Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN PART 5c


“Assalamu alaikum,” ku dengar suara salam di sampingku, aku segera menjawab salam dan menengok ternyata orang tua yang tadi menjadi imam mushola.

“Mari nak main ke rumah bapak…” suara orang itu halus sekali. Sambil menjabat tanganku. Aku tak bisa menolak, tanpa kata mengikutinya dari belakang. Seperti kerbau dicocok hidungnya, setelah melewati sekitar lima rumah kami pun sampai di rumah lelaki tua itu, ku taksir umurnya sekitar enampuluhan wajahnya bersih, tenang, tak ada kumis dan jenggot, gurat di wajahnya tak menunjukkan ketuaan karena tertutup kegemukan, tubuhnya gemuk tapi gemuknya sedang tak berlebihan. Rupanya orang tua ini, adalah pengasuh pondok pesantren. Itu ku ketahui, setelah menyaksikan betapa banyak bangunan kamar-kamar santri berderet-deret, dan beberapa santri sedang beraktifitas. Setelah masuk rumah akupun segera disuruh duduk di kursi, sementara orang tua itu masuk ke dalam rumah, kemudian duduk berhadapan denganku.

“Kalau boleh tau anak ini dari mana?”

“Dari Tuban Jawa Timur pak.” jawabku singkat.

“Kok saya tak pernah melihat anak ini, tinggalnya di mana ya?”

“Saya bekerja di rumah makan itu pak, lagi membuat lukisan.”

“Oo, begitu rupanya, oh ya kok kita belum kenalan, nama saya Mashuri, orang sering memanggil Kyai Mashuri.” lelaki itu mengulurkan tangannya, dan segera saya jabat, “Febrian.” jawabku singkat, karena mataku ngantuk sekali.

“Anak Ian ini dari pesantren ya?”

“Benar pak, saya dari pesantren Pacung.”

“Wah pantes muridnya Kyai Lentik, pantas saya lihat beda.”

“Oh Bapak juga kenal dengan Kyai saya?”

“Ah siapa di Banten ini yang tak kenal dengan guru nak mas?”

Pembicaraan kami terhenti, dari pintu muncul dua gadis membawa dua baki makanan dan minuman, kemudian ditaruh di atas meja, ketika dua gadis itu mau kembali ke dalam, Kyai Mashuri segera mencegahnya dan menyuruh duduk di kursi, malah gadis yang satunya diminta memanggil gadis yang satunya lagi, sehingga di depanku kini ada tiga gadis cantik. Aku yang tak mengerti akan maksud Kyai Mashuri, duduk cuek-cuek aja.

“Mari nak Ian, sambil dicicipi makanannya…”

“Makasih pak, saya lagi libur.”

“Ah udah saya duga memang murid Kyai Lentik orang gemblengan.” kata Kyai Mashuri memuji.

“Ini lho nak Ian anak-anak saya, sebenarnya ada lima orang tapi yang dua lelaki, yang ini.” telunjuk Kyai Mashuri menuding ke gadis cantik yang ada di sampingnya.

Gadis cantik berkulit seputih susu, ku taksir umurnya sembilan belasan tahun, wajahnya imut-imut terlihat lesung pipi ketika tersenyum, bibirnya mungil, hidungnya mancung kecil matanya agak sipit seperti mata orang Cina, alisnya kecil melengkung, wah kalau dibedaki dikasih pemerah bibir mungkin akan seperti boneka.

“Namanya Juwita, dia baru kelas tiga SMA, dia anakku yang paling bungsu. Lalu yang sebelahnya,”

Kyai Mashuri menuding gadis di sebelah Juwita, gadis ini bertulang besar, namun tubuhnya langsing wajahnya tipe keibuan, dan manis sekali dengan kulit agak sawo matang, bibir tipis dan ada tumbuh kumis halus di bawah hidungnya yang mungil matanya memandang sayu, alisnya tebal melengkung indah.

“Dia bernama Anisa, dia kuliah tingkat pertama, dan yang itu anak perempuan saya paling tua.” Kyai mashuri menuding gadis yang tadi terakhir keluar.

Nampak gadis yang mungkin telah berusia matang, wajahnya sederhana penuh kedewasaan mungkin umurnya lebih tua dariku, postur tubuhnya tinggi semampai, dengan wajah bulat telor, bibirnya merekah, merah walau tanpa lipstik, janggutnya lancip dengan hidung yang tak terlalu mancung, tapi menambah pas akan kecantikannya.

“Dia namanya Aliya, nah nak Ian sudah tau akan anak-anak saya, menurut orang Banten kuno, orang Jawa itu rajanya, dan orang Banten itu ratunya, maksudnya alangkah baiknya kalau orang Jawa jadi suaminya dan orang Banten jadi istrinya, makanya saya memperkenalkan anak saya, maksud saya ingin menjodohkan anak saya dengan nak Ian.”

Saya yang siat-siut ngantuk karena semalam dikerjai jin wanita, kontan kaget salah tingkah, serba salah, tak karuan, pokoknya tak mengerti, harus apa dan bagaimana. Bahkan seluruh tubuh yang tadinya gatel, sekarang semua gatel, rambutku rasanya awut-awutan, pokoknya rasanya semua tak pas, sebenarnya kalau dipikir aku ini termasuk orang yang beruntung, bahkan mungkin terlalu beruntungnya jadinya malah kelihatannya sial, bayangkan saja kalau di depan dijejer bidadari-bidadari, kemudian ditawarkan lagi untuk memilih, bisa melihat bebas aja sambil ngiler clegak-cleguk aja sebenarnya sudah untung apalagi malah disuruh milih salah satu, ijenku belum sampai situ.

“Nak Ian bisa memilih salah satu dari ketiga putri saya ini, tak usah buru-buru, dipertimbangkan masak-masak, diistiharohi, saya ini kalau melepaskan anak menjadi istri murid dari Kyai Lentik, sudah yakin dan tak ada keraguan, lagian menurut saya ilmu yang nak Ian terima akan sangat bermanfaat di pesantren saya ini.” kata Kyai Mashuri panjang lebar, sebenarnya kata sederhana andai aku bukan pemainnya, tapi karena kata itu ditujukan padaku, maka seperti serangan petinju kepada lawan mainnya.

“Ah ,..kuk ..ut..ut” ah kenapa mulut jadi kayak habis disuntik obat mati rasa kayak gini. Kelu, tenggorokan kering, keringet membanjir lagi, ah kenapa juga perut jadi mules.

Melihat kegugupanku, Kyai Mashuri segera bicara, “Tak usah memberi jawaban sekarang, jadi dipertimbangkan masak-masak dulu.” wah seperti terkena udara ruangan yang berAC dan baru dari terik yang menyengat, keringatku pun perlahan mulai kering, kami pun membicarakan hal yang lain.

Setelah kurasa cukup, aku memutuskan untuk mohon diri dengan alasan takut dicari-cari oleh pak Kosasih, setelah keluar dari rumah Kyai Mashuri terasa plong.