KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART22b


Pagi itu, sebenarnya saya masih mengantuk luar biasa. Saya pergi ke kamar tidur dan rebahan di atas kasur. Saat saya hendak memejamkan mata, saya tersentak. Tiba-tiba saya tidak berani tidur. Entah kenapa, dari hati kecil saya, ada perasaan takut. Saya masih takut untuk memejamkan mata. Saya belum siap untuk kembali bertemu jin itu melalui mimpi. Saya tidak ingin merasakan mimpi itu lagi, meskipun saya membutuhkannya. Agar saya tahu apa yang ingin dia sampaikan.

Saya tidak jadi tidur. Saya menyibukkan diri untuk menghilangkan rasa kantuk. 

Tapi, bagaimanapun itu, malam akan tiba dan saya harus tidur.

Hari sudah malam dan saya merasa senang, selama satu hari itu saya bisa benar-benar menemani ibu saya dan tidak meninggalkannya sendirian.

Saya masuk ke kamar dan duduk diatas kasur. Meskipun saya belum siap, tapi pada akhirnya saya tertidur dengan sendirinya karena badan yang sudah lelah.

Untunglah, malam itu tidak terjadi apa-apa. Saya tidak bermimpi apapun. Saya bangun dalam kondisi normal dan sehat.

Sudah beberapa minggu setelah hari ritual itu dan saya tidak bermimpi bertemu dengan jin itu lagi. Tapi, saya masih dalam keadaan seperti sebelumnya. Saya sering kesulitan tidur, saya tidak suka menatap cermin, saya terbangun di sisi pinggir kasur, dan sebagainya. Semua keanehan dulu masih terjadi.

Selama itu pula saya menahan semua keanehan itu di dalam hidup saya, dan selama itu pula saya benar-benar tidak ada menghubungi Pak Indra maupun Pak Eri.

Saya ingat betul, ada satu malam dimana saya tidak bisa tidur dan saya, dalam keadaan sakit demam, terngiang semua yang pernah terjadi pada hidup saya. Saya merasa sangat terpuruk. Saya merasa capek dengan kehidupan saya. Saya lelah dan kesepian. Saya merasa capek melihat ibu saya yang masih sedih dan berduka, saya capek dengan tugas-tugas kuliah. Belum lagi, saat itu saya baru saja mendapat nilai yang sangat buruk dan harus mengulang di semester berikutnya. Di satu sisi, saya sangat merindukan sosok ayah saya.

Malam itu saya benar-benar tidak bisa tidur. Saya mencengkeram kepala saya dengan hebat sambil memejamkan mata. Saya tidak sanggup. Saya merasa benci dengan diri saya sendiri. Saya merasa sangat gila. Saya tidak merasa hidup. Saya tidak pernah membayangkan bahwa hidup saya akan menjadi seperti itu.

Saya bangkit dari tempat tidur dan pergi menatap cermin yang ada di kamar lain. Saya mengambil kursi dan duduk. Saya menatap wajah saya sendiri, meskipun sebelumnya saya tidak pernah ingin melakukan hal itu. Saya berbicara sendiri dan memarahi diri saya sendiri. Saya merasa sangat terpuruk hingga akhirnya air mata saya mengalir. Saya seakan menyesali hidup.

Saya terdiam sambil tertunduk selama beberapa detik sambil menangis. Saat itu pikiran saya sudah sangat kacau. Saya teringat, berdasarkan informasi yang pernah saya baca, jika kita ingin melihat sosok jin yang ada pada diri kita, tataplah wajah kita sendiri di cermin di dalam ruangan yang gelap.

Saat itu saya memang sedang tidak bisa mengkontrol apa yang saya lakukan. Saya mengambil tindakan. Saya memberanikan diri. Saya mematikan lampu dan kembali duduk menatap pantulan wajah saya di cermin.

Beberapa detik pertama, benar saja, saya merasa merinding melihat wajah saya sendiri. Lama-kelamaan, seperti sebelumnya, wajah saya terlihat aneh dan saya tidak bisa mengenali wajah saya sendiri. 

Saya terus menatap mata saya di pantulan itu. Perlahan tapi pasti, saya tidak lagi melihat wajah saya di cermin itu. Wajah itu, bukan wajah saya. Rambut, telinga, hidung, mata, bibir, semuanya terlihat berbeda, meskipun saya tidak bisa secara persis menggambarkan seperti apa wajahnya.

Saya melawan rasa takut itu dan terus menatap wajah itu, sampai akhirnya saya mengucapkan sesuatu.

“Lihat apa yang telah kau perbuat. Lihatlah hidupmu sekarang, menyedihkan.”

