KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN PART22c


Semenjak hari itu, gangguan yang saya alami terasa semakin kuat. Saya benar-benar dapat merasakan kehadirannya di sekitar saya, dimanapun itu. Dia benar-benar “ada” di dalam hidup saya. Dia seakan ikut mengalir bersama darah di dalam tubuh saya. Sungguh, saya bisa merasakannya.

Saya akhirnya menelepon Pak Indra dan menceritakan semuanya, lagi dan lagi, seperti biasanya. 

Dari percakapan kami, Pak Indra mengatakan bahwa sudah jelas, asal muasal jin itu dan apa maksud dan tujuannya. Dari situ, dia kembali mengingatkan saya, untuk tetap berlindung pada Tuhan. Karena bagaimanapun, Tuhan lah pencipta semesta alam, termasuk makhluk kasat mata dan makhluk tak kasat mata. Maka memohonlah padaNya. Beliau mengatakan, bahwa bisa saja saya melakukan pembatalan janji dan membuang jin itu jauh-jauh. Tapi, bukan tidak mungkin, bahwa jin itu tidak mau diusir. Tapi intinya, Pak Indra yakin, jika jin itu memang berasal dari kalangan iblis, maka dia tak akan suka dengan manusia yang dekat dengan Tuhan. Maka dari itu, dia kembali mengingatkan saya untuk lebih serius dalam mendekatkan diri pada Tuhan.

Saya mengiyakan. Benar yang dikatakan Pak Indra. Semenjak itu pula, saya semakin merubah diri saya untuk bisa lebih banyak beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Tapi, setelah beberapa lama, saya rasa gangguan itu tetap tidak berkurang, bahkan, bukan lagi hanya merasakannya, tapi saya seakan bisa melihatnya; jin itu.

Saya memang tidak bisa melihatnya secara kasat mata. Tapi, ada perasaan dan bayangan dalam benak saya akan sosoknya yang hadir di sekitar saya. Pertama kali saya menyadarinya adalah ketika saya kedatangan tamu, seorang pemuda yang mengaku memiliki “pegangan” jin turunan dari keluarganya. Saat dia memasuki rumah saya, saya bisa merasakan bahwa jin itu tidak suka dengan kehadirannya. Entah kenapa, padahal saat itu saya tidak melihat apa-apa dari mata saya. Tapi, mata batin saya berkata lain. Saya dapat membayangkan dan merasakan kehadirannya yang sedang bertengger diatas bahu pemuda itu. Ya, saya bahkan bisa menggambarkan posisinya dan dimana dia berada.

Tapi, saya tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun. Saya akan dianggap orang aneh atau bahkan orang gila.

Selama itu pula saya masih terus bermimpi berjumpa dengannya, namun dia tidak mengatakan apapun. Saya hanya melihatnya saja.

Setelah beberapa lama, saya sampai pada titik jenuh dimana saya harus bisa merasakan kehadirannya. Saya rasa itu adalah gangguan yang dia lakukan pada saya agar saya terus merasa kalau dia ada. Karena sesuai pernyataannya, dia tak akan menyerah.

Saya ingat sekali, malam itu saya harus begadang di rumah teman saya untuk mengerjakan tugas. Di ruangan itu, saya bisa merasakan dengan kuat, bahwa dia hadir disitu dan saya sudah sangat jenuh.

Saat itu pula saya akhirnya berdoa pada Tuhan dan saya meyakinkan diri saya untuk melakukan sesuatu, untuk membatalkan janji yang pernah ada antara leluhur saya dan jin itu. Keyakinan saya begitu kuat hingga tiba-tiba kepala saya terasa begitu berat dan besok harinya, saya jatuh sakit. Padahal, saya berencana melakukan pembatalan janji itu di keesokan harinya.

Keesokan harinya, badan saya terasa begitu lemas dan saya tidak selera makan. Saat itu saya sedang berada di sebuah kafe di mall dengan teman dekat saya yang kebetulan adalah seorang dokter spesialis. Ya, umurnya memang jauh diatas saya. Saat itu dia menyadari bahwa saya kurang sehat. Dia mengajak saya untuk pindah mencari tempat makan agar saya merasa enakan. Tapi, setelah makan, saya semakin lemah. Saya terbaring lemah diatas sofa di lobby mall itu dan teman saya bergegas membelikan saya obat-obatan.

