Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN PART 7b


Aku mulai mempersiapkan diri, sambil duduk di kursi tubuh ku tegakkan, kutarik nafas panjang, kusimpan di perut, wirid yang biasanya kubaca puluhan ribu, ku baca tiga kali-tiga kali tanpa napas, terasa tenaga yang di pusarku bangkit, terasa dingin, mengalir seperti ribuan semut berjalan, juga kurasakan aliran tenaga di bawah dadaku sebelah kanan terasa panas, mengalir kearah pertengahan dadaku, bertemu dengan tenaga dingin sehingga terasa ada pusaran, kusalurkan ke arah tanganku, kedua tenaga itu berpencar yang dingin kearah tangan kanan, dan yang panas kearah tangan kiri. Ku rasakan tangan kananku dingin seakan mengeluarkan uap dingin, lalu tangan kananku kuangkat, aku rasakan setiap mengarahkan kearah tertentu, ada getaran halus, seperti getaran kalau tubuh sedang merinding, atau terasa seperti jutaan semut, atau terasa tapak tangan menebal, setelah yakin, aku konsentrasikan, tapak tanganku seakan menyedot sesuatu, menahan dengan tapak kiriku.

Tiba-tiba angin keras menerpa kami dari segala penjuru, sampai baju yang ku kenakan dan yang dikenakan Macan berkibaran, dan beberapa daun nangka berguguran, hampir menimpa kami.

“Ini Can… kamu photo di depan, sudah berkumpul…”

Macan segera menjepretkan ngawur saja ke depanku, beberapa kali.

“Sudah-sudah cukup…!” katanya karena takut dan memang aku sendiri teramat merinding,

Ku hempaskan tanganku ke depan. Kembali angin bertiup tapi kali ini seperti meninggalkan kami.

Aku mengusap keringat yang membasahi pelipisku, kemudian menyeruput kopi yang tinggal sedikit, karena tenggorokanku terasa kering.

Ku ambil sebatang djisamsu filter dan menyalakan.

“Gimana Can, berhasil?” tanyaku yang melihat dia memutar-mutar galeri.

“Wah menakjubkan sekali, tak akan percaya kalau tidak mengalami sendiri.” dia menunjukkan gambar yang diperolehnya, memang kulihat gambar-gambar yang menyeramkan, kulihat ada enam gambar dalam satu pemotretan. Dan diulang-ulang pemotretan gambar itu sama, tapi susunannya yang berubah-ubah.

Enam gambar menyeramkan, satu adalah kakek yang juga ada di belakang Macan, wajahnya teramat tua, karena kerutan-kerutannya, kumis dan jenggotnya memanjang sampai ke dada dan berwarna putih, juga alisnya memanjang sampai ke pipi, matanya merah mencorong marah.

Kedua adalah lelaki dengan wajah separuh rusak, hingga sebagian wajahnya hanya tengkorak saja, matanya tinggal satu dan mulutnya terlihat sebagian.

Ketiga adalah perempuan dengan rambut panjang, di sekitar matanya menghitam dan wajahnya pucat, serta dari sela-sela bibirnya ada taring mencuat.

Keempat wajah tengkorak yang telah remuk, dan wajahnya tak terbentuk lagi, mata telah tak ada, sehingga tempat mata hanya lubang hitam saja.

Kelima, lelaki berkerudung hitam dan wajahnya hitam semuanya hidung dan matanya hanya kelihatan seperti bayangan.

Keenam siluet merah membentuk wajah, tapi tak begitu jelas, karena bentuk siluet cahaya. Yang terus bergerak.

“Wah ngeri juga ya Can….!”

“Makanya aku takut, dan tak mau bertemu yang seperti ini.”

Kami masih menikmati malam yang sepi, di atas bulan seujung kuku tergantung,

“Ian, kamu sering dapat benda pusaka enggak?” tanya Macan di antara pembicaraan kami.

“Benda pusaka? Maksudmu keris dan sejenisnya?”

“Iya, pernah gak?”

Aku jadi ingat satu kali aku diminta seseorang tuk membersihkan rumah dari gangguan mahluk halus di daerah Pekalongan, di desa Pring Langu, rumah itu besar dan tua, dan dibeli dengan harga murah, karena angker.

Aku masuk kerumah itu, ku rasakan hawa wingit memang terasa kuat, rumah ini teramat tua terdiri dari tiga joglo, jadi teramat besar, lebar semua ada empat ratus meter.

Pemilik rumah menyuruh dua orang menemaniku, bernama Lutfi, pemudanya tinggi, bertubuh sedang, dan Zamrosi pemuda kurus.