Saya mengucapkannya dengan maksud menyalahkan diri saya sendiri. Saya mengatakannya sambil terus menatap pantulan di cermin. Dan akhirnya, ada jawaban.

Suara jawaban itu, persis seperti yang terjadi pada ritual di rumah Pak Indra. Suara itu terdengar dari dalam hati saya.

“Percayalah. Aku selalu disini untuk membantumu.” Begitu katanya.

Tiba-tiba, wajah di pantulan itu kembali terlihat seperti wajah saya sendiri, tapi sedang tersenyum licik, padahal saya yakin betul, saat itu saya sedang tidak tersenyum.

Melihat pantulan itu, saya langsung bangkit dari kursi, menyalakan lampu dan kabur menuju kamar tidur saya. Saya tidak kuat. Kejadian cermin itu, saya tidak menyangka akan jadi mencekam seperti itu.

Malam itu saya tertidur dan saya kembali bermimpi.

Saya tidak ingat betul bagaimana mimpi itu, tapi yang pasti, saya melihat sosok jin itu dan dia mengatakan bahwa dia akan selalu ada di samping saya dan tidak akan ada orang lain yang bisa memisahkan kami.

Mimpi itu berlangsung singkat dan tentu saja, saya terbangun karena tersedak ludah saya sendiri. Saya terbatuk-batuk dengan hebat.

Selama beberapa kali dalam dua minggu, saya terus bermimpi yang sama dan selalu diakhiri dengan bangun dalam keadaan tersedak.

Saya akhirnya mengambil kesimpulan, jika tubuh saya terasa lemah dan terasa seperti demam, kemudian saya bermimpi bertemu dengannya dan akhirnya tersedak, itu berarti saya benar-benar berkomunikasi dengannya melalui mimpi.

Karena, pernah beberapa kali saya bermimpi seperti bertemu dengan sosok aneh, tapi saya bangun dalam keadaan normal, dan tidak tersedak. 

Jujur, setiap kali saya bermimpi bertemu sosok itu dan kemudian tersedak, saya terbangun dalam keadaan badan terasa sangat lemah dan energi saya sangat terkuras, meskipun mimpi itu berlangsung sebentar.

Kesimpulan lain yang saya dapati adalah; jin itu memang sudah benar-benar hinggap di dalam hidup saya. Saya harus terima keadaan itu. Jika saya ingin dia pergi, maka saya lah yang harus bertindak.

Semenjak saya mendapati kesimpulan itu, perasaan saya terus terasa sendu selama berhari-hari. Entah kenapa saya bisa berpikir bahwa saya harus menerima kehadirannya di dalam hidup saya. 

Saya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri rasa sendu itu dan berkomunikasi dengannya secara langsung tanpa melalui mimpi dan tentunya, tanpa campur tangan orang lain.

Saya mencoba mengingat-ingat, apa yang bisa saya lakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Lagi-lagi. Cermin. Ya, cermin. Cermin dan kegelapan. Saya bisa berkomunikasi dengannya melalui cermin, di ruangan yang gelap.

Kebetulan sekali, besoknya ibu saya akan pergi ke luar kota bersama temannya. Saya memutuskan untuk menggunakan kesempatan itu untuk melakukan ritual cermin itu.

Akhirnya, hari itu tiba. Ibu saya sudah pergi ke luar kota. Di malam harinya, saya mempersiapkan semuanya.

Saya mengambil lilin, mengangkat cermin besar ke kamar saya. Saya mematikan lampu, menyalakan lilin, dan menyenderkan cermin besar itu pada kursi dan saya duduk bersila menghadap cermin itu.

Sungguh gila. Saya sudah bertindak di luar batas. Saya mengakuinya. Tapi, tindakan saya berhasil.

Saya duduk bersila menghadap cermin itu, di dalam ruangan yang remang-remang. Seperti sebelumnya, saya terus memperhatikan wajah saya sendiri sampai saya merasa takut dan aneh sendiri.

Saat sudah mencapai titik dimana rasa takut saya memuncak, saya mengucapkan sesuatu.

“Datanglah.. datanglah. Saya ingin bicara.”

Ya ampun, saya benar-benar mendengar jawaban.

“Berbaliklah. Jangan tatap cermin ini. Kamu tak akan sanggup.” Begitulah jawabannya.

Persis seperti sebelumnya, suara itu tidak terdengar melalui telinga saya. Suara itu seakan datang dari dalam hati saya dan langsung terkirim ke otak.

Saya menurutinya. Saya membelakangi cermin itu. Menghadap tembok di dalam kamar.