Saya akhirnya pulang ke rumah dan ibu saya menganggapnya sepele, bahwa itu hanya demam biasa. 

Malam pertama saya sakit itu, saya kesulitan tidur. Saat tertidur, saya malah bermimpi bertemu jin itu dan dia mengatakan bahwa dia tak akan membiarkan saya membuatnya pergi. Seperti biasa, saya terbangun tiba-tiba dalam kondisi tersedak.

Keesokan harinya, tubuh saya terasa semakin lemah dan teman saya itu datang ke rumah, memaksa saya untuk ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Meskipun awalnya ibu saya enggan, tapi akhirnya dia mau.

Kami pergi ke rumah sakit terdekat dan dokter mengatakan bahwa saya mungkin terserang sakit typhus karena kecapekan begadang dan makan sembarangan.

Akhirnya saya kembali diistirahatkan di rumah, dan tentu saja, selama dua malam berturut-turut, saya terus bermimpi yang sama, hingga akhirnya saya benar-benar lemah tak berdaya.

Ibu saya semakin khawatir dan membawa saya kembali ke praktik dokter terdekat.

Setelah diperiksa, ternyata trombosit dan tekanan darah saya sudah sangat drop. Dokter itu memvonis saya terkena demam berdarah.

Saat itu pula dokter itu langsung menyarankan saya untuk segera dirawat di rumah sakit untuk diinfus.

Kami bergegas kembali ke rumah untuk membawa barang-barang yang akan diperlukan di rumah sakit. Saat mendengar vonis dari dokter bahwa saya sudah sakit parah, ada sesuatu yang terbersit di dalam benak saya. Sesuatu akan terjadi. Karena, jin itu biasanya selalu “menyerang” saya ketika saya dalam kondisi lemah jiwa dan raga.

Saat hendak pergi dari rumah, sumpah demi Tuhan, saya melihatnya dengan sangat jelas. Sesosok wanita tua yang duduk di ruang tamu. Dia melihat saya dan ibu saya sedang bergegas menuju mobil untuk segera pergi ke rumah sakit. Saya melihat ke arahnya. Dia menoleh ke arah saya sambil senyum kecil, namun dia terlihat sedih.

Saat mobil mulai melaju, saya menoleh ke jendela rumah saya dan saya kembali melihat sosok anak kecil yang pernah saya lihat dulu. Dia melambaikan tangan sambil menangis.

Saat di opname merupakan saat-saat yang sangat menyakitkan, membosankan sekaligus mencekam. Selama disana, banyak sekali sosok-sosok makhluk halus yang saya rasakan dan saya lihat. Saat itu saya seakan dapat melihat mereka semua, meskipun, di dalam benak saya, saya berusaha meyakinkan diri bahwa itu semua adalah halusinasi karena saya sedang sakit parah.

Saya diopname selama delapan hari. Selama itu pula lah, selama lima malam berturut-turut saya harus bermimpi bertemu dengan jin itu. Setiap mimpi berlangung singkat tapi bersambung-sambung.

Saya tidak bisa menjelaskan mimpi itu secara rinci, tapi mimpi itu menjelaskan semuanya.

Di mimpi itu, jin itu membawa saya, seperti mimpi yang pernah saya alami saat di rumah Pak Indra. Jin itu mengajak saya melihat apa yang terjadi dulu dan menjelaskan semuanya.

Jika disambung-sambung, maka mimpi itu semua, sesuai dengan semua gangguan yang saya ceritakan di dalam cerita ini dari awal. Di dalam keseluruhan mimpi itu, saya menjadi orang yang sedang melihat sosok saya yang lain, dari mulai saya kecil hingga saya besar.

Saya ingat sekali, di dalam mimpi itu, saya sedang berada di ruangan gelap. Ada guci di ruangan itu. Jin itu (selanjutnya akan kembali saya sebutkan sebagai jin saka) seakan memerintahkan jin lain yang terlihat lebih lemah untuk mengusik guci itu dan akhirnya saya, sosok saya yang masih kecil menyadari gangguan di guci itu dan akhirnya saya merasa terganggu.

