Keluarga Tak Kasat Mata PART 12

Linier Antar Masa


Ane masih inget bener waktu ane menceritakan cerita ini dari awal hingga akhir, flow teror mental yang ane alamin sangat-sangat membuat ane gila. Kehidupan, pekerjaan, bahkan jam tidur mendadak menjadi berantakan - dan puncaknya ane mendapat gangguan yang sempat membuat ane trauma (seperti yang udah ane ceritakan di part 9). Sempat berfikir untuk mengakhiri kisah ini dengan sejuta pertanyaan di benak ane yang belum bisa ane pecahin sendiri. Pertanyaan tentang sejarah adalah bagian yang tidak pernah mau ane tau lebih dalem, buat apa ngerti kaya gitu juga. Ane juga ga bakalan kepo-kepo banget, toh ane udah hidup di jaman modern sekarang ... buat apa juga kan ngungkit-ngungkit kejadian yang ane sendiri tidak pernah tau kebenarannya?

Tapi semakin ane ga mau bercerita, pikiran ane malah semakin kacau menjadi-jadi. Ane sempet nangis waktu itu, karena pikiran ane selalu dipaksa untuk masuk ke sebuah kejadian dimana ane bisa melihat dengan sangat jelas apa saja yang pernah terjadi di tempat itu.

“Baik.. Kalo memang maksud dari semua ini baik, kenapa tidak? Saya tidak keberatan, tapi tolong bantu saya agar saya bisa menerima ini semua dalam tahapan wajar saya sebagai manusia biasa” entah ane ngomong sama siapa waktu itu, tapi yang jelas ane ngomong gitu sendiri – Ente beranggapan ane gila it’s okay, karena memang ini semua ane ga pernah minta dan semua sudah diluar nalar.

Dan tidak lama setelah ane menjadi gila karena sering ngomong sendiri. Ane sempet curhat tentang masalah ini ke Mba Indigo, dan dia membenarkan semua pengakuan “hal-hal diluar nalar” yang terjadi baru-baru ini.

Beliau bertutur kepada ane, “Ya kemarin mba juga di datengin sama mereka. Mereka Cuma mau kenalan aja kok. Sudah intinya memang sudah digariskan. Kamu jalani saja semampu kamu, ikuti kata hati kamu. Pesen mba, jangan pernah ceritakan tentang beberapa sosok yang memang sensitif. Nanti kamu diikutin lagi malah repot.”

Seketika mendengar perkataan Mba Indigo, antara takut & percaya diri bercampur menjadi satu. Karena waktu itu ane Cuma percaya sama perkataan beliau perihal gaib, selaku beliau memang diberikan bakat istimewa untuk melihat & berinteraksi dengan mereka. Dan ane putuskan untuk maju terus, karena dalam hati ane sangat yakin semua ini pasti akan ada hikmah & amanahnya untuk kita semua.

...
Entah dengan dorongan apa ketika ane merasa stuck dengan pembahasan sejarah, ane dipertemukan dengan kedua orang yang jauh-jauh hari sudah melakukan investigasi terhadap cerita ini, Om Hao & Mbah Kaje. Kedua orang yang tanpa sengaja juga didorong untuk menceritakan alkisah masa lampau dari bangunan tersebut (tanya orangnya sendiri kalo penasaran hehe). Tentunya semua sudah diatur oleh kedua sosok yang memang ingin pesan ini untuk segera disampaikan, Langgeng & Bu Suminah (yang dimana setting & inti pertemuan kami sudah diceritakan di part 11). 

Om Hao & Mbah Kaje sudah berkata kepada saya, sebenarnya ane gabakalan menemui banyak kesulitan untuk menyelesaikan sisa cerita karena entah bagaimana tingkat sensitivitas akan hal berbau gaib ane waktu itu jadi sedikit agak peka. Karena dari awal sudah ada satu sosok yang selalu menemani ane selama menulis cerita. Tapi ane juga gamau takabur sebagai manusia biasa yang tidak begitu percaya akan hal-hal seperti itu, dan lagi ane pun masih takut dengan paksaan pemikiran yang selalu dipaksa masuk kesana. Alhasil ane selalu butuh bantuan dari 13-13 yang lain, terutama Om Hao. Bagaimanapun juga ia adalah media penyelaras pesan antar 2 dunia yang mana nantinya pesan akan tersampaikan & tidak ada kesalahpahaman. Sementara itu juga ane butuh bantuan Mbah Kaje untuk selalu mengontrol kejadian-kejadian (di area Jogja terutama) yang terjadi setelah cerita ini santer beredar. 

