Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN PART 15b


Aku tak menjawab, tapi langsung merebahkan diri, ke atas kasur, yang tak berkapuk lagi, mungkin telah teramat tipis, setipis triplek…, rasanya makin penat aja, tapi ke relakan urat-uratku, yang sebetulnya tak pegal…, Hendra pun ikut naik ke atas ranjang, sehingga aku yang mepet ke tembok.


Tiba-tiba tangan Hendra memelukku, aku menepiskan,

“Apa-apaan sih Ndra…!” kataku agak jengkel dan risih.

“Ah masak nggak ngerti..” kata Hendra sambil tangannya berusaha didekapkan ke arahku. Ah dah gila ini orang, kembali kutepiskan tangannya,

“Ayolah mas, kita kan sama-sama dewasa, masak mas ndak ngerti….” katanya dengan nada merajuk.

“Sialan kamu jangan macem-macem..” kataku jijik.

“Apakah aku harus main paksa…?” kata Hendra dengan tangannya cepat memelukku, tapi tangan itu segera ku tangkap pergelangan tangannya, dan untung dulu pernah tau ilmu gunting, yang melatihnya dengan menjepit besi sampai gepeng, begitu tangan Hendra dalam genggamanku, rapal pun ku ucap, Hendra menjerit,

“Aduuuh sakit masss…!”

“Jika aku ingin mematahkan tanganmu, sama mudahnya mematahkan roti kering…” kataku bukan sekedar mengancam, dan mempererat cengkeraman, sehingga Hendra menjerit kencang.

“Apa mau ku patahkan?” tanyaku, sementara Hendra telah memelintir, melintirkan tubuh menahan sakit yang teramat sangat.

“Ampuuun-ampuun mas…, tobat…!” katanya, matanya mulai basah, entah karena rasa sakit yang di rasakan atau karena memang dia menyesali dengan apa yang telah diperbuat, dan Hendra pun benar-benar menangis…., akupun melepaskan cengkeraman tanganku, di pergelangan tangannya, ku lihat pergelangan tangan Hendra membiru,

“Maafkan aku… masss…. aku ndak tau kalau mas orang isi…”

“Memang kalau aku tidak berisi, kamu akan berbuat sekehendak hatimu?”

“Aku ndak berani mas,.. maafkan..” suaranya disela isak tangisnya.

“Aku jadi begini juga karena ada sebabnya mas…, bukan karena kelainan, tapi lebih karena kekecewaan….”

“Apa maksudmu?” tanyaku yang mulai mengendap kemarahanku.

“Udah nangisnya…!” bentakku karena melihatnya sesenggukan menangis.

“Kamu itu lelaki, masak menangis.” Hendra terdiam, dan menghapus air matanya…

“Aku orang yang malang mas…” katanya.

“Malang bagaimana… apa kamu kejatuhan bom yang mau dijatuhkan di Irak sana…, kulihat tubuhmu juga masih utuh, ya kalau kamu kejatuhan bom, berarti kamu masih termasuk orang yang selamat, karena seluruh tubuhmu ndak terluka,” jengekku.

“Mas jangan bercanda..” kata Hendra.

“Bercanda gimana? Kan katamu kamu ini orang yang malang, la malang aja, tubuh kamu masih utuh, sehat wal afiat tak kurang suatu apa… gimana aku tak heran, yang malang sebelah mana?”

“Yang malang hatiku mas…”

“Wah kalau yang malang hatimu, itu pasti karena polah tingkahmu sendiri, dan tak siapnya kamu menghadapi kenyataan.”

“Ndra…! setiap orang itu mempunyai kadar rasa yang sama, rasa sakit, rasa senang, duka, kecewa, enak nikmat, pahit getir, semua mempunyai kadar yang sama, semua diberi keadilan untuk mengecap rasa itu, tergantung kita sendiri menyikapi, dan membuat ukuran kadar dalam peluapannya, ada orang mau disuntik dokter, semua pasti merasakan yang sama, jarum nusuk kulit, tapi ada yang cuma njengkit kaget, ada juga yang teriak, bahkan ada juga belum kena jarum udah teriak-teriak, jadi tergantung bagaimana, menyikapinya, semua kembali pada diri masing-masing.”

