Keluarga Tak Kasat Mata PART 11

Tiga Belah Sejarah


13/13/13

Jujur aja selama ane bekerja di mantan perusahaan ane dulu, tidak sedikitpun ane atau temen-temen mencoba untuk mencari tahu tentang asal-usul bangunan tersebut. Bukan karena menutup mata & telinga, tapi semua kenyataan disana mungkin terlalu kelam bagi kami manusia biasa yang hanya bisa menebak tanpa sebuah titik pasti. Begitu juga awal ane nulis cerita ini, sedikitpun ane masih gatau banyak tentang sejarah bangunan itu.


...

Sekali lagi melalui sebuah keajaiban, ane diperbolehkan kembali melintasi ruang & waktu. Menuju ke banyak experience metafisika yang kemudian membukakan mata ane akan sisa cerita – Ya.. Entah bagaimana semua ini bisa terjadi, waktu itu ane bisa bertemu dengan seseorang pria berbadan tinggi, besar, dan tegap. Dengan rambut panjang hampir sepinggang. Satu sosok yang bisa ane bilang sangar, sesangar-sangarnya manusia deh pokoknya.

Dari kejauhan raut mukanya terlihat bahwa pria ini adalah orang yang ramah. Tetapi terkadang dia memberikan pandangan mata tajam ke ane waktu ane diem-diem perhatiin dia, (mungkin karena baru pertama kali ketemu ya) yang akan membuat ciut nyali seseorang seketika. Tambahan.. dibawah mata pria ini ada semacam codet hitam ala tentara gitu, jadi agak merinding disco juga waktu itu. Satu hal yang menurut ane agak janggal, karena di pertemuan ini ane bertemu dengan orang yang berpakaian adat seperti salah satu suku di Kalimantan. Sedangkan ane berpakaian normal apa adanya seperti orang jaman sekarang.

 
Clingak-clinguk ane bingung mau ngapain, ga mungkin juga ane yang salah kostum. Akhirnya ane beraniin diri buat datengin pria tadi sekedar buat tanya-tanya atau nyapa aja. Dan untungnya waktu itu bukan cuma ane aja manusia yang bisa dianggap “normal” di tempat itu. Dari arah lain, ane lihat ada dua orang manusia.. yang berpakaian normal tentunya.. datang menghampiri sosok pria tadi berbarengan dengan saya. Dan ya.. hari itu adalah hari pertama saya bertemu dengan satu sosok yang kemudian kita kenal baik beliau dengan nama Langgeng. Disamping itu, ada juga Om Hao & Mbah KJ (2 orang tadi) yang juga mendapati kesempatan untuk bertemu langsung dengan Langgeng.

 
Empat pria dengan latar belakang yang tidak pernah diketahui satu sama lain seperti sudah ditakdirkan untuk berkumpul menjadi satu. Intinya kami cuma sekedar ngobrol aja disitu. Dan setelah obrolan yang bisa dibilang sangat panjang untuk mengenal satu sama lain, kami semua menemukan satu kesamaan yang menurut ane sendiri super ajaib - kami semua lahir di tanggal yang sama, tanggal 13 hanya saja terpaut di tahun yang berbeda.

Entah ada apa dengan semua ini, tapi sekilas Langgeng berkata kepada kami semua, “Kalian ada disini, karena kalian adalah 13-13-13 sudah digariskan seperti ini. Dan saya akan membimbing kalian semua dalam perjalanan menyelesaikan cerita ini”

Tidak banyak percakapan yang sulit untuk kami artikan saat itu. Apa maksud & tujuan dari perkataan Langgeng, langsung dapat kami artikan secara cepat.


