telah berlalu, aku hidup di stasiun Bojonegoro, tak pernah mandi, tidur seadanya, kadang menggelosor di lantai setasiun aja, jadi tubuh dan lengan panjang, celana jean belel sudah tak karuan warnanya, karena tertempel debu dan oli kereta, juga rambut panjangku lengket dan gimbal, hingga tak jarang orang menyebutku gila.

Aku tak perduli, terlalu terlena dengan robul izati, tenggelam dalam wirid-wiridku, tenggelam teramat dalam, bahkan aku pun tak memikirkan makan, karena memang tak ada sejumputpun rupiah di saku, aku kadang makan sepotong nasi yang jatuh ke tanah,


Kadang juga cuma minum air wudhu, walau seminggu tubuhku telah teramat kurus.

Hari itu hari minggu, setasiun teramat ramai, aku menggelosor aja di lantai, tenggelam dalam wiridku, tiba-tiba tangan halus menepukku dari belakang, “Iyan…? Iyan khan?”

Ku buka mataku yang terpejam, dan menengok ke belakang, seraut wajah gadis cantik nan anggun dengan balutan jilbab coklat tua, membungkuk di belakangku, “Ya Alloh, Ian, kenapa sampai jadi gini….” kata gadis bernama Eka Damayanti, dia langsung memelukku dari belakang.

Eka Damayanti, nama gadis itu, ku kenal waktu aku kelas 2 SMA dan masih aktif menulis di majalah remaja, pertama perkenalanku, dia waktu itu mencari rumahku, dan dia salah satu dari penggemar karya tulisku, aku pulang sekolah ketika Eka berdiri di pinggir jalan menuju lorong rumahku, dia menghentikanku, “Mas… Mas… berhenti…” tegurnya. Aku baru turun dari Angkot.

Aku pun berhenti, dan menunggunya datang menghampiri, saat itu Eka masih belum memakai jilbab, rambutnya diikat dengan pita merah, dan wajahnya anggun, menyiratkan kedewasaan.

“Ada apa mbak?” tanyaku.

“Maaf ngeganggu sebentar, mau tanya nih mas…?” katanya dengan nada datar tapi merdu dan terdengar centil di telingaku.

“Tau alamat ini gak mas?” tanyanya, sambil menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Di situ tertulis, Febrian, kulon pon pes Al-alawi Sendang,

“Wah itu aku mbak.” kataku setelah membaca sebaris alamat di kertas yang ditunjukkan padaku.

“Ih yang bener?” katanya tersenyum ceria, dan ada binar bintang di matanya.

“Ya benerlah, masak bohong, tau dari mana tentang alamatku? Perasaan aku tak punya kerabat kayak embak.” kataku menyelidik.

“Aku ini bukan kerabatmu, tapi penggemarmu, kamu penulis khan? Nah aku ini salah satu penggemar beratmu.” katanya menjelaskan dengan mimik yang lucu, kayak guru TK menerangkan pada muridnya.

“Wah jadi malu nih, aku cuma penulis kacangan, karyaku juga cuma ngawur aja, gak bermutu.” kataku salah tingkah.

“Tapi aku benar-benar kagum, sungguh, kamu calon penulis besar.” katanya memuji.

“Wah ini mau ke rumah atau ngobrol di sini aja.” kataku, karena kami dari tadi cuma berdiri di pinggir jalan.

“Eh iya, kayaknya aku juga belum kenal namamu?” kataku setengah bertanya, saat kami berdua menyusuri tanggul paping blok jalan di depan rumah,

“Eka Damayanti….” katanya, sembari menyodorkan tangan mungilnya. Aku pun menjabat erat, penuh persahabatan.

“Febrian, dah tau namaku khan?” candaku.

Dan tak terlalu lama kami pun nyampai depan rumahku. Itulah perkenalanku dengan Eka, dan sejak saat itu kami menjadi akrab, karena Eka hampir tiap minggu main ke rumahku, rumah dia di daerah Rengel, jadi masih satu kabupaten denganku.

