KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART20

TERSAMARKAN


Hari itu, hari yang begitu berat. Saya tidak sanggup menghadapinya. Hari itu rasanya saya tidak hidup dan tidak mati. Saya harus mengurus semuanya sendirian. Ibu saya sudah lemas tidak berdaya, sedangkan abang saya masih di ibukota. Di satu sisi, saya ingin sekali berada terus di sebelah ibu saya, menemaninya. Tapi, di sisi lain, banyak sekali yang harus saya urus. Orang-orang tidak henti-hentinya menanyakan ini dan itu. Saya bingung, sedih, dan sangat terpuruk. Abang saya, beliau baru bisa hadir malam harinya, bahkan saat dia tiba di rumah, ayah saya sudah dikebumikan. Malam itu, saya menunggunya di depan rumah, saya rindu sekali dengannya. Begitu saya melihat dia turun dari mobil, saya langsung berlari menghampirinya. Saya memeluknya seerat mungkin. Kami berpelukan di tengah-tengah jalan, disaksikan oleh pelayat yang begitu ramai malam itu, termasuk Pak Indra.


Abang saya, saya begitu salut kepadanya. Saya bangga dengan keputusannya dan ketabahannya dalam menghadapi situasi itu. Dia bisa mengikhlaskannya, untuk tidak sempat melihat jasad ayah saya hari itu. Dia bahkan justru menguatkan saya dan ibu saya, padahal, saya tahu, hari itu bisa saja terasa lebih berat baginya. Saya tidak bisa melupakannya, saat-saat dia menabahkan saya, ekspresi wajahnya, dia sekuat tenaga menahan tangisnya, agar saya tidak semakin sedih. Hari itu, saya tersadar betapa saya sangat menyayanginya.

Saya berhasil melewati hari yang berat itu. Keesokan harinya, saya terbangun dengan tangis yang begitu pecah. Ya, baru pagi itu saya bisa menangis dan terisak sejadi-jadinya. Pagi itu, saya merasa sangat sepi. Saya berjalan menuju kamar orang tua saya, seperti yang biasa saya lakukan. Tapi, kali itu, dia sudah tidak ada lagi disana. Apa yang selama ini saya takutkan akhirnya terjadi. Saya telah kehilangan dia. Saya merebahkan badan ke tempat tidurnya, saya memeluk bantalnya. Masih ada aroma harum tubuhnya di bantal itu. Saya memejamkan mata. Teringat, semua yang pernah terjadi antara saya dan dia. Wajahnya, senyumnya, tawanya, candaannya, kasih sayangnya. Ya Tuhan, sayangilah dia, sebagaimana dia menyayangiku sewaktu kecil. Sampaikanlah salamku kepadanya, betapa aku sangat merindukannya, betapa aku sangat-sangat mencintainya.

Pagi itu, pak Indra menghampiri saya. Dia memeluk saya. Dia menyampaikan sesuatu yang menguatkan saya.

“Nak, tabahlah. Semua ini memang bukan milik kita. Bagaimanapun kita sayang kepada seseorang, tapi mereka bukan milik kita. Mereka milik Tuhan. Dan mereka akan kembali ke Tuhan. Kamu tidak perlu khawatir, papa kamu, saat ini sudah berada di tempat yang lebih baik. Dia sudah berada di tangan yang lebih baik, dibandingkan dengan kita manusia. Jangan sesali kepergiannya, karena ini sudah ketentuan Tuhan.”

Kata-kata itu, tidak pernah saya lupakan. Saya berterima kasih kepadanya.

Hari demi hari saya lalui dalam perasaan kehilangan yang begitu dalam. Ternyata, semakin saya mencoba melupakannya, semakin teringat semuanya. Memang lebih baik untuk kembali hidup seutuhnya dan menjalani semuanya. Tidak ada gunanya terus-terusan meratapinya, karena bagaimanapun saya meratap, sebanyak apapun tetes air mata yang mengalir, dia tidak akan mungkin kembali lagi.

Sudah lebih satu bulan semenjak hari-hari yang berat itu. Abang saya sudah kembali ke ibukota. Suasana rumah kami sudah sangat-sangat berbeda. Seramai apapun orang di dalam rumah itu, bagi saya, rumah itu tetaplah sepi. Semenjak itu, saya benar-benar harus selalu mendampingi ibu saya di setiap kegiatannya. Saya harus bisa membagi-bagi waktu sebaik mungkin. 