Aku pun membuat air isian tuk membersihkan rumah, air isian selesai ku buat, kedua orang itu pun kuminta menyiramkannya ke seantero rumah, setelah air selesai disiramkan ke seluruh rumah, maka aku menunggu reaksi, waktu itu aku duduk di depan rumah dengan kedua orang tersebut, ngobrol kesana kemari tak juntrung, membicarakan apa saja, namanya juga anak muda, apalagi di depan rumah adalah jalan raya besar, yang menghubungkan kota Pekalongan dan daerah Kedungwuni, maka jalan kalau sore teramat ramai, orang lalu lalang tiada henti.

Kalau anak muda nongkrong apa lagi yang dilihat, kalau tak cewek-cewek yang lewat. Kami selalu membanding-bandingkan kalau ada cewek lewat, ini cakep gak, berapa nilainya… Yah begitulah sehingga kami bertiga makin akrab.

Tiba-tiba lagi enak-enaknya ngobrol, ada gadis cakep dibonceng motor oleh temennya, siuut begitu saja gadis itu terlempar dari atas motor dan jatuh di depan kami, terang kami terlongo kaget, kami bertiga segera menghampiri, juga orang-orang datang mengerubuti, dan gadis itu digotong ke pelataran rumah dalam keadaan pingsan.

Orang-orang pun sibuk menolong, ada yang mengipasi, ada yang menciprati air, ada juga yang mengolesi minyak angin, tapi gadis cantik itu tak sadar juga, orang-orang pada ribut, membicarakan asal muasal terjadinya jatuh dari motor itu, dan semua membuat penilaian sendiri-sendiri, jadi malah membuat keadaan makin ribut, sementara sudah setengah jam, tapi gadis itu masih belum sadar juga.

Lutfi menoel pundakku, “Mas Ian mbok ya ditolong, kasihan kan…” katanya.

Aku baru sadar, kenapa dari tadi berdiri. Ikut-ikutan menonton saja, aku segera menyeruak di antara orang-orang yang berkerumun. Lutfi berteriak-teriak menyuruh orang minggir, sehingga memudahkanku sampai ke dekat gadis itu, yang tidur di ubin, dengan wajah pucat lesi.

Aku segera berjongkok, tanganku segera ku tempel ke kepala gadis itu. Ku salurkan tenaga yang mengalir dari pusarku, semua orang yang asalnya ramai, diam sepi.

Tak sampai dua menit kutempelkan tapak tanganku di kepala gadis itu, tubuhnya pun bergerak-gerak sadar.

Maka suara ribut orang-orang terdengar lagi, aku segera menyuruh Lutfi mengambilkan segelas air, setelah diambilkan, air itupun ku tiup dan kusuruh meminum gadis itu, yang segera segar kembali, lalu dibonceng lagi oleh motor temannya. Orang-orang pun bubar, dan aku masuk rumah ditemani Lutfi dan Zamrosi.

Setelah sholat magrib, karena nganggur aku dan kedua temanku, duduk lagi di depan rumah, suasana di luar teramat ramai, memang jalan raya Ponolawen Kedungwuni ini ramai sekali, beraneka macam orang jualan di sepanjang jalan, dari tenda Lamongan, martabak, bakso, kentaki, mie ayam, sampai penjual ikan hias, dan yang paling banyak adalah penjual tenda lesehan khas Pekalongan, yaitu sego megono, karena setiap jarak lima meteran ada penjual sego megono, itu ada sampai sepanjang 10 kiloan, bisa dibayangkan betapa ramainya. Dan semua ada pengunjungnya karena memang yang harganya murah, yaitu cuma Rp 1000,

Sungguh kota yang ramai, motor bersliweran, mobil juga tak ada habisnya, di depan rumah yang aku bersihkan dan ku pagar ini, jalan raya sangat lurus, dan aspal sangat halus.

Selagi aku duduk dengan Lutfi, Zamrosi datang membawa tahu aci, dan sambal petis, juga teh, kami pun makan sambil melihat orang yang lalu lalang. Apalagi ini adalah bulan Agustus, sudah menjadi tradisi di daerah Pekalongan tiap bulan Agustus, ada acara makan gratis satu bulan penuh. Setiap malam di adakan di setiap gang bergiliran. Juga ada lomba-lomba yang langsung mendapatkan hadiah di tempat. Seperti melempar paku pada lingkaran, di lingkaran itu ada tulisannya, kalau melempar tepat pada tulisan itu maka akan mendapatkan langsung apa yang ditulis, kalau tulisannya itu jam dinding, maka akan mendapat jam dinding, paku? tinggal minta kepada panitia. Juga ada memasukkan gelang pada botol dengan dilempar, dan masih ada permainan yang lain.

Jadi jalanan sangat ramai, kalau ada makan gratis seperti ini, tukang bakso, mie pangsit, dan tukang jualan dorong, tak usah takut tak laku, karena para penjual itu malah semua dagangannya telah diborong oleh rumah yang memanggilnya untuk melayani orang yang mau makan. Gratis.