Hendra cuma mantuk-mantuk, tak tau paham apa enggak dengan keteranganku, wong aku yang menerangkan sendiri aja bingung apa lagi yang mendengar, ya dari pada tidak memberi solusi, lebih baik ngasih solusi, setidaknya untuk pengalih perhatian.

“Sebenarnya masalah apa yang kamu hadapi?” tanyaku menyelidik.

Hendra menarik napas panjang lalu berkata, “Gini mas, aku pernah mencintai wanita, selama ini dia yang selalu aku idam-idamkan, selama ini dia yang selalu dalam angan dan pikiranku, selalu aku pikirkan, siang malam…”

“Trus bagaimana?” kataku tak sabar, mendengar kata muluk berbumbu tumpahan perasaan.

“Ya itu mas … aku mencintai dia, menyayangi dia, bahkan sering memberinya hadiah-hadiah, karena sayangku padanya.” kata Hendra makin muluk-muluk.

“Iya apa kamu udah nyampaikan atau ngutarakan cintamu padanya?” kataku tak sabaran.

“Itulah mas…”

“Itulah gimana maksudmu?”

“Dah beberapa tahun itu pengutaraan cinta ku tunggu-tunggu, sampai ada waktu yang cocok…”

“Ah njlimet amat, masak ngutarakan cinta pakai waktu yang cocok? Jangan-jangan pakai hitungan Jawa, pakai hitungan weton, kenapa gak langsung diutarakan…?”

“Ya itu mas susah nyari waktu yang pas…”

“La kenapa gak pakai surat? Jadi waktu pengutaraannya gak usah banyak waktu plintat-plintut, tulis to the point I LOVE YOU, kan udah, kenapa repot?”

“Ya tak taulah mas, yang jelas saya nunggu setahun sampai bisa mengutarakannya.”

“Lalu bagaimana?”

“Ya saya utarakan… mas..”

“Iya kelanjutannya bagaimana, maksudmu, kamu ditrima atau ditolak?”

“Aku ditolak mas…” jawab Hendra lemes, aku cuma ketawa.

“Kenapa ketawa mas?” tanya Hendra.

“La gimana tak ketawa, la cuma ditolak sekali aja udah lemes, mutung, prustasi, hidup itu perjuangan Ndra, la orang bikin anak sampai jadi cewek yang kamu demeni itu aja tak sehari-dua hari, la ditolak sekali, agak jual mahal, agak jinak-jinak merpati, la itu kan sudah sifatnya cewek, la kalau cewek nyeruduk aja, kayaknya kok tak ada seninya, kurang ada nilai lebih, gak ada gregetnya, ya gak?”

“Tapi penolakannya itu langsung telak mas, aku dilarang datang, aku dilarang dekat-dekat dengannya.”

“Woh itu mah wajar,”

“Tapi dia bilang malu mas, kalau aku ada di dekatnya.”

“Ah alasan kan boleh aja dibuat, mau alasan malu-mau alasan kamu bau… ckikikik…, la wong alasan kok diributkan, dia mau bikin alasan apa aja, kalau kamu gigih, ku kira juga dia akan takluk.” kataku memberi semangat, sebenarnya maksudku, hanya menarik kembali Hendra dari jalan yang salah, jalan kepada penyimpangan sex.

“Lalu apa yang harus ku lakukan mas?”

“Wah itu urusanmu sendiri, tapi kalau kamu mau, aku akan memberimu amalan, supaya cewek itu kau dapatkan, kamu mau?”

“Wah mau-mau mas…, “

“Tapi syaratnya berat Ndra…!” kataku, memancing kesungguhannya.

“Syaratnya apa mas? Apa ngambil tanah dalam kuburan?”