Setahun telah berlalu, dan aku telah kelas tiga SMA, dan Eka menjadi salah satu sahabat, yang mengagumiku, dia selalu mensuportku untuk menghasilkan karya-karya tulisku.

Aku teramat terbuka dengan Eka, sampai soal pacar-pacarku Eka juga tau, suatu hari aku dan Eka jalan-jalan ke Tanjung Kodok, “Yan…” kata Eka, ketika kami duduk di bawah tenda dan menikmati es kelapa muda, sambil merasakan semilir udara pantai yang membawa bau air laut yang khas,

“Ada apa?” tanyaku sembari mengeluarkan rokok Djarum merah.

“Umpama kita jadian gimana?” katanya dengan tatapan kepadaku, serius.

“Maksudmu mahluk jadi-jadian?” kataku mencandainya, memang aku paling suka kalau dia mbesengut.

“Ah kamu, aku ini serius.!!” benar juga dia mbesengut, dan dari situ terlihat jelas kecantikannya yang khas.

“Iya… iya, aku ngerti kamu serius.” kataku buru-buru mencegah kemarahannya.

“Trus gimana? Kamu setuju enggak?” tanyanya.

“Kamu tau sendiri lah Ka…, aku kan ceweknya banyak, aku tak tega kalau kamu jadi kemakan hati.”

“Kenapa semua cewekmu tak kamu putusin aja.!?”

“Wah, aku juga tak setega itu untuk memutusin mereka.” memang waktu itu cewekku ada 18 an, ah bisa dibilang raja pelet,

“Wah kamu ini tak tega atau kemaruk, tamak, aku heran juga kenapa mereka, cewek-cewek itu mau-maunya kamu renteng-renteng kayak tasbih.”

“Itu kan urusan mereka Ka,”

“Aku jadi heran Yan…”

“Heran kenapa?”

“Ya, apa mereka semua akan kamu jadikan istri semua…,?”

“Wah la ya enggak lah, mana mampu aku melayani mereka semua, bisa habis darah dihisap dan aku tinggal tulang.”

“Emangnya cewek lintah? Ngaco kamu.”

“Ya mending ngomong ngaco, daripada diam kayak batu, bisa-bisa dianggap arca, trus digotong orang ditaruh di Klenteng, ckakakak…”

“Ah jangan ngomong ngaco ah, trus kalau semua tak kamu jadikan istri kan pasti yang tak jadi istrimu akan sakit hati?”

“Kan aku terbuka, mereka mau jadi cewekku, kan udah aku ceritain semua tentang aku, lagian aku udah ngenalin antara satu dengan yang lain.”

“Bener-bener tak habis pikir aku Yan.., wah jangan-jangan kamu pakai ilmu pelet? Wah jangan-jangan juga aku kamu pelet?”

“Pelet semar ngakak? Ya kamu ngerasa dipelet enggak?”

“Bener aku ingat kamu terus.” katanya serius.

“Kalau malam ingat sampai kebawa mimpi?” tanyaku.

“He-eh.” jawabnya manggut.

“Wah kamu dah kena penyakit cinta, ckakakak…” kataku dan Eka pun mencubit lenganku.

Itulah aku dengan Eka selalu terbuka lepas, tapi betapapun Eka sayang padaku, tapi kami tak pernah menjalin asmara, karena aku tak pernah mau memutuskan sepihak pada pacarku, dan hubungan kami sebatas sahabat, sahabat yang saling mengerti, sampai aku bertaubat, dan meninggalkan masa lalu kelam, bayangan Eka pun ikut hilang menjadi masa lalu, masa lalu yang ingin ku hapus dari ingatanku, masa lalu yang hanya ku ingat ketika aku menangis pada satu kekasih yaitu Alloh. Menghaturkan hina dan dosaku yang minta diampuni,

“Yan…! Kenapa kamu menjadi begini…” suara Eka memelukku dari belakang, tak perduli pakaianku yang kotor, tak perduli pandangan aneh semua orang yang ada di setasiun. Aku ingin menjelaskan pada Eka, aku bukanlah Ian yang dikenalnya dulu, tapi aku ragu apa ia akan mengerti.