Orang-orang berdatangan, tapi karena kami menangani dengan sigap, jadi kemacetan yang ditimbulkan tidak berlarut-larut, kami bertiga segera nyangkruk lagi, namun tak lama kami nyangkruk kembali terjadi kecelakaan lagi.

Saat kami sedang enak-enakan duduk ngobrol, tiba-tiba “Sroook..! Braak… praak..!” Sebuah sepeda motor tanpa ada sebab yang jelas tergelincir, terbanting-banting di aspal, pengendaranya terseret sampai enam meter. Aku, Lutfi dan Zamrosi segera berlarian kearah kecelakaan itu, Lutfi menuntun motor ke tepi jalan dan aku memapah pengendara yang babak bundas itu, sementara Zamrosi memberi isyarat pada kendaraan yang mau lewat.

Kebetulan ada becak lewat, aku pun menyetopnya, dan memintanya membawa pengendara motor yang kecelakaan ke rumah sakit, sementara motornya yang sudah tak karuan ku titipkan di bengkel sebelah.

Kali ini seorang pengendara sepeda yang sedang menyeberang di hantam motor roda belakangnya, sehingga lelaki pengendara sepeda itu terlempar, sementara pengendara motor juga jatuh menyluruk, keadaan teramat ribut dan memacetkan jalan, yang memang ramai.

Kali ini aku tak ikut menolong, karena tempat kecelakaan telah dikerubuti orang, dan yang mengalami kecelakaan telah ditolong orang.

Lutfi, yang sebelumnya ikut membantu lancarnya lalu lintas, telah duduk lagi di sampingku.

“Wah apa biasanya di sini sering terjadi kecelakaan seperti ini, Lut?” tanyaku.

“Ah kyaknya tidak tuh, tapi yang lebih tau Zamrosi, dia kan asli orang sini, kalau aku dari Pekalongan kota, jadi kurang tau persis.”

Zamrosi yang kuminta membelikan rokok baru saja kembali,

“Benar Zam di sini sering terjadi kecelakaan? Seperti hari ini?”

“Setahuku tak pernah tuh mas, ya hanya hari ini, aku juga heran, kenapa hari ini banyak terjadi kecelakaan? Ada apa ya?” kata Zamrosi.

“Mana aku tau Zam…” kataku yang memang tak menguasai ilmu teropong.

“Tadi juga ada anak kecil umur tujuh tahunan jatuh mas, waktu digandeng ibunya, tiba-tiba saja tubuhnya terbanting jatuh menghantam bekas tebangan pohon itu, dan giginya tanggal.” kata Lutfi sembari menunjuk bekas pohon yang ditebang, cuma setinggi mata kaki.

“Ada apa ya..?” tanyaku sendiri.

“Apa mungkin karena rumah ini mas bersihkan, lalu setannya lari ke jalan terus ngamuk?” kata Lutfi.

“Tak taulah….”

“Iya mas bisa jadi begitu..”tambah Zamrosi

Malam makin larut, jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, aku masuk rumah untuk melakukan sholat isya, sekaligus melakukan pemagaran secara wirid.

Saat aku melakukan wirid, kedua temanku itu di belakangku sedang ngobrol besenak-besenik, karena tak mau mengganggu wiridku, Mereka berdua ngobrol sambil ngerokok, tiba-tiba terdengar ledakan dalam tembok, “Duar..!” Suaranya di tembok bagian kananku.

“Hei apa itu yang meledak?” tanya Zamrosi,

“Iya ya kok ada ledakan dalam dinding, suaranya seperti bohlamp,” jawab Lutfi.

Aku tetap khusuk dalam wirid, dan tak memperdulikan kedua temanku yang mulai memeriksa. Dan mereka kembali duduk karena tak menemukan apa-apa.

“Aneh wong ada ledakan tapi tak tau apa yang meledak.” kata Lutfi dengan nada heran.

“Apa mungkin kita yang salah dengar?” kata Zamrosi.

“Ah tak mungkin, wong terdengar jelas” yakin Lutfi.

Kembali mereka pun ngobrol, sampai yang ku dengar dengkur kedua temanku itu, karena jam telah menunjukkan jam satu lebih.

Aku masih meneruskan wiridku, sampai terdengar penjaga memukul tiang listrik dua kali, pertanda pukul dua malam, kurasakan desiran angin dingin mengitari tubuhku.

