Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN PART 4b


Aku tak tau apa yang terjadi denganku, hawa yang mengalir dari pusarku masih terus mengalir.

“Huahaha…., pendekar, jawara tai ayam, curot, murid pesantren Pacung tak ada isinya..,” suara orang bertopeng itu memecahkan sunyi yang menyelimuti pemakaman tua itu.

“Mati saja kalian.” setelah mengatakan itu tubuh orang itu berkelebat. Kaki dihantamkan lurus ke arahku, kaki satunya menekuk. Tapi di pandanganku serangan itu seperti filem dalam gerakan lambat.


Tiba-tiba kurasakan ada tenaga dari dalam tubuhku. Aku menyamping, kaki yang menderu ke arahku, ku cengkeram dan ku tarik sehingga lelaki itu terlempar mengikuti tendangannya. Dan tanganku menelusup menghantam lehernya dengan pergelanganku.

Hugh!!, tubuhku terseret oleh tubuhnya, kaki kiriku yang terangkat segera memalu belakang kepalanya sementara tanganku menarik lepas kain penutup kepalanya, dan bret..! Aku kaget bukan main.

“Hah carik Sanusi…!” orang yang menjadi maling para gadis itupun kaget, tutup wajahnya lepas.

Lebih kaget lagi dia tak menyangka akan seranganku. Cepat beruntun, telak, aku sendiri kaget, dan tak tau apa yang menimpaku sehingga mampu menyerang begitu jurus yang kupakai seperti jurus taici. Mujahidi juga terlongo-longo menyaksikan sepak terjangku.

“Setan alas. Bajulbuntung, tai kebo, jiampot, rupanya punya simpanan hah.” umpat carik Sanusi panjang pendek, lalu segera mencabut goloknya.

Aku pun segera mencabut golokku. Golokku ini dibilang golok biasa ya memang golok biasa, karena sering kupakai memotong kayu bakar. Soal kesaktiannya sudah tak terhitung berapa nyawa ayam termakan ketajamannya. Golok ini pemberian Kyai, karena memang aku tak punya uang untuk membeli golok, golok ini bergagang kayu sawo kecik, dibuat oleh orang Ciomas. Kampung pembuat golok paling punya nama di tlatah Banten.

Sebelum membuat golok besi ditancapkan di tanah pada waktu bulan purnama, dan baru diambil bulan purnama kemudian, sehingga besinya menjadi besi kuning tahan karat dan tua. Ilmu kekebalan yang bagaimanapun akan terluka tersentuh golok ini, karena diisi oleh Kyai. Tapi aku tak mau terbawa oleh cerita mistik tentang golok, makanya golok ini kubuat bekerja di dapur.

“Suing…!” terdengar desingan ketika Sanusi menyerangku dengan ilmu goloknya, aku tak mengerti ilmu golok, tapi yang jelas serangan Sanusi tak bisa dianggap remeh, goloknya menderu menjadi beberapa bagian, lagi-lagi kekuatan dalam tubuhku seperti menggerakkanku, aku mengikuti saja. Ketika tubuhku juga berkelebat yang jelas di seluruh tubuhku seperti ada sentakan-sentakan kecil seperti setrum listrik, yang membuat golokku berkelebatan kesana kemari. Sangat cepat dan tak terduga. Mengurung Sanusi dari segala arah, wut,wut, betbetbet. Begitu suara nya.

“Trang…!” Golokku berbenturan dengan golok Sanusi, tak terasa apa-apa, tapi golok Sanusi terlepas dan dia memegangi tangannya. Ada kekuatan yang menarikku mundur, badanku pun melayang seperti kapas, kemudian hinggap di tanah dengan perlahan melayang. Kulihat Sanusi terhuyung, ternyata hasil seranganku sungguh mengerikan, beberapa detik kemudian terlihat di sana sini tubuh Sanusi penuh luka sedalam setengah senti. Bahkan pakaiannya tercabik-cabik tak karuan, Sanusi melenguh lalu melemparkan sesuatu ke arahku, ku kira itu sebuah tulang kecil-kecil, dan “bulz” asap mengepul tipis.