Sesungguhnya, jika saya menceritakan kisah di mimpi itu maka akan terlalu panjang. Tapi inti yang saya dapatkan adalah, dari sejak saya kecil, dia telah mengincar saya untuk menjadi “tempat” berikutnya, setelah ayah saya. Dia kemudian berkomplot dengan jin yang memang sudah ada di rumah saya, untuk mengganggu saya, agar saya sejak kecil sudah terganggu dan mencari-cari tahu, hingga pada suatu saat nanti, dia akan dengan mudah menguasai saya. Jin saka itulah yang memberi kemampuan lebih pada jin yang ada di rumah saya agar mereka dapat mengganggu saya melalui banyak cara. Dari rasa penasaran saya itulah, yang akhirnya semakin melebarkan “celah” pada batin saya untuk diganggu oleh jin. Semua gangguan, dari mulai guci, gigi yang berpindah dan lain-lainnya. Tapi, jin saka itu sempat kesulitan ketika ada salah satu jin di rumah saya yang berhasil memasuki saya karena alasan suka dengan saya. Saat itu jin saka itu tidak bisa berbuat banyak karena dia masih berada di “tempat” yang lain, bukan pada saya. Jin yang suka dengan saya itu, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, melakukan banyak cara agar saya juga sadar akan kehadirannya dan tidak takut dengannya. Jin itu mengikuti kegiatan saya dan mencontoh apa-apa yang saya sukai termasuk musik kesukaan saya. Diapun menjelma sebagai “teman khayalan” saya selama bertahun-tahun lamanya. Pada saat jin itu “menempel” dengan saya, ada jin lain yang berhasil menggantikan posisinya untuk menguasai saya atas perintah jin saka, dan dia selalu menimbulkan aroma belerang setiap kali dia ingin menunjukkan kehadirannya. Jin lain ini, adalah jin yang memang sudah hinggap di keris pusaka. Dia bukan pegangan dari siapapun. Dia hanya menjadikan keris itu sebagai tempatnya karena keris itu dianggap pusaka dan keramat. Dia tidak pernah bermaksud mengganggu manusia, hingga akhirnya jin saka lah yang memerintahkannya dengan suatu imbalan yang tidak saya mengerti. Ingat masa-masa saya selalu ingin menyiksa orang lain di masa SMP? Ya, itu adalah ulah jin yang berasal dari keris itu. Tapi, saat keris itu sudah tidak ada lagi di rumah kami, jin itu turut pergi, dan jin yang suka dengan saya kembali mengambil posisinya. Kemudian, saat jin saka tidak berhasil “menguasai” ayah saya sampai waktu ajalnya, akhirnya dia harus memasuki saya sebagai “tempat” nya. Tapi, ternyata dia tidak bersusah payah untuk mengusir jin yang suka dengan saya. Karena saya sendirilah, dengan bantuan Pak Indra, yang mengusirnya, jin yang suka dengan saya. Ternyata, meskipun kami telah mengusir satu jin, tapi justru, dari situlah jin saka itu dengan mudah memasuki saya, terlebih, sejak awal saya memang sudah menciptakan “celah” saya sendiri untuk dimasukinya di masa yang akan datang. Dan akhirnya, diapun terus hinggap pada saya dan dia terus menunjukkan kemampuannya dengan “membantu” saya dalam menghadapi orang yang tidak saya sukai. Di dalam mimpi itu, saya bahkan bisa merasakan saat-saat dimana dia ikut dan memasuki saya. Semuanya terus berlangsung sampai saat-saat saya diopname dan saya seolah-olah kembali ke tubuh saya yang sedang tidur di kasur, di rumah sakit. Jin saka itu terus mengikuti saya dan dia ikut tidur di sebelah saya. Saat itu pula saya terbangun dalam keadaan tersedak .Mimpi itu berakhir di hari ke enam saya diopname. Namun, di malam terakhir saya bermimpi itu, saya benar-benar melihat sosok jin saka itu sedang tiduran di sebelah saya, di kasur, di dalam kamar di rumah sakit itu. Saya memang tidak menolehkan kepala, tapi, dari sudut paling ujung mata saya, saya dapat melihatnya. Dia sedang tiduran sambil menghadap saya. Saat saya kembali memejamkan mata untuk melanjutkan tidur, saya kembali mendengar bisikannya.

“Jangan takut. Aku bersamamu.”