“Wah ndak seberat itu Ndra, malah juga dibilang ini juga berat bagi orang tertentu…”

“Trus apa syaratnya mas?”

“Syaratnya kamu jangan meninggalkan sholat, jangan minum-minuman keras, dan jangan kau pakai perempuan itu barang permainan…, gimana kamu sanggup?”

“Cuma itu aja mas syaratnya?” kata Hendra,

“La kamu sanggup tidak? Kan selama ini sholatmu jarang-jarang…,”

“La kok mas tau?”

“Wah itu mudah ditebak Ndra..!”

“Aku sanggup mas…”

“Bener sanggup?” tanyaku meyakinknnya,

“Sanggup sekali mas…”

“Baiklah, sini aku minta pena ama kertas, biar ku tuliskan amalannya..” kataku yang segera dicarikan oleh Hendra dan tak sampai lima menit dia datang membawa pena dan kertas, dan amalan makhabah pun ku tulis, setelah menyerahkan amalan, dan memberikan pesan cara kerja dan bagaimana pakainya, aku pun minta diri karena hari telah menjelang subuh. Setelah sholat subuh, aku ikut kereta barang ke arah Surabaya.

Jam satu siang sampai di stasiun Pasar Turi, aku tak bingung, walau tak pernah ke Surabaya, yah bagaimana harus bingung, karena bingung adalah hak bagi orang yang punya tujuan, sedang aku tak punya tujuan sama sekali, jadi aku sama sekali tak mencari alasan untuk bingung, aku duduk aja di kursi peron, tak seperti orang linglung, walau tak ada uang serupiah pun di kantongku, aku tak takut, akan dapat makan dari mana, walau aku juga manusia biasa, kalau boleh bilang aku teramat lapar, walau itu tak jadi beban pikiranku, aku tekuni saja berdzikir, tanpa henti dan tanpa bosan, karena hanya Robku saja sandaranku, dan yang aku kenal sekarang ini, aku yakin, kasih sayang-Nya melebihi kasih sayang ibuku, perhatian-Nya melebihi siapa pun di muka bumi ini, aku kemudian berjalan keluar setasiun.., tapi baru keluar dari pintu seorang perempuan memanggilku,

“Mas sini mas…!” panggilnya. Aku segera mendekat, ku lihat dia membawa banyak jualan, yang ditenteng, yang dijinjing, juga yang digendong di punggung, tapi mulai diturunkan, ibu itu mungkin seumur empat puluh tahun.

“Ada apa bu?” tanyaku sambil mendekat, mungkin aku diminta membantu barang bawaannya, pikirku.

Dia membuka makanan dan meramu pecel, dan meletakkan satu paha ayam di bungkusan yang dipegangnya,

“Ini makan…!” katanya menyodorkan sebungkus pecel yang diraciknya,

“Ah ndak bu…” kataku mundur.

“Ndak mau gimana? Udah ini dimakan…!” katanya berdiri dan menyodorkan bungkusan padaku,

“Saya ndak punya uang bu… maaf…” kataku terus terang,

“Yang nyuruh anak ini bayar siapa? Ibu hanya minta anak makan ini…”

“Tapi bu…?” kataku masih belum menerima nasi bungkus pemberiannya.

“Udah ini dimakan dulu.” katanya, yang tak bisa ku tolak, lalu ibu itu mengeluarkan kursi dari dalam keranjang dagangannya dan menyuruhku duduk, dan setelah menyatakan terimakasih, aku pun makan dengan lahap,

“Nambah?” tanyanya sambil menyodorkan segelas teh di dekatku.

“Ah sudah bu…, sudah kenyang sekali,” kataku.

“Ibu bikinin lagi ya…” tawarnya dengan pandangan kasih nan lembut.

“Udah bu.., bener nih, sudah kenyang sekali,” kataku, sambil meminum teh manis, tapi ku lihat ibu itu masih membuat racikan pecel juga, dan membungkusnya dalam kresek, lalu disodorkan padaku,

“Ini, untuk bekal dalam perjalanan…” katanya sambil mengansurkan kresek ke arahku, dan memaksaku menerimanya.