“Ka… Kamu tak malu dilihat semua orang?”

“Aku tak rela kamu begini Yan…” katanya, tangannya mencengkeram pergelangan tanganku, dan mengajakku berdiri, air matanya meleleh membasahi jilbab coklat mudanya. Dulu Eka bukan gadis yang suka memakai jilbab. Sampai pada pertemuan yang terakhir kami, aku mengantarnya mendaftar di perguruan tinggi. Kami dalam satu bus menuju Surabaya.

“Yan…! Andai kau menghayal punya istri, kamu mengharap punya istri yang bagaimana?” tanyanya dengan tatapan serius ke wajahku.

“Aku?” aku menerawang, “Aku membayangkan punya istri yang sholikhah…, ya setidaknya yang memakai jilbab,” kataku pasti.

“Berarti aku bukan termasuk kategori yang kau harapkan ya?” tanyanya seperti pertanyaan adikku minta permen.

“Ah sudahlah Ka, jodoh kan di tangan yang kuasa, andai kamu jodohku, aku juga tak kan menolak.” kataku tandas.

Tapi sampai di Surabaya, Eka mengajakku ke Butik busana muslim dan dia memborong jilbab.

“Wah untuk apa Ka, jilbab sebanyak ini?” tanyaku heran.

“Untuk persediaan aja Yan, siapa tau, aku jadi jodohmu, hehe…” katanya sambil tersenyum manis, karena salah satu jilbab langsung dia kenakan.

“Hm… Kamu makin cantik aja Ka, kalau makai jilbab.” pujiku tulus.

“Ah yang bener…” katanya dengan pipi bersemu merah.

Dan sekarang, hatiku teriris, Eka menangis di depanku, karena menangisi keadaanku.

“Ya Alloh, ampunkan aku, kenapa kau jadikan hatiku selalu runtuh oleh tangis wanita… Kenapa tak kau uji aku dengan yang lain saja.” keluh hatiku, dan aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mengikuti saja, kemana Eka menarik tanganku.

Aku diseretnya masuk depot makan, lalu dia memesan nasi dan sepotong ayam panggang, juga dua gelas es jeruk. “Nih makan… Pasti kamu beberapa hari tak makan….” katanya menyodorkan ke depanku, seperti seorang ibu menyodorkan nasi pada anaknya,

Ku pandangi nasi di depanku, betapa nikmatnya ayam bakar, sambel kecap, air liur begitu saja terkuras dari sela-sela gigi membasahi tenggorokan yang tak sabar ingin menikmati kelezatan.

Tapi aku terpaku, hatiku seperti terbang entah ke mana, ke dunia yang penuh asma Alloh.

“Heh makan..!” kata Eka suaranya seakan jauh, walau tepukannya di pundakku.

“Apa kamu sudah lupa cara makan, nih biar ku suapi…” kata Eka yang segera mengambil piring di depanku, dan mulai menyuapiku, pandangan mataku kosong, aku telah berjalan jauh, jauh, dan teramat jauh, sampai di kedalaman dunia, dunia yang hanya kedamaian, danau menghijau, suara airnya melantunkan ayat-ayat suci, pohon-pohon menghijau, tertiup angin singkronisasi, mengalunkan dzikir dengan suara berirama, embun yang setiap waktu turun dan seakan enggan sampai ke tanah, karena terlena oleh puja puji pada sang khaliq.

Matahari yang bersinar lembut, dengan kehangatan yang seakan diukur oleh dokter paling ahli, sehingga seperti selimut yang membuatku teramat mengantuk dan terlena, dan aku tak sadar lagi.

“Yan…!” suara itu mengagetkanku, suara Eka yang menangis dan memelukku, air matanya membasahi pipi dan bajuku. Aku kaget, segera melepas pelukannya. Ku lihat piring di depanku telah ludes, juga wedang jeruk telah tinggal gelasnya saja.

“Yan., sadar Yan…!” Eka menepuk-nepuk pipiku.

“Aku sadar…” kataku.