Saya kembali mendengar suaranya, dia menyebut-nyebut nama saya.

Malam itu, saya benar-benar melakukannya. Saya berkomunikasi dengannya. Saya tidak bisa mendeskripsikan bagaimana percakapan kami. Saya ingat betul inti percakapan itu karena ceritanya sangat kronologis dan sesuai dengan fakta sejarah yang ada.

Di dalam percakapan itu, saya bertanya banyak hal. Ada satu kebodohan yang saya lakukan. Sebelum saya berbicara, jin itu sempat meminta, bahwa dia akan berbicara, dengan syarat, saya tidak akan menyakitinya dan saya tidak akan mengusirnya. Dan saya mengiyakan, bahwa saya tidak akan mengusirnya.

Dari percakapan itu, saya mengetahui bahwa dia memanglah jin yang pernah melakukan persekutuan dan perjanjian dengan salah satu leluhur saya, yang saya sendiri bahkan tidak kenal saat dia menyebutkan namanya. Saya bertanya asalnya. Dia menjawab, dia berasal dari tanah Yordania. Umurnya sudah ratusan tahun. Dia adalah jin perempuan. Di Yordania pula, dia tinggal di dalam gua dan telah bergabung dengan golongan jin kuat yang bisa menawarkan bantuan kepada manusia. Saya sempat bertanya untuk apa dia melakukan itu tapi dia enggan menjawab. Mungkin dia adalah golongan iblis yang ingin menjerumuskan manusia. Dari situlah dia bertemu dengan seorang pria, seorang manusia, di Yordania. Menurut pengakuannya, pria itu adalah seorang prajurit dari negara Jerman yang sedang melakukan misi di Yordania. Pada masa itu, ada beberapa prajurit yang memang diperintahkan untuk membuat “pegangan” kepada golongan jin untuk mendapatkan kekuatan dan kehormatan. Dan dialah, jin itulah yang menjadi “pegangan” untuk pria si prajurit itu. Saat pria itu kembali ke Jerman, disitulah dia lama bertengger dan hidup bersama pria itu. Disana pula lah dia berbahasa Yiddish, karena pria itu beragama Yahudi Jerman. Seorang manusia yang harus menutup-nutupi keyakinannya pada zaman itu, demi kelangsungan hidup. Pria itu juga harus melakukan beberapa ritual agar jin itu tetap akan menolongnya. Salah satunya adalah, agar jin itu harus terus diturunkan ke anak laki-lakinya dan seterusnya. Jika tidak ingin diturunkan, maka harus dilakukan ritual tertentu untuk memindahkan jin itu kepada orang lain, tapi, si tuannya akan menjadi lemah tak berdaya bahkan bisa sakit-sakitan hingga akhirnya ajal menjemput, terlebih jika si Tuannya sudah terlalu lama hidup “ditopang” oleh pertolongan jin itu, maka akan semakin sulit hidup dan matinya. Saya sempat bertanya bagaimana cara dia “menolong” manusia tapi dia enggan menjawab. Dia terus “hinggap” di tubuh prajurit itu, dan terus diturunkan sampai ke cucu laki-laki.

Saat dia sudah sampai ke cucu dari prajurit itu, saat itu si cucu itu masih berusia remaja. Jin itu telah secara resmi diritualkan untuk diturunkan kepada keturunan dari si prajurit untuk tetap melindungi keturunannya. Hal itu dilakukan prajurit itu karena, sejak zaman dahulu, orang Yahudi di Jerman tidak dapat hidup tenteram dan butuh perlindungan “lain”. Namun karena adanya masalah, si cucu yang telah menjadi tuan dari jin itu harus pindah bersama keluarga besarnya ke Negeri Belanda untuk mengamankan diri dari ancaman di Jerman.

Di sanalah, Tuan dari jin itu terpaksa ikut militer untuk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai seorang yang mengabdi kepada negara. Tapi, karena bantuan dari jin itu, kekuatan dari si tuannya melejit dan akhirnya ditugaskan dalam misi penjajahan tanah Indonesia, ratusan tahun yang lalu.