Sesungguhnya, saya masih mengalami beberapa gangguan dari makhluk-makhluk itu, tapi rasa sedih saya seakan lebih kuat sehingga saya bisa menepis gangguan-gangguan itu. Bahkan, ada ingatan yang terekam dalam benak saya, bahwa saya merasa ada makhluk lain yang sedang ikut menangis di samping saya, di hari yang berat itu, saat saya sedang tidur. Ya, saya berhasil menepis semua itu, sampai, mimpi. Mimpi itu, kembali datang.

Sosok itu, sosok putih itu, kembali mendatangi saya melalui mimpi. Seperti biasanya, dia tetap mengucapkan hal yang sama, untuk percaya dengannya. Tapi, kali ini dia bersikap begitu lembut. Dia mencoba menyentuh kepala saya. Tapi saya menghindar.

Sebenarnya, saya sudah ingin melupakan semuanya, semua tentang misteri yang telah menghantui hidup saya selama ini. Tapi, mimpi itu, selalu membuat saya tidak tahan. Saya ingin ini semua berhenti, terutama mimpi itu. Setiap kali saya mimpi bertemu dengan jin itu, saya selalu merasa aneh, tidur saya terasa sia-sia. Meskipun sudah tidur semalaman, begitu mimpi itu hadir, saya terbangun dalam kondisi lelah.

Seperti biasa, saya berencana untuk menemui Pak Indra. Saya menghubunginya dan membuat janji. Beliau menyuruh saya untuk datang ke rumahnya.

Setelah mengantar ibu saya, saya kembali ke rumah dan karena cuaca panas terik, saya memarkirkan mobil ke dalam garasi. Saya bersiap-siap untuk pergi menemui Pak Indra. Saya ingat sekali, saya meletakkan kunci pintu diatas meja di teras. Tapi saya harus kembali ke dalam rumah karena lupa membawa tas. Saya berjalan kembali ke teras untuk mengambil kunci mobil. Aneh, kunci itu tidak ada disana. Saya kembali masuk ke rumah dan mondar-mandir mengulangi pergerakan saya, mengecek setiap sudut dan permukaan satu persatu, meyakinkan diri saya, apa mungkin saya lupa meletakkan kunci itu dimana. Tapi, saya ingat sekali saya sudah meletakkannya diatas meja di teras.

Lama sekali saya mencari kunci itu, sampai saya merasa terheran-heran dan marah dengan diri saya sendiri. Saya hanya mencarinya di lantai 1, karena, kunci itu digantung di ruangan di lantai 1, dan saya tidak ada naik ke lantai 2 semenjak saya memegang kunci itu, dan tidak ada orang lain di rumah itu.

Ada perasaan dalam benak saya, bahwa kunci itu mungkin saja berada di lantai dua, meskipun rasanya tidak mungkin. 

Saya berjalan dengan pasti menuju kamar kosong itu. Benar saja, kunci itu, tergeletak diatas meja gambar. Saya merinding. Tidak mungkin. Sebelumnya, saya pulang ke rumah, setelah mengantar ibu saya, dengan mobil yang sama, kunci mobil yang sama, saya pulang sebentar hanya karena tas saya ketinggalan, dan tas itu berada di lantai 1. Saya tidak naik ke lantai dua. Tapi kenapa bisa, kunci itu ada di lantai dua.

Saya bergegas kembali menuju mobil. Saya tidak mau ambil pusing. Saya membuka pagar. Pagar rumah kami jenisnya pagar lipat, bukan pagar geser. Setelah menyalakan mobil, saya mundur, tapi, ketika melihat spion, salah satu pagar menutupi mobil saya, padahal jelas sekali pagar itu sudah saya lipat. Saya kembali keluar mobil untuk melipat pagar itu. Tapi, begitu saya duduk ke mobil, saya kembali melihat ke spion dan pagar itu kembali menghalangi mobil saya. Saya kesal sekali. Saya keluar dari mobil dan membanting pintu. Saya mencari batu dan mengganjal pagar itu. Dan akhirnya saya bisa mengeluarkan mobil. Aneh sekali. Pagar itu tidak pernah mengulah seperti itu.