Aku tenang penuh konsentrasi, terdengar suara, “kreeet..!” Kontan aku membuka mata karena suara itu, memandang ternit asal dari suara, kulihat ternit melengkut, seperti terinjak kaki yang besar, aku kaget… tapi terus melanjutkan wirid,

Dan “krek…nyut…krek nyut…” Ternit memantul-mantul seperti dibuat nyot-nyotan kaki yang besar, mengingat ternit yang kuat, nampaknya tak mungkin kucing atau tikus. Tapi aku tak bergeming dan terus melanjutkan wirid sampai selesai.

Ternit mental-mentul itu terjadi hanya sampai setengah jam, kemudian berhenti.

Jam tiga aku baru menyelesaikan wirid, kemudian ikut tidur di dekat kedua temanku. Paginya setelah sholat subuh aku tidur lagi, karena mata yang masih mengantuk, jam sembilan aku baru bangun, setelah memakan sarapan yang disediakan, aku menghampiri Zamrosi, yang tengah menyapu halaman,

“Lutfi kemana Zam?”

“Pulang dulu mas… ada apa mas..?”

“Aku mau naik ke atas ternit..”

“Wah mau ngapain mas, kok repot…”

“Mau melihat ada apa di atas ternit,”

Tanpa menunggu jawaban Zamrosi, aku segera mencari jalan naik ke ternit. Dan ku temukan di atas dapur, untung ada planggangan di sana-sini, sehingga memudahkanku naik ke atas.

Untung aku ingat membawa senter, sehingga kalau terlalu gelap bisa ku lihat, aku juga membuka genteng, sehingga penerangan masuk, dan dalam ternit tak terlalu gelap, aku menyusuri kayu sampai ke arah di atas tempatku semalam melakukan wirid, dan itu melewati satu ruangan, kubuka genteng lagi, sehingga penerangan masuk, dan suasana terang, kulihat kayu penahan ternit kuat, ku injak dengan kakiku tepat di mana semalam kayu ini melengkung, sembari berpegangan pada usuk takut jatuh, tapi aku merasa aneh, memang tanpa pegangan sekalipun kayu ini kuat menopang tubuhku, bagaimana semalam bisa melengkung-lengkung tak karuan, tiba-tiba mataku melihat dua benda menggeletak, aku segera memungut.

Benda itu ternyata sebuah batu akik sebesar jempol tangan tanpa emban dan sebuah keris kecil, dan warangkanya, keris itu cuma sebesar jari kelingking anak kecil, tapi bentuknya amat antik sekali, walau bentuknya teramat kecil tapi sangat antik sekali, warangkanya terbalut kain rapi, tapi sudah sangat usang dan kuno, ketika ku tarik lolos keris itu dengan kedua jariku, ah betapa mungilnya tapi teramat indah, karena keris itu dihiasi ukiran teramat detail, aku tak sanggup membayangkan bagaimana mungkin, seseorang mengukir dalam keris kecil ini sedemikian detailnya.

Tapi aku bukan orang yang suka keris dan batu akik, walau banyak beredar cerita tentang batu dan keris yang mempunyai kesaktian.

Aku hanya orang yang tak punya pikiran neko-neko, bagiku mengamalkan agama sebaik mungkin, hidup tenang, istri sholehah, anak-anak yang sholeh-sholehah, serta keluarga selamat, sejahtera. Walau aku percaya keampuhan keris, karena jin yang menghuninya. Tapi aku lebih percaya Alloh penolongku.

Aku pun turun dari internit.

“Kamu mau keris Zam?“ tanyaku setelah turun.

“Keris? Untuk apa mas?” tanyanya dengan pandangan heran.

“Ini aku dapat keris dari atas, ya kalau kamu mau?”

“Wah kalau saya ini kalau ada di kasih duwit aja, jangan keris, saya ini orang susah mas, butuhnya duwit…”

“Ya udah kalau tak mau…”

“Coba lihat kerisnya mana mas?”

Keris segera ku keluarkan, dan dilihatnya, setelah dijinggleng dan diteliti, keris diberikan lagi padaku.

“Wah aku gak ngerti sama sekali tentang keris mas, tapi kok kecil sekali ya, kayak mainan anak-anak aja.”

“Tapi kalau mas Ian mau, aku punya teman yang sukanya mengoleksi keris, dia pasti mau dikasih keris,”

“Nanti malem suruh aja datang kesini.”

“Tapi dia preman stasiun mas, gimana?”

“Ya nggak papa, suruh aja datang, siapa namanya?”

“Namanya Gimo mas… baik nanti aku hubungi.”

Siang itu aku mengisi batu untuk ku tanam ke empat penjuru rumah, sebagai pagar gaib. Malamnya Gimo datang, setelah berkenalan denganku, aku mengajaknya duduk di teras, membicarakan keris yang aku temukan.

Gimo orangnya tinggi besar, dempal, dan berotot, sangat suka mempelajari ilmu kesaktian, dan suka mengumpulkan wesi aji dan batu akik.