Saat tiba di Indonesia lah, ternyata si Tuannya ini justru bersahabat dengan seorang Feodal dari negara Indonesia di tanah Jawa. Saat itu, si Tuannya terserang penyakit yang parah dalam keadaan belum menikah dan belum memiliki keturunan. Dia sakit begitu parah sampai kondisi fisiknya sudah tidak karuan. Saat itu pula, si tuannya memindahkan jin itu kepada sahabatnya dari kaum Feodal, atas persetujuan dan keinginan masing-masing, karena si tuannya tahu bahwa jin itulah yang menghalangi kematiannya karena mungkin itulah perjanjiannya dahulu. Akhirnya dibuatlah kesepakatan baru untuk tuan yang baru, yang tidak lain adalah leluhur saya, yang saya tidak tahu namanya. Dia melakukan kesepakatan itu untuk mendapatkan usia panjang, kehormatan, tahta dan harta. Isi kesepakatan pun telah berubah, namun masih dengan jin yang sama.

Dari situlah semuanya berawal. Dia terus turun sampai akhirnya ada masanya dimana tuannya wafat dan dia tidak diturunkan secara ‘resmi’ sesuai perjanjian karena suatu hal yang tidak bisa saya mengerti. Padahal, sesungguhnya bisa saja perjanjian itu dibatalkan tapi dia harus diantar dan dikembalikan ke Yordania, tempat asalnya, meskipun pada dasarnya, dia bisa saja berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan mudahnya (tempat lain: tuan atau manusia lain). Dia juga mengaku bahwa ada cara lain yang harus dilakukan si tuan itu untuk membatalkan janji dan memindahkannya. Tapi dia tidak menyebutkan bagaimana cara lain itu. Keturunan dari tuan itu kemudian tidak mengetahui perjanjian itu. Semenjak itu pula lah dia, jin itu menjadi “gentayangan” dan tak bertuan. Dia marah dan terus mengganggu kelangsungan hidup keturunan tuannya yang telah melanggar janjinya. Dia harus menemukan tuan baru dan membuat kesepakatan baru. Dia bisa mengganggu siapa saja, tapi, dia lebih memilih keturunan laki-laki sebagai tempatnya bersarang. Dia akan memilih tempatnya sendiri diantara anak-anak laki-laki, sesuai kecenderungan orang dan akhirnya kembali memilih tempat lain jika tuan tempatnya bersarang telah wafat. Selama dia “hinggap” pada seseorang, dia masih bisa memberi kekuatan dan kelebihan itu jika dia berhasil membuat orang itu berkomunikasi dan akhirnya kembali membuat perjanjian itu. Namun, jika si orang itu tidak juga menghiraukan keberadaannya, jin itu akan terus mengganggu dalam berbagai cara. Dia terus mengganggu orang itu agar orang itu akhirnya mencari tahu dan akhirnya melakukan kontak dengannya.

Saat sampai pada titik itu, saya tersadar, dalam kondisi tubuh yang sudah semakin lelah dan lemas. Dia telah berhasil memperdaya saya. Dia telah berhasil membuat saya akhirnya berkomunikasi dengannya. Saat itu dia ingin menceritakan semuanya agar saya mau menurutinya. Inilah yang dia tunggu-tunggu selama bertahun-tahun lamanya. Dia ingin saya lah yang akhirnya kembali membuat kesepakatan. Ya Tuhan. Saya menyadari semuanya. Dia mengganggu kehidupan saya, membuat keanehan-keanehan di dalam diri saya agar saya semakin terpancing dan akhirnya melakukan ini semua.

Saat itu pula saya langsung memberontak dalam diri saya, bahwa saya tidak akan pernah melakukan perjanjian itu karena itu adalah perbuatan diluar batas dan merupakan larangan besar dan dosa besar. Saya dapat merasakan bahwa jin itu marah. Di dalam benak saya, saya masih bisa mendengar perkataannya. Dia tidak akan berhenti sampai dia berhasil. Jika itu bukan saya, mungkin keturunan saya. Jika saya tidak ingin membuat kesepakatan itu, maka saya harus menerima keadaannya, bahwa dia akan terus mengganggu kenyamanan saya karena dia telah memilih saya, meskipun saya tidak menginginkannya.

Beberapa detik kemudian, cermin itu jatuh dan menimpa kepala saya. 

Saya mencoba bangkit dari posisi duduk bersila, dan akhirnya menyalakan lampu.

Saya bergegas pergi keluar rumah dan menginap di rumah teman saya.

Malam itu saya kesulitan tidur. Saya teringat ayah saya. Saya menyesal. Saya merasa berdosa telah menuduhnya macam-macam. Saya yakin, dia, kakek saya, atau mungkin bahkan sampai ke kakek dari kakek saya tidak tahu dan tidak menginginkan jin itu hingga akhirnya sayalah yang melakukan kesalahan. Saya teringat, dulu saat saya menceritakan hal-hal aneh padanya, dia selalu berpesan untuk tidak mencari tahu dan jangan dihiraukan, tapi saya tidak menuruti perintahnya.