..
... 
Perkenalkan nama saya Ibu Suminah, waktu membaca pesan ini saya yakin akan banyak sosok-sosok yang muncul dari sana di sekitar kalian semua. Tapi saya akan selalu ada disamping kalian semua, abaikan jika ada gangguan karena itu sudah pasti saya mencoba melindungi kalian dari yang jahat. Atas persetujuan Langgeng, perkuatlah iman kalian & akan saya ajak kalian semua melintasi ruang & waktu untuk melihat apa yang pernah terjadi dengan diri saya,salah satu anggota Keluarga Tak Kasat Mata.


Sesosok wanita membangunkan ane dari ketidaksadaran ane setelah teriakan kencang si raja pohon besar tadi. Dan sekali lagi ane bingung, hampir di tempat yang sama.. hanya berbeda situasi kali ini, tempat yang tadinya sepi perlahan sudah ditumbuhi peradaban manusia. Saking bingungnya ane sampai ga terlalu merhatiin siapa yang bangunin ane tadi. Sesosok wanita dengan aksen jawa kental memberikan senyum kecil dan menolong ane untuk bangun dari posisi ane sekarang. (Mohon maaf kalo bahasa krama Jawa ane agak kacau) “Kula Suminah, monggo nderek kula dik.. kula ajak mlebet ndalem kula rumiyin. Kula kaliyan lare-lare saged mirsani panjenengan. Bapak mboten saged” (Saya Suminah, ayo ikut saya dik.. saya ajak masuk ke rumah saya dulu. Saya dan anak-anak saya bisa lihat kamu, Cuma bapak yang ga bisa) tutur Ibu Suminah ramah - dan sekali lagi ane sadar masih menjadi “tak kasat mata” di kehidupan ini.
Karena bahasa jawa krama alus ane ga bagus, ane jawab ke Ibu Suminah dengan bahasa campuran sekenanya, “Nggih bu.. menawi mboten merepotkan” (Baik bu.. kalo tidak merepotkan). 

Diajaknya ane ke rumah ibu Suminah, sekilas tidak terlalu besar memang.. bahkan bisa dibilang tidak layak huni. Tapi di halaman depannya ane bisa liat 4 anak kecil lagi main bareng mainan tradisional jawa disana. Sekali ane melintasi mereka, mereka tersenyum.. bersorak.. dan kemudian melanjutkan permainannya lagi 

“Niku lare-lare kula dik, menawi mboten sayah njenengan saged dolanan bareng hehe” (Itu anak-anak saya dik, semisal kamu ga capek kamu bisa main bareng mereka hehe).

“Mboten sah bu, kula kaliyan Bu Suminah mawon.. mangkih kula kesasar malah repot” (Tidak usah bu, saya sama Bu Suminah saja.. daripada saya kesasar nanti malah repot). Tau kan maksud “kesasar” disini? 

Ane dipersilahkan duduk oleh Bu Suminah di ruangan tengah. Ane pandang sekelilingnya, untuk keluarga dengan jumlah 6 orang memang sepertinya tempat ini ga begitu memadai, jauh dari tempat saya tinggal sekarang. Ga bisa ane jelasin terlalu detail, intinya baik kondisi rumah atau interiornya bisa dibilang memprihatinkan. Dari kejauhan ane liat sosok Bapak sedang merenung meratapi nasib dengan pandangan kosongnya. Biarpun Bu Suminah sudah bilang kalo Bapak tidak bisa melihat ane, ane tetep gamau kepo dan jaga pandangan ane dari beliau. 

“Panjenengan ting mriki rumiyin nggih dik, kula ajeng tindak rumiyin. Ditenggo mawon mboten sue” (Kamu disini sebentar ya dik, saya mau pergi sebentar. Ditunggu saja, ga bakalan lama). 

Duh.. yang bener aja bu. Sungguh teganya dirimu meninggalkan diriku disini sendiri. Sebenernya sih ane gapapa, Cuma terkadang takut aja berhubung kondisi ane yang lagi trans dimensi ini misal ada apa-apa yang bisa bantu kan Cuma Bu Suminah. Dan dengan sangat terpaksa ane ngejawab, “Nggih bu..” 