Tiba-tiba saja telah muncul, empat pocong mengurungku, aku kaget dan ngeri melihat empat pocong yang wajahnya ada yang cuma tengkorak, ada yang biji matanya sudah hilang satu, biji mata yang satu keluar seperti mau jatuh. Sementara tempat hidung telah gerowong, juga rahang dan giginya hilang, aku pontang panting karena pocong itu tak mempan dibacok, golokku membal ketika mengenai kain pocong itu sehingga aku panik, dan hanya bisa menendang tuk menjauhkan pocong itu, tapi ketika pocong itu terjengkang maka tubuhnya seperti memantul, tegak lagi.

“Hai Mujahidi bantu aku.” aku berteriak panik karena sudah lelah, tapi Mujahidi rupanya pingsan tubuhnya menyender ke pohon sambil berdiri. Ah rupanya aku harus berjuang sendiri, tenaga di dalam tubuhku melontarku ke atas, tubuhku melayang ringan di atas pocong-pocong, lalu bersalto dua kali dan hinggap di dekat Mujahidi. Ku dekati dia memang benar-benar pingsan, mungkin pingsan saat melihat pocong-pocong itu, uh matanya sampai melotot dan mulutnya terbuka lebar.

Tiba-tiba terdengar bisikan Kyai di telingaku, “mas Ian kalau membacok pocong itu baca takbir.” Mendapat pesan seperti itu aku lantas menggenjot tubuh, berkelebat bak anak panah lepas dari gendewa membabat empat pocong sekaligus. Sambil membaca takbir, dan memang golokku bisa merobek kain ules mereka. Dan blesss.! Begitu saja pocong-pocong itu berhamburan seperti debu yang ditaburkan ke udara. Hilang.

Aku berdiri sejenak memandang berkeliling, carik Sanusi telah tak ada dia tadi melempar tulang kearahku langsung kabur. Ku dekati Mujahidi, ah enak-enakan dia pingsan, ku coba membangunkan dengan cara apa saja tapi tetap aja pingsan, aduh nih orang nambah kerjaan aja. Sekarang mungkin jam dua dini hari, embun sudah mulai turun. Aku berpikir pasti Anggraini di sembunyikan di pemakaman tua ini. Ku tinggalkan Mujahidi, menuju arah tadi aku pertama kali aku melihat carik Sanusi datang, untung penglihatanku terasa terang, sehingga aku dapat melihat jelas sekitarku.

Nampak makam-makam yang aneh berbatu nisan batu ukir, mungkin makam zaman Hindu kuno, pohon kemboja, randu alas, dan pinggir makam ditumbuhi pohon bambu yang rapat. Aku berhenti di sebuah nisan aneh bentuknya seperti kepala kuda, tapi patah sampai matanya, juga telinganya yang keatas sudah patah, aku bersandar, tapi ketika aku sandari nisan kepala kuda itu bergeser, aku terkejut, karena tanah yang ku injak terbuka begitu saja dan aku pun jatuh ke sebuah tangga semen, menuju ke bawah. Sebentar aku terkejut, rupanya di makam ini ada ruangan rahasia, pantas Sanusi selalu dapat menghilang kalau dikejar orang kampung.

Rupanya rahasianya di sini, perlahan ku turuni tangga, golok kukeluarkan, untuk berjaga-jaga dari sesuatu yang tidak kuinginkan, dinding bawah tanah ini lumayan rapi, karena disemen walau asal-asalan dan kasar. Ada lampu minyak menempel di dinding yang cahayanya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang masuk. Wah gila juga si carik Sanusi menciptakan tempat seperti ini, ruangan bawah tanah ini ada dua aku masuki ruangan satu, luasnya kira-kira empat kali tiga meter, ada meja kursi, piring, mangkok dan peralatan masak, ruangan ini rupanya dapur dan tempat makan, aku ke ruangan satunya lagi, rupanya yang ini ruangan tidur, ada ranjang kayu berkelambu. Ku dekati ranjang kayu, dan aku terkejut, menemukan Anggraini walau sebelumnya sudah mengira Anggraini ada di situ.