Dan untuk itulah 3 orang ini ditunjuk. 3 orang dengan tanggal lahir yang kebetulan bisa sama, tanggal 13 

... 
berkumpul menjadi satu untuk pesan amanah didalam sebuah cerita. Dengan pembagian tugas masing-masing yang mungkin sudah ane ceritain di part sebelumnya. Kami memutuskan untuk segera menyelesaikan titipan pesan tersebut hari ini juga. Ini adalah pesan yang ingin disampaikan oleh mereka, dengan bantuan dari kami 13-13-13.

...
Sekali lagi ane harus terjebak di dalam memori masa lalu, akankah berakhir kelam atau menyenangkan bagi ane nantinya nanti. Sejuta penasaran akan siapa orang-orang baru yang bakal bertemu dan berinteraksi langsung dengan ane, akankah mereka semua membantu dalam penyingkapan tabir ini?

Sebuah pertanyaan besar yang membekas waktu pertama kali ane masuk kedalam penggambaran suasana waktu itu. Banyak pertanyaan timbul yang memaksa ane untuk mau tidak mau kembali menelusuri jejak sejarah. Setiap kali menjelang tengah malam, ane selalu merasakan lemas seperti semua beban ada di pundak ane, kaki juga mulai panas dengan sendirinya. Disitulah ane tau kalo sosok Ibu Suminah akan membawa pikiran saya ke kejadian itu lagi. Jadi ijinkan ane sekarang untuk menulis apa yang ane lihat waktu itu, dan apa yang Ibu Suminah ingin sampaikan selanjutnya.

... 
Masih terduduk di ruang tamu keluarga Ibu Suminah, dengan sedikit tatapan kasihan kepada anak-anak Ibu Suminah yang sedang berbagi makanan. Perasaan haru ane sepertinya langsung bisa dibaca oleh Ibu Suminah. Kemudian beliau bercerita kepada ane bahwa dulunya kondisi keluarganya tidak seperti ini. Mereka sebenarnya adalah keluarga yang berkecukupan awalnya, tetapi yang namanya roda kehidupan pasti ada suatu posisi dimana kehidupan ada dibawah. Yang membuat keluarga Ibu Suminah jatuh bangkrut, sehingga mereka terpaksa meminjam ke orang-orang untuk menyambung hidup mereka. Kondisi seperti ini lah yang membuat Bapak berdiam diri di kamarnya, mungkin karena tidak kuat menanggung malu dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang gagal menghidupi keluarga. Berikutnya percakapan yang terjadi saya menggunakan bahasa Indonesia saja, daripada gagal paham memakai bahasa Jawa.

“Dik, kamu tetap disini dulu saja ya.. Besok saya dengan Bapak mau pergi, mungkin agak lama.” Tutur Ibu Suminah kepada saya. 
“Saya ditinggal sendiri disini apa tidak apa-apa bu? Saya kan disini Cuma ngikut sama Ibu, nanti kalau ada apa-apa bagaimana bu?” tanya ane sedikit khawatir karena sekali lagi ane bisa masuk ke pemikiran ane sekarang ini semua karena ijin Ibu Suminah. 
“Tidak apa-apa dik, tenang saja. Nanti adik & anak-anak saya titipkan ke Mbok Rah. Tidak usah khawatir beliau akan menjaga adik selama saya & Bapak pergi” jawab Ibu Suminah kepada saya. 
“Apa saya tidak bisa pulang saja bu? Saya takut” saut ane dengan perasaan yang serba gemetaran.

“Tidak perlu takut dik, nanti kalau kamu pulang sekarang kamu tidak akan tahu apa yang terjadi disini. Ceritamu tidak akan selesai, sudah disini dulu sebentar lagi. Saya jamin adik akan aman bersama Mbok Rah. Beliau juga bisa melihat adik, jadi insyaallah akan ada sedikit cerita dari beliau.” jawab Ibu Suminah meyakinkan ane.