Keseluruhan mimpi yang bersambung seperti sinetron itu, menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang selalu hinggap di dalam benak saya selama bertahun-tahun lamanya. Ya, saya mempercayai apa-apa yang saya lihat di dalam mimpi itu dan jin itu benar-benar membuktikan kehadirannya melalui mimpi-mimpi. Semuanya terasa nyata. Saya seakan benar-benar melewati lorong waktu dan mengulang kembali semua kejadian aneh dalam hidup saya, dan melewati pengulangan itu semua hanya dalam mimpi selama 5 malam berturut-turut.

Sejauh itu saya mengetahui satu hal penting yang menjadi jawaban dari keseluruhan cerita ini; antara rumah yang horor dan kesalahan di masa lalu? Ya, saya tahu, bahwa bukan rumah kami lah penyebab ini semua. Semua ini terjadi karena telah terjadi kesalahan di masa lampau sekali, dan akhirnya saya pun melakukan kesalahan yang tidak saya sadari; sibuk mencari-cari tahu apa yang tidak seharusnya saya ketahui dan saya terjebak di dalamnya.

Keesokan harinya saya sudah merasa lebih baik dan lebih bertenaga untuk banyak berbincang-bincang dengan banyak orang sekaligus. Sebelumnya, saya bahkan tidak sanggup mendengar suara apapun, terlebih jika terlalu banyak orang menjenguk dan mereka semua berbicara. Rasanya kepala saya akan meledak.

Saat itu pula ibu saya mengaku bahwa saya terus mengigau saat tidur. Tapi ibu saya terlihat tidak curiga. Dia hanya menerka bahwa itu adalah efek dari demam tinggi. Padahal dalam hati, saya merasa sangat bersalah padanya.

Di hari terakhir saya diopname, saya terbangun pagi-pagi sekali karena saya sudah tidak sabar untuk segera pulang. Saat itu ibu saya masih tertidur pulas. Saya memperhatikan seisi ruangan yang masih gelap. Ada dia. Jin itu sedang berada di sudut ruangan dan melihat saya. Kali itu sosoknya persis dengan yang ada di mimpi saya. Dia perempuan. Tapi wajahnya kembali berubah. Entah kenapa, wajahnya selalu terlihat berubah-ubah di setiap kali saya melihat atau merasakannya. Saya bahkan tidak tahu apakah saya benar-benar melihatnya atau itu hanya representasi dari perasaan saya akan kehadirannya. Tapi yang jelas, saya tahu ada dia di sudut ruangan itu.

Saya menundukkan pandangan dan mengajaknya berbicara.

“Sedang apa kamu disitu? Kenapa kamu masih disini?” Saya bertanya.

Tidak ada jawaban. Saya menunggu beberapa menit masih dalam keadaan menunduk. Namun karena tidak ada jawaban, saya kembali merebahkan badan sambil mencari telepon genggam.

Saat saya membalikkan badan ke sisi kiri, saya tersadar bahwa saya sudah berada di pinggir kasur dan saya berniat menggeser badan saya sedikit ke kanan agar tidak terjatuh. Tapi, saat itu pula saya mendengar suara “kriet…” seakan ada yang duduk di kasur itu.

Entah kenapa saya tidak takut. Entah kenapa saya tahu itu adalah jin itu. Entah kenapa saya merasa yakin bahwa dia memang benar-benar ikut tidur di sebelah saya saat itu. Tapi meskipun begitu, saya enggan membalikkan badan dan saya tetap pada posisi itu, menghadap ke sisi kiri, di pinggir kasur dan hampir terjatuh..

“Aku akan tetap berada di dekatmu. Aku tidak akan mengganggu.” Jin itu, menjawab, dan tentu saja, suara itu tidak terdengar langsung dari telinga saya, melainkan dari dalam hati saya yang tidak saya lakukan secara sengaja. Suara itu memang seperti seakan-akan ada makhluk lain yang hidup di dalam tubuh saya dan dia menjawab dari dalam.

Saya hanya diam seribu bahasa. Saya sudah pasrah. Saat itu, yang ada di benak saya adalah, saya harus terima keadaan itu. Saya telah melakukan kesalahan. Saya memang tidak menginginkannya, tapi semua sudah terlanjur, toh saya sudah mengetahui apa-apa yang selalu saya pertanyakan; gangguan-gangguan aneh yang saya alami sejak kecil. Semuanya sudah terungkap.