“Udahlah Ka… mending kamu tinggalin aku…” kataku.

“Tak bisa, kalau perlu aku akan ikut denganmu…” katanya tegang.

“Kamu ini aneh-aneh aja, ya tak bisalah, kamu lihat sendiri keadaanku, bagaimana kamu mau ikut denganku?”

“Kamu mau lari dari kenyataan Yan? Kamu tak menerima keadaanmu, hingga mau pura-pura gila?” tanya Eka mencari kesepakatan.

“Siapa yang lari dari kenyataan? Bahkan aku sangat menerima kenyataan, sudahlah Ka, jangan ngajak berdebat, untuk saat ini biarlah aku sendiri.” kataku memelas,

“Tapi Yan, aku tak rela kamu begini….” Eka menangis lagi, tanganku diraihnya dan ditempel ke pipinya, ada air mata mengaliri punggung tanganku.

“Kadang sesuatu, harus direlakan, aku juga bukan mau mati, kenapa musti kau tangisi.”

Eka melepas tanganku, dan mencopot gelang, cincin, kalung yang dipakainya dan menggenggamkannya ke tanganku.

“Ini buatlah bekal, jangan lupakan aku.” katanya dan beranjak pergi.

Sekejap aku bengong, tapi segera mengejar ke arah mana Eka pergi, ku lihat dia berdiri di tepi jalan, mencegat bus jurusan Tuban.

“Ka ini apa-apaan,” kataku mengangsurkan segenggam emas ke tangannya.

“Udah pakai untuk bekalmu.” katanya menampik tanganku.

“Gak bisa Ka, kamu mau aku ditangkap Polisi, dengan tuduhan merampokmu?”

“Siapa? Polisi mana yang mau menangkap, kan itu ku berikan ikhlas padamu.”

“Ka… tak bisa Ka…,” ku angsurkan lagi emas ke tangannya tapi dia tolak.

“Maumu apa sih Yan? Aku ikut denganmu tak boleh, aku tak tega kau begini, aku tak bawa uang, biar perhiasanku untuk kau jadikan bekal…, tolong Yan… Jangan kau biarkan aku menangis tiap malam karena mengkawatirkanmu…” Eka menangis lagi.

“Mengapa tak juga kau mengerti, betapa aku menyayangimu, dan teramat menyayangimu…” katanya sambil berjongkok dan menangis sampai tubuhnya terguncang.

“Baik Ka, sekarang apa yang kau mau? Tapi jangan kau suruh aku membawa perhiasanmu…” kataku ikut berjongkok.

Dia membuka tapak tangannya yang ditutupkan ke wajahnya.

“Sekarang ikut pulang ke rumahku.” katanya sambil mengusap air mata yang membasahi pipi.

“Baik, ini terima perhiasanmu dan simpan.” kataku mengangsurkan perhiasan ke tangannya, pas ada bus jurusan Tuban berhenti, dan kami pun segera naik.

Sampai di rumah Eka, aku pun turun dari bus, masih digandeng Eka, dengan tatapan aneh para penumpang bus, sampai di dalam rumah, aku langsung digeret ke sumur, ah biarlah, Eka juga tak akan membunuhku, tatapan bu Asih, dan pak Junaidi, yang ada di kamar tamu, tak digubris, kedua orang itu cuma sempat ngomong, “Lho Ka, kok sama mas Ian….” tapi kata mereka tak dijawab, juga tak sempat aku jawab, aku telah digeret ke sumur, dan air satu timba diguyurkan padaku,

“Udah Ka, aku bisa mandi sendiri,” kataku repot, gelagapan.

“Udah biar aku yang mandiin….” katanya sambil mengambil sampo dan mencuci rambut panjangku yang gimbal.

“Udah Ka… Biar aku mandi sendiri…! Udah ambilin handuk aja.” kataku, ketika Eka mau mencopot kaos lengan panjangku.

Eka tanpa berkata, pergi meninggalkanku, aku telah selesai mandi ketika Eka datang membawa handuk dan pakaian ganti, dan tanpa babibu, dia langsung mengelap rambut dan tubuhku.