“Kenapa ibu baik padaku?” tanyaku heran.

“Nak… ibu hanya minta kamu mendoakan ibu..,” katanya menatapku dengan serius.

“Mendoakan?” tanyaku heran.

“Ah ibu ini, saya ini dosanya terlalu menumpuk bu, masak disuruh mendoakan? Ya apa diperduli oleh Alloh, lihatlah pakaianku ini bu kotor banget, dekil, kumal, jarang mandi,” kataku sambil menunjukkan pakaian yang kupakai.

“Kalau begitu, kamu tak mu ya mendoakan ibu..?” katanya sambil air matanya mulai menetes…

“Oh.., mau… mau, bu, mau..” kataku gelagapaan melihat ibu itu mulai menangis,

“Iya.., iya bu.., kan ku dokan, ibu minta didoakan supaya apa?” tanyaku cepat-cepat supaya dia tak keburu menangis,

“Ya ibu minta didoakan supaya mati khusnul kotimah.” katanya sambil mengusap air matanya dengan selendang, untuk menggendong jualan.

“Baik ibu yang mengamini ya…, biar aku yang berdoa,” kataku, kemudian mulai berdoa, aku tak perduli setiap orang yang lewat menatap aneh padaku, memang sejak pertama, aku tak pernah perduli dengan orang lain, selesai berdoa, ibu itu menggenggam tanganku, dan mengucapkan terimakasih, aku juga mengucapkan terimakasih, dan pamit untuk melanjutkan perjalanan, kemudian meneruskan mengayunkan kaki tanpa arah dan tujuan pasti, karena memang aku tak mau disibukkan oleh arah, tak mau dirisaukan oleh tujuan, aku hanya ingin mengenal gerak gerik Alloh dalam membimbingku, menuju pencarian tanpa berkesudahan, melatih cinta dan tak menduakannya, melatih tawakaal, dan meresapi sunyinya bercumbu dengan kesunyian denganNya sendiri, walau dalam keramaian, tenggelam dalam samudra kepasrahan, tanpa ingin ditolong oleh siapa saja, kecuali oleh rengkuhan kasihNya, tanpa embel-embel balas budi.

Melangkah, melangkah, dan melangkah, Surabaya begitu luas, aku kadang menyeberang, kadang berhenti di tepi jalan, tak terasa sandal jepit yang selama ini menemaniku telah tembus, sehingga telapak kakiku berdarah, karena sering tergores aspal panas jalan, juga mungkin tersandung batu, sehingga tak ku pikir dan pehatikan, itu ku ketahui, ketika sandalku telah putus, sehingga ku buang, aku kaget, oh Alloh maafkan aku, kalau hatiku sekejap melupakanMu karena tersita oleh rasa sakit di kakiku, setelah sandal ku buang aku pun berjalan lagi, tak ku perdulikan sudah lecet di kaki.

DI GEBUKI PENJAGA MASJID

Aku sampai di Tunjungan Plaza, di tahun 1994 Plaza Tunjungan mungkin yang terkenal di Surabaya, setidaknya itu menurut pandanganku, aku duduk aja di sekitar plaza, kalau malam kadang nongkrong dengan para pelukis jalanan, yang menggelar lukisan di sekitar plaza, kalau hari telah larut malam, aku pun tidur di emperan toko, menggeletak aja tanpa perduli apa-apa, untuk makan aku kadang mengorek tempat sampah, ada saja yang ku temukan, entah nasi bungkus, entah roti berjamur, sekedar untuk mengganjal perut, lalu kalau untuk sholat aku cari musholla atau masjid di sekitar, itu sampai beberapa hari, sampai suatu siang aku jalan, tanpa satu tujuan, dan sampai di jembatan merah, plazanya baru dibikin, lalu ada truk berhenti, aku pun naik, dalam pikirku, tak tau aku akan di bawa ke mana, yang penting truk ini berhenti, maka aku turun, lalu aku tiduran dalam truk, sampai terbangun dan truk pun sudah berhenti, aku turun, masih dengan kaki terlanjang, hari telah beranjak malam, aku berjalan, setelah melihat tulisan yang terpampang di depan toko, maka aku pun tau kalau aku ada di daerah Sidoharjo, aku pun berjalan, sampai kakiku menendang sesuatu, karena gelap aku teliti, ternyata sebuah sandal, sandal carvil, lumayan bagus untuk menjadi ganjalan kakiku yang telah lecet.