Mata gadis itu melotot, tubuh Anggraini digeletakkan begitu saja, di kiri kanannya bertaburan bunga aneka warna, pasti di sini juga gadis yang lain menemui ajalnya, aku merinding juga membayangkannya, seperti banyak mata gadis yang mati memandangku, meminta keadilan, atas kehormatan dan nyawa yang terenggut tanpa sisa. Tiba-tiba hawa yang keluar dari pusarku mengalir, deras menuju jari telunjukku, dan kuikuti saja ketika tanganku bergerak, membuka totokan yang ada di tubuh Anggraini, aku masih tak mengerti apa yang bergerak di tubuhku, sampai di pondok pesantren nanti aku akan bertanya kepada Kyai.

Anggraini setelah bebas dari totokan segera saja menghambur memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Aku sempat gelagapan, maklum aku tak pernah dipeluk wanita, kringetan juga, gemeter. Apalagi meluknya dengan erat. Aku lelaki normal, bagaimanapun juga, walau imanku kuat, pasti imron kgak bakal kuat. Sebelum setan membisikkan yang enggak-enggak, aku segera melepaskan tubuh Anggraini dari tubuhku.

“Sudahlah, sekarang sudah aman.”

“Tapi aku takut sekali kak.” katanya mengiba, air matanya berderai-derai membasahi pipi.

“Sekarang mari pulang, kuantar ke ayah ibumu, pasti mereka sangat mencemaskan keselamatanmu.” Anggraini mengangguk, kemudian kami keluar, Anggraini masih menggenggam lengan kiriku. Mungkin takut, mungkin menyukaiku, ah tak taulah, aku kasihan, gadis muda begini, mengalami pengalaman yang mengerikan, tak terbayangkan bagaimana dia diperkosa dan dibunuh seperti gadis-gadis yang telah mati menjadi korban carik Sanusi.

Kami berjalan pulang ke Pasir Seketi, di tengah jalan kami bertemu dengan serombongan para pemuda yang semalam ikut mengejar Sanusi. Semua ribut menanyakan bagaimana Anggraini bisa ditemukan bagaimana penculiknya, agar tidak bertanya terlalu banyak, maka kukatakan penculik yang selama ini membuat resah warga desa adalah carik Sanusi. Sontak para pemuda itu kaget tak percaya, tapi setelah Anggraini mengiyakan, maka mereka marah, dan berbondong-bondong mendatangi rumah Sanusi. Aku dan Mujaidi melanjutkan perjalanan mengantar Anggraini. Sampai di rumah bu Lurah yang sangat kuatir keselamatan anaknya segera menghambur memeluk anak semata wayangnya. Tangis-tangisan ramai terdengar.

Sementara istri dan anaknya bertangis-tangisan pak Lurah mengajakku dan Mujahidi ke ruang depan, ku ceritakan dengan singkat sampai para pemuda yang mau mendatangi rumah carik Sanusi. Ketika tau yang menjadi biang segala pembunuhan adalah Sanusi, pak Lurah terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala tapi segera mengajakku untuk mendatangi rumah Sanusi sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Aku dan Mujahidi mengikuti pak Lurah yang melangkah tergesa, namun di jalan tak henti-henti mengucapkan terimakasihnya.

“Sekali lagi aku dan segenap warga desa, khususnya aku pribadi sangat berterima kasih dengan nak mas Ian, kalau tak ada nak mas Ian, apa jadinya Anggraini, mungkin kami tinggal menunggu mayatnya ditemukan di pinggir kali.” Pak Lurah berjalan sambil menangis haru.

“Sudahlah pak, yang penting semua telah berlalu.” aku mencoba bersikap bijak, walau kedengarannya wagu.