Ok fine lah kalau begitu, toh ane disini juga untuk menuntaskan apa yang sudah ane mulai. Jadi mau tidak mau, takut tidak takut, ane harus stay lebih lama di memori ini. Sampai pada akhirnya Ibu Suminah dan Bapak berpamitan pergi kepada kami semuanya untuk berpergian ke pulau seberang. Tentunya sebelum pergi beliau memperkenalkan saya kepada Mbok Rah. Kesan pertama ane bertemu dengan Mbok Rah, beliau adalah sosok wanita lanjut usia yang sangat baik. Bisa dibilang “grapyak” (gampang bergaul) dengan saya bahkan ane pribadi kagum dengan kebijaksanaan beliau. Dengan kondisi keluarga Ibu Suminah yang seperti sekarang ini, ternyata masih ada orang yang berbaik hati mau membantu tanpa mengharap imbalan materi apapun.

Terlihat Ibu Suminah seperti membisikkan sesuatu kepada Mbok Rah sebelum mereka semua berpamitan pergi. Sesekali beliau menganggukkan kepala kepada ane seperti mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Lalu ane kembali masuk bersama anak-anak Ibu Suminah, kasian juga pikir ane waktu itu melihat keadaan yang apa adanya ... anak-anak kecil ini tidak tahu akan makan apa mereka hari ini, atau bahkan di kemudian hari. Terkadang ane juga sempat ada pikiran benci kepada Ibu Suminah & Bapak yang tega meninggalkan keluarganya di kondisi seperti itu. Tapi apadaya ane disini hanya untuk melihat bukan untuk menjudge dan mengambil tindakan sendiri.

“Dik, apa kamu sudah makan? Mbok mau masak sekalian buat anak-anak, jika adik mau bisa bantu saya masak di pawon (dapur tempo dulu dengan kitchen set tradisional)”. 
“Saya tidak begitu lapar bu, tapi tidak apa-apalah bu sekalian belajar memasak hehe” jawab ane ke Mbok Rah, setidaknya di kondisi ini ane bisa sedikit membantu.

Jadilah ane & Mbok Rah memulai memasak untuk anak-anak Ibu Suminah. Memang bukan menu makanan yang cukup, tapi seenggaknya perut mereka terisi untuk hari ini – beban pikiran berkurang. Sambil sesekali Mbok Rah menyuruh ane buat nyicipin makanan tadi, sebenarnya ane ga terlalu suka makanan berbahan ubi tapi untuk melegakan perasaan Mbok Rah ane coba makanan tadi. Dan ternyata rasanya tidak seburuk yang ane kira.

“Wah Mbok Rah pintar memasak juga ya, makanan buatan Mbok Rah enak pasti anak-anak akan langsung makan sampai habis. Ayo lah Mbok kita bawa ke anak-anak sekarang” tutur ane kepada Mbok Rah. 
Dan Mbok Rah pun langsung berkemas dengan segala peralatan memasaknya dan bergabung dengan ane, berkumpul dengan anak-anak untuk menyantap hidangan yang sudah dipersiapkan oleh Mbok Rah. Anak-anak sangat senang sekali menyantap hidangan tersebut dengan lahap, ane dengan Mbok Rah hanya tersenyum dengan penuh haru.

“Dik, maaf ya waktu itu saya tidak ada maksud untuk menakuti adik dan teman-teman” tutur Mbok Rah sambil masih menatap anak-anak. 
“Menakut-nakuti bagaimana ya Mbok? Dan kapan? Kok ada teman-teman saya juga?” tanya ane heran.