Saat sudah hampir dekat rumah Pak Indra, beliau menelepon saya kenapa saya lama sekali. Saya mencoba menjelaskan yang terjadi, kalau terjadi hal-hal mengesalkan di rumah saya sebelumnya. Tapi beliau harus pergi sebentar untuk membeli keperluan rumah.

Akhirnya saya tiba dalam kondisi rumahnya yang kosong karena beliau harus pergi sebentar. Saya juga diperintahkannya untuk menunggu sebentar.

Saya duduk di teras rumahnya sambil merokok. Baru saja saya membakar rokok itu, datang seorang pria muda berjalan dari luar rumah, dan menutup pagar. Dia langsung duduk di kursi di depan saya. Saya sempat bingung, saya tidak tahu dia siapa, saya tidak pernah melihatnya sebelumnya di rumah itu.

“Siang.” Katanya.
“Siang, maaf anda kerabatnya Pak Indra ya? Saya lagi nungguin dia.”
“Oh, ya. Saya muridnya.”
“Murid? Kok dia tidak pernah cerita.” Saya bertanya.
“Iya. Tapi, saya tidak mau lagi jadi muridnya.”
“Lah memang kenapa?”
“Sebelumnya kamu kenal beliau dari mana?”
“Ya, dia temannya Pak Eri, dia dulu pernah membantu saya menyelesaikan masalah saya.”
“Masalah seperti apa?”
“Ya, saya rasa anda pasti tahu, anda muridnya kan?”
“Iya. Tapi kamu sebaiknya berhati-hati.”
“Hati-hati bagaimana?”

Saya sempat terheran. Kenapa bisa dia menyarankan saya untuk berhati-hati dengan Pak Indra.

“Dia, tidak bisa dipercaya.”
“Maksudnya? Saya nggak ngerti.”
“Saya tahu, beliau sedang mencoba menjauhkan kamu dari makhluk halus kan?”
“Iya, benar.”
“Apakah kamu tahu, bahwa dia telah menipu kamu. Kamu jangan percaya dia.”
“Aduh jangan ngawur saya jadi bingung.”
“Iya, jika kamu mempercayainya dalam masalah ini, percayalah, kamu salah. Dialan yang membawa kamu sampai sejauh ini.”
“Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak? Saya tahu dia. Saya benci dia. Saya..saya, ingin dia mati.”
“Apa-apaan kamu? Masa kamu muridnya tapi berbicara begini?”

Saat mengatakan kalimat terakhir itu, saya bisa melihat ekspresi amarah yang begitu kuat dari wajahnya. Aneh sekali.

“Ya. Saya muridnya tapi akhirnya saya tidak suka dengannya. Dia sengaja berpura-pura membantu orang, kemudian dia justru mengirimkan jin ke orang yang lemah, hingga akhirnya orang-orang itu terus berhubungan dengannya dan dia mendapat keuntungan dari itu.”
“Keuntungan seperti apa? Saya tidak pernah membayarnya.”

Saat itu pula, Pak Indra sudah hadir di depan rumahnya, dia mencoba membuka pagar rumahnya dengan kesulitan. Dia sempat menyapa saya sambil tersenyum.

“Lihat senyumnya itu. Menjijikkan. Palsu.” Pria itu berkata.
“Saya.. saya tidak percaya.”

Pria itu terlihat seakan bergegas pergi. Dia kembali mengucapkan satu kalimat sebelum dia benar-benar beranjak dari teras rumah Pak Indra. 

“Percayalah dengan saya. Percayalah, saya sedang mencoba melindungi kamu.”

Kalimat itu, terasa tidak asing di telinga saya. Saya seakan mempercayai omongannya. Setelah mengatakan itu, dia dengan cepat menghilang, dia berjalan melalui halaman samping rumah Pak Indra, menuju bagian belakang.

Tidak lama kemudian, Pak Indra sudah berhasil membuka pagar dan menghampiri saya. Saya melihatnya dengan sorot mata tajam karena prasangka curiga. Saya telah terpengaruh ucapan pria tadi. Pria yang saya sendiri bahkan tidak tahu namanya. Saya tidak sempat bertanya namanya.