Aku cepat-cepat mencari pasangan sandal, karena yang ku temukan tinggal satu, ku cari kesana ke mari, karena gelap lumayan susah juga, walau akhirnya ku temukan, dan ternyata sudah putus jepitannya, lalu aku pun punya inisiatif untuk menusuk bawah jepitan dengan paku, setelah mencari paku dan menusuk belakang jepitan dengan palu dari batu, sandal pun bisa dipakai, kelihatannya lumayan masih baru, mungkin dibuang orangnya karena putus talinya saja, lumayanlah, sehingga luka di kakiku yang lecet tak sakit lagi karena terkena kerikil, ku lanjutkan perjalanan, sampai juga aku di depan plaza, Sidoharjo, aku duduk, sebenarnya mau sholat tapi tak tau di mana ada masjid, aku nggelosor aja di depan plaza, yang sudah tutup karena sudah malam sekali, tanpa sadar, karena teramat lelahnya aku pun tertidur, sampai terdengar suara adzan subuh, dan aku teramat heran, karena adzan subuh terdengar dekat sekali, lalu aku menuju arah suara adzan, dan masjid ternyata cuma di belakang plaza saja, aku pun segera masuk masjid, dan mengkodho sholat yang ku tinggal, dan mengikuti jamaah subuh, selesai sholat aku pun keluar masjid dan nongkrong aja di pinggir jalan, sambil wirid dan melihat orang yang lalu lalang, kelaparan perutku aku isi dengan air yang tadi ku bawa dari masjid, dan itu setidaknya sudah menipu nafsu makan cacing yang ada dalam perutku, dan tidak berontak lagi.

Hari jum’at, ah sampai tidak berpikir kalau ini hari jum’at, orang berbondong-bondong ke masjid, aku pun melangkah dengan pelan ke masjid, pertama yang ku lakukan adalah mengisi perut dengan air sebanyak-banyaknya, lalu wudhu dan masuk masjid, melakukan sholat tahiyatul majid, lalu duduk di pojok, aku tak mau mengganggu orang lain, yah pakaian yang kumal, gelandangan sholat di masjid, tentu banyak orang yang memandang dengan pandangan mengucilkan, dan sedikit ada unsur hina, di setiap percikan mata mereka, bahkan di hati mereka, tapi aku mencoba tenggelam dalam dzikir, setelah sholat jum’at, dan melakukan dzikir sebentar, lalu aku keluar masjid, memakai sandal dan melangkah pergi, tapi tiba-tiba, sebuah tangan menarik baju belakangku, dan aku di seret begitu saja,

“Pencuri sandal…!” bentak orang yang menyeretku, ke kantor pengurus masjid, ku lihat orang itu tinggi dan berkumis tebal garang, dia menyeretku, terus ke dalam kantor, dan di dalam ada beberapa orang, aku segera dibanting ke lantai, terduduk,

“Kau maling sandal hina…!” bentaknya lagi.

“Ah…, sampean salah…” kataku, tenang.

“Salah bagaimana, sudah jelas-jelas mencuri sandal.” bentaknya.

“Ayo ngaku…!” aku diam saja. Dan tiba-tiba orang itu menarik sabuk yang dipakai, dan wuuut sabuk dihantamkan ke punggungku. aku hanya memejamkan mata, ketika sabuk itu mengenai punggungku, dan tanpa mengeluh, karena entah kenapa aku tak merasakan sakit, tapi itu malah membuat orang yang menyeretku itu makin beringas mencambukiku.