Bu Suminah kemudian pergi keluar rumah mengajak serta merta anaknya. Bukannya ga mau nurutin request Bu Suminah tadi, pikiran ane udah buruan parno duluan.. bakalan mantep nih kalo ditinggal sendirian disini. Kemudian dengan sedikit curian langkah kaki, ane ikutan ngeloyor dari rumah Bu Suminah – semacam Sweeper yang lagi ngikutin Dora sembunyi-sembunyi. Karena ane sendiri juga penasaran sebenernya dengan daerah sekeliling sini, secara udah trans dimensi masa ga jalan-jalan kan?

Tapi entah kenapa setiap kali ane melangkah, hati nurani ane selalu bilang kalo ini semua salah. Dari kejauhan ane lihat Bu Suminah dengan anak-anaknya datang dari satu rumah ke rumah yang lain. Dan selalu setiap rumah yang membuka selalu melontarkan makian kepada Bu Suminah dan anak-anaknya. Ada apa sebenarnya? Ane deketin lagi biar ane bisa nangkep semua inti dari kejadian itu. Dan yang ane denger waktu itu, rata-rata seperti Bu Suminah dan keluarga datang dari rumah ke rumah untuk meminjam uang demi memenuhi kebutuhan keluarga mereka sementara waktu. Tapi tidak ada satupun tetangga yang berbaik hati untuk meminjamkannya. Jujur ane ga tega ngeliatnya, benar-benar salah keputusan ane untuk ngikutin Bu Suminah dan ane memutuskan untuk lari balik ke rumah Bu Suminah sambil menunggu mereka semuanya pulang.

Sesampainya di rumah Bu Suminah, ane Cuma duduk terdiam. Sekilas sambil ngeliat si Bapak yang daritadi Cuma memberikan pandangan kosong, ane sudah bisa nebak apa yang jadi beban pikiran Bapak waktu itu. Pengen rasanya untuk sekedar menyapa Bapak & membantu, tapi apadaya? Ane bukanlah makhluk yang nyata waktu itu.

“Dingapunten nggih dik, kula tindakipun dados sui. Monggo dik, niki wonten unjukan kangge adik” (Maaf ya dik, saya peginya jadi lama. Silahkan dik, ini ada sedikit makanan buat adik) ujar Bu Suminah sambil menyodorkan makanan kecil ke ane. 

“Mboten sah Bu.. Kangge lare-lare mawon mboten nopo-nopo” (Tidak usah Bu.. Buat anak-anak ibu saja tidak apa-apa) saut ane meyakinkan. Dan seketika tampang lesu dari anak-anak berubah sumringah sambil berebut dan berbagi makanan tadi. Pemandangan yang benar-benar mengharukan di depan mata ane saat ini. 

‘Mboten sah nangis dik.. nggih ngenten niki keadaanipun, adik pinarak mawon ting griya kula sakderengipun kondur. Mangkih adik bakal ketemu kaliyan Langgeng & tiyang-tiyang anyar ting mriki. Menawi diijinkan, Bapak mangkih bakal pirsani njenengan” (Tidak usah menangis dik.. ya seperti ini keadaannya, adik tinggal saja di rumah saya sebelum pulang. Nanti adik bakal ketemu sama Langgeng & orang-orang baru disini. Semisal diijinkan, nanti Bapak bakal bisa melihat kamu juga” seketika ane usap mata ane, dan berpikir dalam hati ...

Sekali lagi ane harus terjebak di dalam memori masa lalu, akankah berakhir kelam atau menyenangkan bagi ane nantinya nanti. Sejuta penasaran akan siapa orang-orang baru yang bakal bertemu dan berinteraksi langsung dengan ane, akankah mereka semua membantu dalam penyingkapan tabir ini? Doakan saja ane selalu sehat selama menerima pesan kisah dari masa lalu ini.