“Kamu kenapa kok lihat saya gitu?” Pak Indra bertanya.
“Eng.. enggak, nggak apa-apa. Kayaknya saya mau pulang aja.”
“Loh kenapa? Tunggu. Kamu ceritakan dulu apa yang terjadi.”
“Saya, sudah mendengarnya.”
“Mendengar apa?”
“Tentang kebusukan bapak.”
“Kamu ngawur ya? Siapa yang mengatakan itu? Ayo ceritakan sama saya.”
“Tadi, pria tadi, bapak lihat kan waktu bapak buka pagar. Murid bapak. Dia telah menceritakan semuanya.”
“Apa?? Siapa? Saya tidak melihat siapapun dari tadi!”
“Bapak jangan bercanda.”
“Saya bersumpah demi Tuhan, saya tidak melihat siapa-siapa di teras itu, hanya kamu sedang duduk disana!”
“Tidak mungkin.”

Pak Indra langsung bergegas duduk di depan saya. Dia terlihat marah dan kesal.

“Ya Tuhan apa yang terjadi. Kamu ceritakan pada saya sekarang.”
“Bapak, betul-betul tidak melihatnya? Tidak mungkin. Saya benar-benar berbicara dengannya. Dia adalah murid bapak.”
“Sejak kapan saya punya murid? Apa kamu pernah mendengar saya punya murid?”
“Hmm, tidak. Lalu, dia siapa??”
“Tenang dulu. Kamu harus tahu, saya tidak punya murid dan saya tidak melihatnya tadi. Kamu tidak sedang menghayal kan?”
“Apa bapak pikir saya gila? Saya benar-benar duduk dengannya!”

Dia menatap saya dengan penuh curiga. Dia memperhatikan saya dari atas ke bawah.

“Baiklah, saya percaya dengan kamu. Sekarang kita masuk saja. Tidak enak didengar tetangga. Tenanglah.”

Saya mengiyakan dan kami pun pindah ke dalam rumahnya. Saya menjelaskan semua yang terjadi. Saya begitu panik. 

“Saya, percaya dengan cerita kamu. Tapi, saya tidak percaya bahwa dia sama dengan kita.”
“Maksud bapak?”
“Ya. Dia adalah jin.”
“Ya ampun, tidak mungkin.”
“Coba kamu ulangi, dengan perlahan, apa yang diucapkannya terakhir kali.”
“Baiklah. Dia mengucapkan, percayalah dengan saya, saya akan melindungi kamu.”
“Itu dia. Apa kamu tidak merasa pernah mendengarnya sebelumnya? Saya saja tahu.”
“Ya ampun. Ya Tuhan.”

Saya merinding sejadi-jadinya. Saya takut. Saya baru tersadar. Kalimat itu, suara itu. Suaranya. Kalimat itu, kalimat yang sama dengan yang ada dalam mimpi saya. Kalimat yang selalu diucapkan jin itu di dalam mimpi saya.

“Ya Tuhan. Jadi, apakah itu dia?”
“Bisa jadi itu dia. Dia sedang mencoba menjauhkan kamu dengan saya. Dia ingin kamu tidak percaya dengan saya. Dia sedang melancarkan tipu muslihatnya.”

Saya kembali tersadar. Kejadian kunci yang berpindah, pagar yang menghalangi. Mungkin itu ulah dia. Dia benar-benar tidak ingin saya menemui Pak Indra.

“Kalau sudah begini, kita tidak bisa tinggal diam lagi, Pak. Dia semakin menjadi-jadi.” 
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Ya saya tidak tahu, Pak. Saya tidak tahu. Justru harusnya bapaklah yang menuntun saya.”
“Tapi, saya takut kalau kamu tidak sanggup.”
“Tidak sanggup bagaimana? Dia harus pergi dari kehidupan saya. Saya tidak bisa terus-terusan seperti ini pak. Saat ini saya masih berjuang keras untuk menghilangkan kesedihan saya atas kehilangan papa. Saya tidak ingin seperti ini.”

Saya kesal sekali. Saya muak. Semua ini harus berhenti, secepatnya. Pak Indra mengatakan kalau dia tidak bisa melakukan ritual pengusiran jin dari tubuh saya, karena, jin itu tidak berada dalam tubuh saya. 

“Bagaimana kalau kita coba saja, pak. Kita tidak tahu, kan. Mungkin saja dia memang benar-benar ada di dalam tubuh saya.” Saya memaksa Pak Indra.
“Baiklah jika itu mau kamu. Sekarang kamu duduk.”