Akhirnya tidak lama kemudian ibu saya terbangun dan dia bergegas menyiapkan sarapan untuk saya. Saya ingat sekali, saat itu ibu membuat roti dengan sekali coklat yang lezat. Dan baru kali itu saya benar-benar menghabiskan makanan saya selama diopname. Beberapa saat kemudian, dokter dan suster datang untuk memeriksa saya, apakah saya sudah bisa pulang.

Saat itu dokternya seperti tidak yakin bahwa saya bisa pulang. Saya kecewa berat, dan menatap wajahnya. Saya ingin sekali pulang.

Ya, anda tahu apa yang terjadi. Wajah dokter itu pucat ketika melihat wajah saya. Dia tiba-tiba mengatakan bahwa saya sudah boleh pulang saat siang nanti, dengan syarat, saya harus tetap istirahat di rumah selama beberapa hari dan tidak melakukan aktifitas berat. 

Ibu suster tahu bahwa saya masih kecewa dengan keputusan dokter itu untuk menunggu sampai siang. Dia mengajak saya untuk berjalan-jalan keliling rumah sakit untuk sedikit mengobati rasa bosan saya yang terus-terusan berada di kamar.

Saya sangat bersemangat. Saya ingin keluar dari kamar itu. Suster itu membawakan kursi roda. Ya, saya butuh kursi roda agar saya tidak pusing saat berjalan, karena saya telah terus-terusan dalam keadaan tergolek di atas kasur.

Kami berkeliling menelusuri lorong demi lorong di rumah sakit itu. Di sepanjang jalan, saya banyak melihat orang-orang, termasuk orang-orang tua dan anak-anak. Saya menyapa mereka semua, menebarkan senyuman.

Tiba-tiba, suster itu bertanya. 

“Kamu daritadi menyapa siapa dik?”
“Ya itu, orang-orang yang ada di lorong-lorong tadi.”

Suster itu diam sejenak dan saya masih belum curiga.

“Kamu sehat kan?” Suster itu bertanya.
“Tentu saja, saya yakin sekali.”
“Asal kamu tahu ya, dari tadi itu nggak ada orang sama sekali yang kita lewatin.”

Saya diam saja. Saya enggan menjawab. Tapi suster itu terlihat curiga.

“Sepertinya kamu masih sakit.”
“Maksud suster?”
“Ya, mungkin kamu mengalami gangguan jiwa. Mungkin ringan.”
“Saya tidak gila, suster.”
“Saya tidak ada bilang kalau kamu gila. Tapi.. mungkin kejiwaan kamu terguncang.”
“Jangan main-main ya, suster. Saya ini memang ada pendampingnya.” Sungguh tak disangka saya bisa mengatakan itu. Saya tidak menyadarinya. Kata-kata itu terucap begitu saja.
“Pegangan apa? Pegangan tangga?”
“Jangan main-main dengan dia suster.”
“Dia siapa?”
“Dia.”
“Kamu betul-betul sakit. Kamu halusinasi ya?”
“Saya tidak main-main, suster.”
“Ini tidak bisa dibiarkan, nanti akan saya bicarakan sama dokter saja. Sekarang kita balik ke kamar ya.”

Saya langsung sontak berdiri dari kursi roda dan menghadap suster itu. Saya tidak bisa mengkontrol gerakan saya.

“Sekarang, siapa yang halusinasi??” Suara itu, keluar dari mulut saya, tapi itu bukan suara saya. Suara perempuan. Mungkin itu adalah suara dari jin saka itu. Dia sedang beraksi.

Suster itu terdiam. Saya bisa melihat dia sangat ketakutan. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bahkan saya sendiri tidak percaya dengan apa yang terjadi.

Saya kembai duduk ke kursi roda dan memerintahkan suster itu untuk tidak menuduh saya gila, terlebih jika harus mengkonsultasikannya pada dokter. Karena saya ingin pulang.

Suster itu terdiam terus, hingga kami kembali tiba di kamar. Dia terus terdiam dan dia tidak berani melihat saya. Saya merasa senang sekali. 

Sesungguhnya, saat itu hati kecil saya berbicara; Saya tidak seharusnya merasa senang dengan “aksi” dari jin itu. Hal itu akan membuatnya semakin kuat.

Tapi apa daya, kekuatan hati kecil itu hanya sebatas bisikan halus yang hilang begitu saja.