“Udah aku ke kamar mandi dulu, mau ganti baju.” kataku mengambil baju ganti dari tangan.

“Ku tunggu di kamar tamu ya, tuh ayah nanyain…” kata Eka dari luar kamar mandi.

“Heeh, udah nanti aku ke sana.” jawabku.

Setelah ganti baju, aku segera ke ruang tamu, pak Junaidi, pegawai pemda, orangnya ramah dan suka bercanda, bu Asih ibunya Eka, seorang guru SMP, mereka berdua pun menyambutku dengan ramah, aku bersalaman dan duduk di kursi.

“Ketemu di mana, dengan Eka dik Iyan?” tanya bu Asih.

“Wah tadi ku temukan di setasiun, lagi jadi gelandangan,” kata Eka, yang baru keluar dari dalam dan membawa sisir, lalu begitu saja menyisir rambutku, ku tolak tapi tetep aja Eka menyisir sambil berdiri di kursi yang ku duduki.

“Udah makan nak Ian? Mbok sana Ka disiapkan makan…” kata pak Junaidi.

“Em… Ku buatkan pecel lele kesukaanmu ya?” tawar Eka masih menyisir rambutku.

“Udah Ka, jangan repot-repot.” jengahku.

“Iya Ka… sana beli lele…” kata bu Asih.

“Dan Eka segera beranjak….”

Tinggal aku dan pak Junaidi, sementara bu Asih masuk.

Sebentar kami terdiam, sampai pak Junaidi membuka pembicaraan.

“Nak Ian, gimana khabar orang tuanya, baik?” tanya pak Junaidi.

“Alhamdulillah baik pak.”

“Ini sebenarnya saya mau tanya ke nak Ian, jangan tersinggung lo ya?” kata pak Junaidi dengan nada hati-hati.

“Tanya aja pak, tak usah rikuh.” kataku tak enak dengan nada kehati-hatian pak Junaidi.

“Begini nak Ian, apakah sebenarnya hubungan nak Ian dengan Eka?” tanya pak Junaidi, sebentar terdiam, “Sekedar teman, atau…. pacaran… Maksudku kekasih.”

“Ya selama ini kami cuma berteman akrab kok pak, tak lebih, juga bukan sepasang kekasih.” jawabku tenang.

“Tapi Eka itu sayang banget sama nak Ian, yang diceritakan tiap hari ke ibunya, hanya nak Ian aja….” tambah pak Junaidi.

“Saya juga sayang sama Eka kok pak, tapi sayang antara sahabat, tak terkotori nafsu birahi, saya menghargai dan menghormati Eka, jika ada yang mengganggu Eka, saya akan membelanya dengan sekuat saya.” kataku masih tanpa emosi.

“Ya kalau begitu bapak mengerti… Silahkan diminum tehnya nak, bapak tinggal dulu…” kata pak Junaidi meninggalkanku.

Sebentar kemudian Eka telah datang membawa ikan lele segar, dan langsung memasaknya jadi pecel lele, kami makan bareng.

Sore itu aku pamitan, Eka dan ayah ibunya memintaku tinggal lebih lama, tapi aku memaksa pergi,

Eka mengantarku sampai jalan raya, dan sampai aku mau naik bus, dia memasukkan amplop ke sakuku.

“Ini untuk bayar bus..” katanya melepasku.

Aku segera naik bus, ketika kondektur minta ongkos bus, aku ingat uang yang dimasukkan Eka ke dalam sakuku, ku ambil satu dan tanpa melihat ku serahkan pada kondektur.

“Wah mas, apa tak ada yang kecil?” katanya.

Aku kaget ternyata yang ku serahkan uang seratusan ribu.

Aku terima uang dari kondektur itu, lalu kembali merogoh ke dalam amplop, tapi tiap ku keluarkan ternyata semua seratusan ribu, wah jadi Eka memberikan uang padaku 1 juta,

“Tak ada yang kecil mas, cuma ini.,” kataku menyerahkan uang seratusan.

Di Bojonegoro kembali aku turun di stasiun kereta api.