“Dulu saya pernah beberapa kali datang ke tempat adik. Sudah menjadi kebiasaan saya setelah saya sholat saya biasanya memang sering membantu memasak untuk keluarga ini. Tidak sengaja saya menampakkan diri saya waktu itu, tapi saya tidak ada maksud menakuti. Saya hanya ingin memperingatkan saja, tapi mungkin karena sesuatu yang disebelah ruangan adik waktu itu sangat mengerikan ... Saya mencoba untuk mengucapkan Astaghfirullah & berharap sosok tersebut segera hilang dan tidak mengganggu kalian.” Tutur Mbok Rah kepada saya. 
Ane Cuma melongo mendengar penjelasan Mbok Rah, jadi secara tidak langsung sekarang ini ane sedang ngobrol sama sosok “Religious Grandma”. BISA SAMPAI SEGITUNYA! KENAPA SEMUA BISA NYAMBUNG SEPERTI INI? Ane semakin buyar setelah mengetahui banyak kejadian yang pernah terjadi beberapa tahun lalu & tersimpulkan menjadi sebuah jawaban beberapa hari yang lalu. Tapi satu yang selalu ane pegang teguh dari awal bahwa semua penghuni disana tidaklah jahat, bahkan ada yang rela membantu & menyampaikan pesan kepada saya – seperti Mbok Rah & Ibu Suminah yang telah berada di samping kita semua semenjak cerita ini beredar. Apakah pembaca ada yang merasakan kehadiran mereka selain ane?

“Ini baru saya saja ya Dik, dan masih banyak lagi mungkin yang akan membuat pengakuan serupa di memori ini. Jangan kaget, kita semua disini tidak akan mencelakai adik. Toh niat adik hanya menceritakan lagi kejadian ini, kami semua sudah sepakat akan hal ini.”

...
Beberapa hari setelah ditinggal pergi oleh Ibu Suminah & Bapak, saya hanya menjalani hari-hari bersama Mbok Rah & anak-anak. Ibarat kata saya sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh mereka. Tidak seperti sebelumnya, entah kenapa semenjak Ibu & Bapak pergi selalu saja ada orang yang ikut membantu sekedar memberikan bantuan sembako, dll. Intinya semuanya datang dengan sangat mudah, ya tentu saja kami semua disitu senang & bersyukur dibantu oleh banyak orang baik.

Tidak lama setelah itu Ibu Suminah & Bapak kembali, sungguh berbeda pandangan yang diberikan Bapak saat itu. Aura senang & ceria memancar dari wajahnya, tapi tatapan serupa tidak tampak dari raut muka Ibu Suminah. Jujur ane ga peduli sama Bapak karena dari awal yang ngeruwat ane di alam ini adalah Ibu Suminah. Sempat saya dekati Ibu Suminah waktu itu dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Bu Suminah hanya menggelengkan kepala sambil sedikit meneteskan air matanya.

‘Ibu kenapa bu? Pulang-pulang kok malah sedih? Apa Ibu ga kangen sama anak-anak & Mbok Rah?" tanya ane penasaran. 
Masih tidak mau menjawab, Ibu Suminah memanggil anak-anaknya dan mengelus kepala mereka satu persatu. Sekali dia menatap Mbok Rah, dan menggelengkan kepalanya. Dan seketika Mbok Rah langsung berpamitan pergi – Apa yang sebenarnya terjadi?

... 
Ya mungkin beberapa pembaca sudah mendengar desas-desus tentang sosok beliau. Bahkan sempat terjadi perdebatan antara ane, Om Hao, dengan Mbah Kaje tentang beliau. Mbah Kaje beranggapan kalo sosok Langgeng itu jahat, ane sendiri beranggapan kalo sosok Langgeng itu sebenarnya baik, sedangkan Om Hao memilih untuk netral. Om Hao berasumsi bahwa Langgeng itu ibarat pisau, baik atau buruk itu tergantung kita yang menggunakan. Itu adalah inti perdebatan 13-13-13 saat kita semua berjumpa di Jogjakarta beberapa hari yang lalu.
Banyak cerita terucap di saat pertemuan rahasia antara 13-13-13 dengan Langgeng. Langgeng banyak bercerita tentang kehidupannya ribuan tahun yang lalu. Dimana dia memperoleh kesaktian melalui jalan mokhsa, dan kemudian diambil alih oleh seseorang yang mungkin lebih tinggi ilmunya sehingga beliau tersesat di jalan yang salah & berujung seperti sekarang ini. Dengan segala kesaktiannya, Langgeng bisa mentransformasikan intan & permata dari dunia gaib ke dunia nyata. Oleh sebab itulah banyak manusia yang takabur & memanfaatkan kesaktian beliau untuk tujuan serakah yang membutakan akan segala resiko dibalik perjanjian tersebut.