Yah bagaimana kata bijak keluar dari mulut pemuda seperti aku, rambut panjang sepunggung, walau selalu ku ikat dengan rapi, anting kecil di telinga kananku, wajah hampir mirip perempuan, yah mungkin karena pergaulanku, sebagai pelukis motor airbrush. Sehingga tampang cuek dekil, seenaknya, semua melekat begitu saja dalam diriku, bagaimana mungkin, kata bijak bisa keluar dari mulutku, kalau ada kata bijak mungkin kata itu akan terbang karena tak punya bobot mati. Sampailah kami di rumah carik Sanusi.

Teriakan para pemuda ramai terdengar bersahut-sahutan.

“Bakar saja rumahnya, seret saja keluar, lalu bacok rame-rame. Dirajam saja, terlalu enak kalau mati cepat.” tapi semua pemuda tak ada yang berani maju, melewati pagar rumah Sanusi. Karena setiap melewati pagar, paku-paku segera beterbangan, malah telah ada dua pemuda yang terluka lengan dan pahanya kena sambitan paku.

“Bagaimana ini nak mas?” tanya pak Lurah.

Aku menggeleng tak tau.

“Hei Sanusi ayo keluar serahkan dirimu!” Tiba-tiba pak Lurah berteriak, dan teriakan pak Lurah dijawab dengan meluncurnya paku kecil hitam kearahnya. Aku segera berkelebat, tring…! Sepuluh paku rontok jatuh ke tanah, tertangkis golokku.

“Bagaimana ini mas?” tanya pak Lurah kawatir, aku menggeleng.

“Tak tau lah pak,” sementara waktu telah beranjak pagi kicau burung mulai terdengar di sana sini, orang-orang sudah tak ada yang berteriak-teriak lagi, mungkin sudah lelah, sehingga keadaan hening.

Kulihat rumah carik Sanusi, rumah yang besar namun biasa saja, dinding rumah bagian depan menggunakan kayu tanpa dicat. Dan dinding rumah bagian belakang menggunakan bambu yang dianyam, sedang lantai rumah geladak setinggi kurang lebih tujupuluh senti dari tanah. Depan pintu utama ada balai-balai yang ada tangga kecil dari kayu. Balai-balai kayu itu selebar dua kali empat meter. Tiba-tiba terdengar suara mobil datang, rupanya mobil Polisi. Dua polisi keluar dari mobil, lalu menghampiri pak Lurah,

“Bagaimana pak keadaannya?” tanya Polisi itu setelah ada di dekat Pak Lurah.

“Wah sulit pak.”

“Sulit bagaimana.”

“Yah setiap orang mau maju langsung dihujani paku, sudah ada korban dua orang.”

“Bagaimana kalau kami menyerbu?”

“Apakah itu tak berbahaya sekali?” aku maju menimpali.

“Pak Polisi, bagaimana kalau saya maju mengajak berunding carik sanusi?”

“Lho anak muda ini siapa?” tanya Polisi itu ditujukan pada pak Lurah. Mungkin dia curiga, karena tampangku, yang lebih mirip kriminal daripada orang baik-baik.

“Oh dia murid Kyai Lentik, yang kami mintai bantuan, sebenarnya Sanusi sudah terluka parah karena semalam telah bertarung dengan nak mas Ian.”

“Oh maaf saya tak tau.” wajah Polisi itu menatapku kagum, kemudian menghormatiku dengan sedikit membungkuk, sementara temannya manggut-manggut.

“Bagaimana menurut nak mas?” tanya Polisi itu ditujukan padaku.

“Yah gimana seandainya aku maju mengajaknya berunding, sementara pak Polisi menghadang dari pintu belakang, kalau-kalau dia lari?”

“Yah patut dicoba.” Dua Polisi itu pun kemudian berjalan memutar menuju belakang rumah, sambil mencabut pistolnya, aku mengeluarkan golokku bersama sarungnya kepada Mujahidi.

“Wah apa kgak terlalu berbahaya mas? Nanti kalau mas Ian disambitin paku, aku kgak bawa tang tuk nyabutinnya.” Mujahidi menerima golokku dengan ragu.