Langgeng pun juga bercerita, ia telah hidup ribuan tahun lamanya dan banyak manusia yang menyalahgunakan kekuatannya. Langgeng mempunyai banyak nama, dan beragam wujud karena apapun yang telah “dinikmatinya” akan berimbas kepada wujud fisik dirinya. 13-13-13 sepakat untuk tidak bercerita lebih jauh tentang sosok Langgeng diluar konteks cerita ini. Karena pembahasan tersebut akan lebih condong kedalam Mitologi Tanah Jawa yang dimana sudah sangat OOT dari inti cerita ini. 

Lalu Apakah Langgeng nyaman dengan kondisi tersebut? Tentunya tidak, bahkan ia mengaku dengan sangat terpaksa menikmati perjanjian antara manusia dengan dirinya. Terkadang ia menangis sendiri saat menikmati hasil dari perjanjian tersebut. Sama halnya saat nama Langgeng diberikan kepadanya waktu menjadi pelayan untuk Keluarga Ibu Suminah.

... 
Kehidupan keluarga Ibu Suminah mendadak bisa berubah drastis seketika kepulangan dari perantauan mereka. Mereka bahkan tidak membawa sesuatu yang berarti saat kepulangan mereka, hanya sebuah cermin yang tidak begitu besar yang dibawa Bapak & kemudian dipasangkan di sebuah ruangan. Dan kerjaan Bapak hanya bolak-balik ke ruangan tersebut, sumpah gelagat Bapak jadi aneh banget waktu itu.

Ibu Suminah hanya tertunduk sedih seperti orang yang sedang tertekan, dengan langkah mantap ane beraniin diri buat mendekat ke beliau dan bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi bu? Mohon maaf, biarpun sebelumnya kondisi memang sulit tapi saya baru sekali ini melihat Ibu duduk termenung seperti memikirkan sesuatu yang sangat berat.” 
  
“Tidak apa-apa dik, adik tidak perlu khawatir. Yang akan menanggung semua perlakuan Bapak hanya saya dengan anak-anak saja” jawab Ibu Suminah dengan kepala yang masih tertunduk lesu. 
Tapi benar saja kondisi keluarga ini berubah dengan sangat drastis, terutama dari segi finansial. Kemudian mereka membangun rumah baru yang bisa dibilang sangat mewah waktu itu dengan satu ruangan khusus hanya untuk sebuah cermin! Struktur organisasi keluarga ini pun berubah, Mbok Rah yang sebelumnya sering membantu serabutan kini hanya khusus menjaga anak-anak saja. Dan mereka juga memperkerjakan sanak keluarga sendiri, Mbah Juminah sebagai juru masak, dan Mbah Pawiro sebagai juru kebun (yang mana mereka pernah menampakkan diri di cerita Nadine & Rico – part 10). Tidak cukup dengan itu, bahkan mereka seperti memberikan sebuah sindiran kepada tetangga yang pernah memaki keluarga mereka dengan memberikan pinjaman tanpa harus dikembalikan. Berubah drastis sekali bukan? 
  
Tapi dengan keadaan seperti ini sekarang sepertinya hanya Bapak yang menikmati perubahan yang terjadi. Anak-anak juga menikmatinya karena mereka sudah tidak perlu menahan lapar dan hidup serba kekurangan di masa kecilnya, tapi mereka tidak tahu apa-apa dengan apa konsekuensi dibalik semua ini. Hanya Ibu Suminah yang selalu bersedih sambil sesekali ditemani oleh Mbok Rah. Jujur ane ga tahan liat kondisi Ibu Suminah waktu itu, dan ane memutuskan untuk ngepo ruangan baru yang hanya berisikan cermin. Ane berani-berani aja toh Bapak ga bisa liat ane, dan apapun yang terjadi di memori itu tidak akan berdampak kepada ane. 
  
Ane buka pelan-pelan itu pintu, dan dengan sangat jelas ane lihat sosok Langgeng sedang duduk bertapa sambil menangis. Terkadang wujud aslinya memaksa untuk berubah, sambil menangis beliau mencoba untuk tetap bertahan di wujud aslinya. Dengan tatapan tajamnya ia memandang ane dan mengisyaratkan untuk segera pergi & cukup melihat saja apa yang akan terjadi setelah ini.