“Udahlah berdo’a aja.”

“Kalau menurut saya dikepung aja, yang satu ngepung yang lain makan, gantian gitu, lama-lama juga dia pasti kelaparan dan mati.”

“Ah kamu ini.” aku menepuk pundak Mujahidi seraya melangkah maju, semua mata menatap ke arahku, orang-orang kampung Pasir Seketi juga sudah mengerumuni tempat itu mungkin juga dari desa-desa tetangga, mereka menonton dari jauh, seakan ini tontonan yang gratis. Aku tak perduli, dengan langkah mantap aku melangkah maju.

Semua mata tegang menatapku, aku berhenti dua meter dari tangga kecil untuk naik ke balai rumah Sanusi, sambil menunggu kalau-kalau ada paku yang menyambar. Lengang aku berkata, “Carik Sanusi, aku tak bersenjata, aku mau berunding,” kataku seraya membuka lebar-lebar lenganku, kalau-kalau dia mengintip dari dalam maka akan melihatku tanpa senjata, lalu aku memutar tubuhku untuk meyakinkan.

Suasana masih hening tak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa menit aku melanjutkan melangkah maju. Melewati anak tangga satu-satu, lalu menginjak papan paling tepi dari balai-balai rumah itu, “braak!!”

Pintu depan rumah itu lepas, melayang cepat ke arahku yang berdiri dalam posisi yang tak menguntungkan, di belakang pintu itu Sanusi yang dengan goloknya beringas menyerangku.

“Mampuslah kau, anak setan alas..! Kau telah menggagalkan semua usahaku selama ini.!” aku yang terpelanting karena hantaman daun pintu, tak bisa menghindar lagi ketika Sanusi menghantam kepalaku, semua orang yang menonton menjerit, mukaku pun pucat. Ah mati aku ! Tapi, “prak!!” Golok Sanusi telak mengenai kepalaku, tapi aku tak merasakan rasa sakit sama sekali, malah kekuatan dalam tubuhku, menggerakkanku dengan cepat, tubuhku begitu ringan berkelit dari timpaan daun pintu tau-tau telah berdiri di belakang Sanusi, dan melakukan totokan sana-sini, sehingga Sanusi jatuh menimpa daun pintu yang jatuh dahulu.

Tubuhnya kaku, karena totokanku yang tak ku sadari telah mencabut semua ilmu yang dimiliki, seketika semua orang bersorak. Lalu terdengar suara berteriak, “Habisi penjahat cabul…” kontan semua orang menyerbu. Pagar pun roboh diterjang orang-orang kampung yang marah, aku tak bisa menahan ketika tubuh Sanusi dihujani golok, batu, pentungan, massa rupanya teramat marah. Pengeroyokan baru berhenti setelah terdengar suara tembakan.

Semua orang kampung yang mengeroyok mundur, tubuh Sanusi, tak berbentuk lagi, aku yang berdiri di atas balai-balai melihat dengan jelas, betapa mengerikannya, wajahnya telah tak dikenali lagi, terlalu hancur, juga tubuhnya sudah tak karuan, darah seperti dituang begitu saja, sungguh kengerian yang tiada tara, aku berjalan meninggalkan tempat itu menghampiri Mujahidi yang juga terbengong, aku segera menarik tangannya tuk segera meninggalkan tempat itu, Pak Lurah melihatku, dan menghampiri.

“Nak Ian, mampir dulu ke rumah dan tunggu aku di rumah, biar aku mengurus dulu di sini.” aku manggut aja, lalu menyeret Mujahidi untuk bergegas pergi. Dalam perjalanan, Mujahidi selalu menyanjungku.

“Ah bener-bener kagak nyangka saya, kalau mas Ian sehebat itu, punya ilmu kebal lagi, uh uh, apa kgak sakit mas tadi dibacok di kepala? Wah saya ampek teriak mas tadi, ngira kepala mas Ian pasti belah, ee, ternyata kgak apa-apa.”